Rakyat sipil

Krisis Air: Ketidakadilan dan Beban Ganda Perempuan

Doni Rahma

3 min read

“Menyelamatkan air adalah menyelamatkan kehidupan dan dunia. Air berdampak pada setiap lini kehidupan manusia: kesehatan dan harapan hidup, penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan perempuan, ketahanan pangan, dan ketahanan energi.” – Utusan Khusus PBB Untuk Isu Air, Retno Marsudi.

Pernyataan Retno dalam kolom opini koran Kompas edisi 1 November 2024 tersebut menurut saya memiliki dua arti. Pertama, air memiliki peran penting dalam keberlangsungan umat manusia di dunia. Kedua, krisis air yang melanda dunia hari ini perlu segera ditangani. Air adalah kompenen utama dalam kehidupan. Oleh karena itu, sangat relevan apabila pendapat Retno Marsudi menganai krisis air perlu mendapat atensi lebih dari para pemangku kebijakan.

Dalam perspektif teologis, air digunakan hampir di seluruh praktik ritual keagamaan. Islam menggunakan air sebagai media penyuci diri baik dari hadas besar ataupun hadas kecil. Dalam agama Kristen, air digunakan sebagai media pembaptisan. Dan umat agama Hindu menyakini air sebagai salah satu unsur alam sehingga dianggap suci. Lalu jika topiknya bergeser ke biologis, kita pun mengetahui bahwa kadar air dalam diri manusia sebesar 70%. Dari perspektif apa pun, selama kehidupan umat manusia masih ada, air terus akan dibutuhkan sampai kapan pun.

Baca juga:

Semakin pesatnya pertumbuhan umat manusia dalam kurun waktu beberapa puluh tahun ini tidak dapat dipungkiri turut berkolerasi dengan semakin meningkatnya kebutuhan air, termasuk Indonesia. Menurut laporan Asian Development Bank 2016, rata-rata kebutuhan air orang indonesia yang tinggal di perkotaan adalah 120 liter/hari, sedangkan untuk di desa berada dikisaran 80 liter/hari. Penggunaan air tersebut diproyeksikan akan terus meningkat hingga tahun 2030 mendatang.

Tingginya penggunaan air ini menyebabkan terjadinya eksploitasi besar-besar besaran terhadap berbagai sumber air, baik dipermukaan ataupun yang ada di dalam bawah tanah. Di berbagai kota besar di Indonesia, karena kebutuhan air bersih yang sangat besar, banyak masyarakat kemudian membuat sumur sebagai salah satu solusi untuk mendapatkan air bersih. Lalu pertanyaannya apakah air akan terus ada?

Terancamnya Ketersediaan Air

Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketersediaan air terancam. Pertama, aktivitas industrialiasasi. Semakin menjamurnya pabrik-pabrik menyebabkan pembuangan limbah sisa produksi sering kali langsung dialirkan menuju sungai tanpa proses pengolalahan terlebih dahulu. Hasil laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 diketahui bahwa dari 111 sungai yang diindetifikasi sebagain besar sudah tercemar karena pembuangan limbah industri.

Kedua, perubahan lanskap wilayah dengan semakin meluasnya kota. Perubahan lanskap ini menyebabkan beban air diperkotaan meningkat. Aktivas domestik seperti MCK, membuang sampah, dan mencuci sering kali dilakukan di bantaran sungai. Hal ini terjadi karena masyarakar kelas bawah tidak punya pilihan lain selain menggunakan air sungai sebagai bagian dari keseharian. Selain akses air bersih yang mahal, sering kali sistem perpipaan air bersih tidak sampai di daerah perkampungan kelas bawah di kota.

Ketiga, krisis iklim. Semakin menghangatnya bumi dan tidak menentunya cuaca membuat ketersediaan air semakin menipis. Manusia membuat siklus cuaca menjadi tidak menentu. Deforestasi hutan besar-besaran dan pelepasan karbon dioksida ke atmosfer memperbesar kemungkinan bumi mengalami perubahan iklim dengan mempercepat krisis air. Musim kemarau berkepanjangan serta musim penghujan yang sebentar menyebabkan berbagai bencana di berbagai wilayah. Tentunya, jika berbicara tentang daerah yang terkena bencana, permasalahan dari hal tersebut adalah akses air bersih yang sulit. UNISDR (United Nation Officer for Disaster Risk Reduction) dalam laporannya pada tahun 2015 menyebutkan bahwa tantangan terhadap ketersediaan air 90% berkaitan dengan bencana seperti kekeringan dan banjir.

Pengaruh Krisis Air terhadap Perempuan

Krisis air menjadi persoalan amat sangat dekat dengan perempuan. Peran perempuan dalam keluarga sebagai pelaksana urusan domestik seperti memasak dan mencuci tentu sangat didukung dengan ketersediaan air bersih. Apabila krisis air terjadi, perempuanlah yang pertama terlibat dalam upaya pemenuhan air bersih untuk keluarga. Bagi perempuan, air bersih adalah hal yang utama agar proses domestik tetap jalan.

Namun, Sering kali ketika krisis air datang para perempuan harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk mendapatkan air bersih atau menjadi garda terdepan untuk mengantri jika terdapat bantuan air datang. Dalam laporan UNICEF pada tahun 2015, 8 dari 10 kebutuhan air dalam keluarga diserahkan kepada perempuan dan anak perempuan dewasa, sedangkan 19,5% sisanya dikumpulkan oleh laki-laki. Data tersebut menujukkan bahwa perempuan memiliki beban lebih ketika krisis air melanda.

Baca juga:

Di berbagai daerah di indonesia, perempuan tidak dilibatkan dalam berbagai langkah pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Dalam dalam persoalan air, perempuan belum sepenuhnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan terhadap solusi penyediaan air bersih. Meskipun begitu, upaya penyediaan air bersih terus diupayakan oleh perempuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Namun akses terhadap air bersih tidak selamanaya bersahabat. Di berbagai negara di dunia akses air bersih sebagai hak dasar umat manusia yang telah diakui oleh PBB tidak selamanya bisa dapatkan. Selain ketimpangan gender, perbedaan kelas sosial juga turut menentukan akses terhadap air bersih. Di Dhaka, Bangladesh, perempuan dengan kelas sosial menengah ke atas tidak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk mendapatkan akses bersih. Permerintah sudah menyiapkan jaringan perpipaan sehingga meraka tidak perlu menuntut lebih atas hak meraka terhadap air. Sedangkan perempuan kelas bawah harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan akses air bersih. Negara juga turut memvalidasi hal tersebut dengan hanya memandang hak perempuan kelas menengah ke atas (Sultana, 2020).

Peningkatan laju urbanisasi yang tinggi dengan dasar untuk mencari kehidupan yang layak kadang menjadi dorongan masyarakat desa datang ke kota-kota besar. Bagi mereka yang punya keahlian dan sukses niscaya akan mendapat kehidupan baik. Namun, selebihnya lagi berakhir tinggal di pemukiman kumuh. Di kota-kota besar untuk mendaparkan akses air bersih masyarakat harus membeli terlebih dahalu. Bagi perempuan yang tinggal di kota, pilihannya hanya ada dua, membeli air dengan harga mahal atau menggunakan air yang terkontaminasi (Sultana, 2020).

Krisis air telah membuka tabir bahwa perempuanlah yang pertama kali terdampak jika kelangkaan air melanda. Perempuan mengalami berbagai ketidakadilan baik peran, status, dan kelas di dalam masyarakat. Krisis air mengancam perempuan terhadap kesehatan reproduksi meraka. Krisis air juga menyebabkan perempuan rawan tertular berbagai penyakit menular akibat buruknya sanitasi.

Pemangku kebijakan dan tentunya kepala negara harus segara hadir untuk terus berupaya menciptakan penyediaan air bersih. Kendala perempuan sering tidak terekspos sejalan dengan masih langgengnnya budaya patriarki. Air adalah hak dasar semua lapisan masyarakat tidak peduli orang itu miskin-kaya, dan tidak menjadi tanggung jawab satu gender saja.

 

 

Editor: Prihandini N

Doni Rahma
Doni Rahma Rakyat sipil

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email