Menengok Ciputat berarti menilik peradaban lama yang telah runtuh sekaligus peradaban baru yang tengah tumbuh. Pandemi menggerus habis forum-forum diskusi, meminggirkan jejak-jejak kedigdayaan zaman dulu, menjadikannya hanya sebagai bercak sejarah, ditinggalkan begitu saja tanpa ekspektasi dan harapan apa pun.
Menyusuri Ciputat, kita akan menemukan kembali riak-riak kecil, geliat diskusi yang bertahan sekuat tenaga dari cengkeraman kapitalisme dan alienasi teknologi yang berlarut-larut. Mereka ada, para pegiat literasi itu, hadir bersama komunitas-komunitas dan forum-forum baru yang berserak, bergiat tak satu arah, menyebabkan keberadaannya hampir tak terdeteksi, kecuali dengan melacak satu per satu akun resmi media sosial masing-masing.
Baca juga:
Iklim Literasi Ciputat
Geliat literasi Ciputat menguat ketika pada awal 2024 ruang kolektif Gerak Gerik lahir kembali. Gerak Gerik tumbuh puluhan tahun lalu di Gang Pesanggrahan, memepet kampus utama UIN Syarif Hidayatullah, tumbang selama belasan tahun, dan hadir lagi di Cirendeu dekat kampus-kampus cabang UIN Jakarta. Sejak dibuka setengah tahun lalu, Gerak Gerik telah memfasilitasi puluhan diskusi dan pertemuan literasi.
Literasi Ciputat juga menggeliat lewat forum dan komunitas baru. Forum diskusi, komunitas baca, dan klub studi menjamur di inner circle masing-masing. Fenomena di Fakultas Psikologi, misalnya, muncul komunitas baca baru bernama Thinkerbooks yang fokus pada diskusi buku dan diseminasi bacaan di perpustakaan. Meski baru berumur setahun, gerakan ini telah menggandeng banyak orang dan institusi, baik di luar maupun di dalam Ciputat.
Gerak Gerik dan Thinkerbooks adalah penanda peradaban baca Ciputat masih sangat kuat. Kaum tua yang memiliki pandangan bahwa kaum muda tak gemar membaca buku dan hanya asyik bergelut dengan media sosial bisa segera merevisi pendapatnya. Kaum muda yang melulu menyalahkan kaum tua karena tak bisa merangkul dengan semestinya dapat membuka alternatif perspektif: Kita mungkin hanya terpaut usia, waktu, dan jarak yang membuat kita berbeda. Akan tetapi, untuk merawat peradaban baca, kita semua dapat bekerja sama.
Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) masih gagah berdiri meski harus berpindah tempat beberapa kali. Lingkar Intelektual Merah (LIM) yang digerakkan kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ciputat rutin mengadakan diskusi. Hal-hal tersebut membuat saya, alumnus yang telah bertahun-tahun meninggalkan Ciputat, rela bolak-balik Serpong-Ciputat hampir setiap hari selama tiga bulan terakhir. Saya mencoba menyambut optimisme yang tengah tumbuh. Meskipun begitu, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi. Salah satunya adalah persoalan keterlibatan perempuan.
Mandala Partisipasi Perempuan
Pada 9 Juli, saya mengisi peluncuran dan bedah buku Republikanisme, Komunisme, Islam: Asal-usul Kosmopolitanisme di Asia Tenggara (2021) karya John T. Sidel yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Penerbit GDN di Outlier Cafe. Pada waktu diskusi berlangsung, hanya ada saya sebagai perempuan pembicara, satu teman perempuan yang sengaja saya ajak, dan satu peserta perempuan lain muncul di pertengahan diskusi yang beranjak pergi sebelum diskusi selesai.
Pada 13 Juli, saya mengisi diskusi bertajuk Reinkarnasi Keluarga Cemara di Istana Negara yang menyoal kondisi perpolitikan kiwari, didedah melalui buku The 48 Laws of Power (1998) karya Robert Greene. Buku ini sangat relevan bila disandingkan dengan persoalan-persoalan yang terjadi di Indonesia saat ini. Diskusi ini juga tak menarik perhatian partisipan perempuan. Hanya ada dua perempuan: saya sebagai narasumber dan Karisna Mega Pasha sebagai moderator.
Persoalan yang dikemukakan dalam diskusi antara lain Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang meluncur naik tanpa batas, kebijakan iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang tidak masuk akal, persoalan Mahkamah Keluarga dan Mahkamah Adik-Kakak (pelesetan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung) yang diutak-atik sedemikian rupa, dan beberapa isu serupa. Apakah persoalan-persoalan tersebut tak menarik perhatian perempuan? Atau, informasi diskusi kurang menyebar luas? Entahlah. Hingga tulisan ini dibuat, saya belum bisa menemukan jawabannya.
Dua situasi tersebut berbanding terbalik dengan situasi bedah buku Perjalanan Lintas Batas: Lintas Agama, Lintas Gender, Lintas Negara (2023) karya Musdah Mulia pada 9 Juli. Para peserta perempuan berbondong-bondong datang, menjadi dominan, dan banyak bertanya. Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan yang muncul tidak bernada kritis.
Para peserta terbatas bertanya tentang tips dan trik menjadi perempuan berdaya, tidak menguliti isi bukunya. Padahal, buku tersebut memuat ragam agama, kepercayaan, dan tradisi dari puluhan negara. Ada banyak hal yang dapat digali selain rasa penasaran soal bagaimana cara sang penulis dapat berkeliling dunia dengan membawa misi perdamaian. Gagalkah acara ini menjadi diskusi? Tidak gagal, hanya saja pembahasan yang terjadi tidak mendalam. Para penanya—semuanya perempuan—entah kenapa hanya fokus di permukaan.
Pada 16 Juli, Okky Madasari datang ke Ciputat membicarakan sastra dan Gen-Z. Saya datang, turut bertanya, memperingati Hari Sastra Nasional bersama-sama. Peserta berjumlah puluhan, didominasi perempuan. Saya sempat bersyukur, hingga kemudian sadar jumlah mahasiswa program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) memang lebih banyak perempuan. Saya pun termenung kembali. Selain feminisme, di Ciputat, peminat sastra juga didominasi perempuan.
Pada 18 Juli 2024, saya kembali mengisi bedah buku Republikanisme, Komunisme, Islam di ruang kolektif Gerak Gerik Cafe & Bookstore. Lagi, hampir tak ada partisipan perempuan. Hanya ada saya sebagai pembicara, Yaya (TrimTrim) sebagai panitia, satu peserta perempuan yang terlambat datang—hanya menikmati kopi tanpa mengikuti diskusi—dan tiga peserta perempuan yang bergabung hanya karena tengah berkunjung ke situ, bukan karena ingin mengikuti jalinan diskusi—keduanya bahkan pergi begitu saja sebelum sesi pertanyaan dimulai.
Puncaknya, pada 22 Juli, diskusi filsafat yang diselenggarakan oleh ruang diskusi filsafat Konklusi (@k.o.n.k.l.u.s.i), hanya dihadiri tiga peserta perempuan. Mirisnya, ketiga peserta tersebut tampak tak membaca topik diskusi terlebih dahulu. Kami mendiskusikan bad faith dan otentisitas dalam eksistensialisme Jean-Paul Sartre dengan pemateri Khodadad Azizi. Diskusi yang terjadi pun hanya menjadi setengah filsafat, tak ada konklusi berarti yang dapat menutup diskusi Konklusi kala itu.
Baca juga:
Kredo Masa Depan
Sewaktu aktif di Formaci pada 2016-2018, saya hanya menjadi satu-satunya perempuan yang bertahan mengikuti rangkaian diskusi selama dua tahun. Ada beberapa perempuan perwakilan organisasi kampus yang datang, tetapi hanya ramai ketika diskusi yang digelar bertemakan feminisme. Saat diskusi filsafat, sosiologi, psikologi, ekonomi, dan Islamic studies berlangsung, saya lebih sering menjadi satu-satunya perempuan ketimbang ditemani peserta diskusi perempuan. Kehadiran saya pun tidak rutin dan tidak rajin. Bisa dibayangkan, berapakah (atau adakah) perempuan yang terlibat dalam setiap seri diskusi?
Enam tahun kemudian, saya memang tak lagi sendirian. Namun, bila dibandingkan dengan jumlah partisipan laki-laki, jumlah partisipan perempuan dalam beberapa diskusi yang saya ikuti di luar tema-tema feminisme dan sastra sangatlah sedikit. Diskusi buku Sidel yang bertema komunisme dan kosmopolitanisme bahkan tak menarik perhatian partisipan perempuan sama sekali. Sepanjang empat tahun diskusi Konklusi, saya juga kesulitan menemukan narasumber yang cakap mendiskusikan filsafat, khususnya di Ciputat.
Adakah ruang diskusi di mana partisipan perempuan dan partisipan laki-laki yang hadir sama jumlahnya? Di luar diskusi yang diselenggarakan oleh institusi khusus perempuan, saya belum menemukan. Di mana saya dapat menemukannya? Ataukah kehadiran perempuan dan laki-laki sengaja dipisahkan atas dasar “bukan muhrim”? Bila ada ruang diskusi—selain feminisme dan sastra atau diskusi buku fiksi—dengan jumlah partisipan perempuan lebih banyak ketimbang partisipan laki-laki, ajaklah saya ke sana. Saya ingin hadir, berharap pertanyaan yang membuncah dalam dada segera menemukan jawabnya.
Jumlah partisipan perempuan yang minim berdampak pada jumlah pembicara perempuan yang juga hampir nihil. Ciputat menunggu lebih banyak keterlibatan para perempuan hebat di ruang-ruang diskusi progresif. Ruang diskusi tanpa kehadiran perempuan seharusnya membuat kita merinding. Sebab, tanpa keterlibatan lebih banyak perempuan, diskursus yang tumbuh justru semakin melanggengkan budaya patriarki, all male panel, musuh yang selama ini kita lawan bertubi-tubi.
Editor: Emma Amelia