Penulis dan Imajinator Ulung. Otw jadi novelis Indonesia

Softselling Politik Identitas Menjelang Pemilu

koko fii

4 min read

Politik Identitas Menjelang Pemilu

Menjelang tahun politik, selalu ada hal yang unik sekaligus menarik untuk disaksikan bersama. Mulai dari drama bakal calon presiden, pertunjukan adu koalisi antar partai, hingga rentetan sandiwara pemilihan bakal calon wakil presiden yang penuh dengan plot twist dan tentu saja penuh dengan kepentingan di baliknya.

Selesai dengan drama calon kandidat, saatnya pertempuran yang sebenarnya dilaksanakan. Adu strategi dan langkah-langkah jitu mulai ditembakkan. Mulai dari strategi paling ilmiah semisal debat antar calon dan adu gagasan, hingga cara-cara konvensional seperti teknik pencitraan pun mulai disemai.

Fenomena politik identitas sebenarnya bukan hal baru. Setidaknya, strategi ini mulai diperkenalkan pada kampanye pemilihan presiden sebelumnya. Rakyat Indonesia sudah cukup familiar dengan makhluk yang satu ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa strategi ini sangat efektif untuk menggaet atensi publik. Meski banyak menuai hujatan, toh pada akhirnya strategi ini berhasil mengalihkan fokus masyarakat kepada calon kandidat yang menggunakannya. Pada faktanya, politik identitas yang mengusung agama masih laku dan patut untuk diperhatikan dengan seksama.

Baru-baru ini, media diramaikan dengan salah satu calon kandidat yang unjuk gigi sebagai model iklan azan. Tidak tanggung-tangggung, skenario perekaman bahkan sudah dimulai sejak dari pengambilan air wudhu. Setelah itu dilanjutkan dengan shoot ketika menjalankan salat. Sebuah terobosan softselling yang antimainstream dan belum pernah terlintas di pikiran kandidat yang lain. Harus diakui, media sangat berpengaruh dalam membentuk dan menggiring opini masyarakat di Indonesia. Media juga bisa menjadi alat kampanye eksklusif yang repetitif. Sangat efektif untuk menwarkan produk diri secara instan.

Jika dicermati lebih lanjut, hal semacam ini hampir dilakukan oleh semua kandidat, tanpa terkecuali. Menghadiri majelis habaib hingga melakukan safari maulid menjadi ajang untuk menggaet masa, terutama masyarakat muslim. Pada faktanya, masyarakat muslim memang masih memegang peranan dan kendali suara yang layak diperhitungkan di dalam menentukan persentase perolehan suara. Tak mengherankan, pola pengumpulan masa oleh masing-masing kandidat pun menjadi mirip-mirip.

Tidak ketinggalan, acara kunjungan-kunjungan ke pondok pesantren juga menjadi ritual wajib. Menjelang tahun politik, semua kandidat memang ingin bermesra-mesraan dengan tokoh-tokoh Islam, yang punya masa tentu saja. Bahkan, pimpinan parpol yang bukan muslim pun pernah melakukan strategi dan pendekatan yang sama. Politik identitas semacam ini dalam koridor yang lebih jauh bahkan berpotensi besar membenturkan satu tokoh agama dengan tokoh agama lainnya. Ketegangan antar kubu bisa terjadi karena afiliasi calon kandidat yang berbeda. Tentu saja semua berlandaskan kepentingan, bukan atas kemaslahatan.

Pencitraan melalui media televisi hanya salah satu dari sekian bentuk strategi promosi diri. Sebagai bangsa yang mengaku sedang berkembang ke arah modernisasi, pola-pola konvensional nyatanya masih menjual dan dipraktikkan secara terang-terangan oleh tiap-tiap kandidat. Branding melalui kanal media sosial terbukti melahirkan berbagai respon yang pada akhirnya membuat nama kandidat sering disebut-sebut oleh masyarakat.

 

Sandiwara Itu Bernama Politik

Munculnya calon kandidat sebagai model azan sebenarnya merupakan rentetan keunikan ala srimulat dari drama sebelumnya. Belum lama ini, media digegerkan dengan skenario partai biru yang merasa dikhianati karena kandidatnya tidak dijadikan bakal calon wakil presiden. Berbagai respon muncul. Acara penurunan baliho dan pencoretan foto pun merebak di mana-mana. Anggapan di-ghosting hingga merasa telah dijadikan korban menjadi isu hangat. Di sisi lain, dua partai yang nyata-nyata berbeda ideologi bisa bersatu untuk mengusung satu kandidat calon wakil presiden yang telah disepakati. Lagi-lagi, semua bisa bersatu di bawah bendera kepentingan.

Frase “tidak ada musuh sejati dalam Politik. Yang ada hanya kepentingan abadi” nampaknya memang betul dan sesuai dengan fakta yang ada. Iming-iming jabatan dan kedudukan sering kali mengesampingkan ideologi yang telah lama dijadikan sebagai landasan. Di hadapan kekuasaan, tidak penting siapa berkoalisi dengan siapa. Yang terpenting adalah apa yang bisa didapatkan bersama-sama. Semua sandiwara itu menjadi headline masyarakat sebagai pihak yang dijadikan objek peraupan suara.

Menjelang akhir tahun 2023, safari politik tentu akan semakin masif dilancarkan oleh tiap-tiap kandidat. Orientasi dalam meraup suara sebanyak mungkin sehingga dapat melenggang ke kursi RI-1 bukan lagi sekadar keinginan, tetapi ambisi yang harus diraih. Di balik itu, ada partai politik yang tentu saja memiliki kepentingan terbesar atas pengamanan kursi-kursi strategis di pemerintahan. Koalisi yang bergabung sedang berharap-harap cemas atas bagian kue yang kiranya akan mereka terima saat calon yang diusungnya menang.

Pesta demokrasi yang digadang-gadang menjadi penentu arah bangsa dalam titik paling sensual tidak lebih dari pertaruhan para elit dan oligarki dalam mengamankan posisi-posisi strategis di pemerintahan. Siapa duduk di mana menjadi penting ketika berhubungan dengan bisnis percuanan. Salah menempatkan orang di suatu kursi bisa berakibat fatal di kemudian hari. Hal itulah yang menjadi sebab politik cawe-cawe masih aktif, di samping strategi politik identitas tentu saja.

Dalam koridor yang lebih sederhana, setiap kandidat senantiasa memimpikan kemenangan atas dirinya. Berbagai upaya dan strategi pun digencarkan. Memang tidak selalu dari calon itu sendiri. Bisa juga ide itu digagas oleh partai dan koalisi yang menyokongnya. Perasaan tidak perlu malu dihujat nampaknya sudah medarah daging dalam diri setiap kandidat. Buktinya, mereka tidak kapok meski dicela, diolok-olok, bahkan direndahkan. Strategi pencitraan dan politik identitas dengan nuansa yang sama tetap diulang-ulang dan tidak segan untuk diunggah di media sosial.

Sebagai bangsa yang sedang bertumbuh, seharusnya kita mulai banyak berbenah dalam menyikapi fenomena pemilihan umum. Seorang kandidat pemimpin tidak dapat dinilai hanya dari sajian instan yang dia lakukan. Pemolesan dan pencitraan juga bukan dasar atau acuan yang kuat dalam menilai mereka. Sering kali bangsa ini mudah teralihkan oleh isu atau sajian-sajian maya yang mengaburkan pribadi asli dari calon kandidat. Bangsa Indonesia masih tergiur dengan pola pencitraan, gaungan identitas agama yang sama, hingga pemolesan-pemolesan artifisial yang kerap kali menipu.

Mari Belajar dari Pola Pemilu

Kita perlu bijak dalam bersikap. Jika kita mundur beberapa dekade ke belakang, pola pra-pemilu hingga menjelang pemilu selalu sama. Keributan calon kandidat, drama koalisi, hingga kelucuan-kelucuan strategi kampanye calon kandidat. Selalu begitu. Sebagai rakyat, kita pun dipaksa menjadi bidak-bidak permainan para elit yang hendak berebut kuasa. Aktor-aktornya juga itu-itu saja. Hanya formasi kekuasaannya saja yang berbeda. Di dunia politik, bahkan lawan tanding ketika pemilu pun bisa duduk bersama dan menjadi anggota kabinet lawan politiknya dulu. Kita harus ingat bahwa tidak ada musuh abadi di dunia politik.

Kitalah sebagai rakyat kecil yang kerap kali dibenturkan satu sama lain. Istilah “cebong” dan “kadrun” sebagai warisan dari perseteruan politik lama pun masih kerap dipakai hingga saat ini. Di saat para elit telah duduk nyaman dan mendapat bagiannya masing-masing, kita justru saling tuding dan melakukan pembelaan setengah mati, seakan-akan kita mendapatkan bagian kemenangan terbesar dari pertarungan itu.

Saling menjelekkan antar kandidat juga menjadi kewajaran yang terus dipelihara dalam diri bangsa kita. Padahal, hal ini berakibat pada ketegangan dan saling serang antar pendukung. Aktivitas semacam ini menjadi PR besar yang harus diperbaiki sedikit demi sedikit. Kita tentu tidak ingin menjadi boneka yang dipermainkan oleh para elit untuk memuluskan niat mereka dalam berkuasa. Di samping itu, kita juga harus mawas diri dan menilai secara objektif pada setiap kandidat yang akan bertarung.

Fanatisme pada satu kandidat sering kali membuat kita menilai tidak objektif dan terjatuh dalam pembelaan secara membabi-buta dan tidak segan menyerang orang-orang yang berseberangan. Yang didapatkan dari hal semacam ini hanya kekisruhan dan pertentangan. Tugas kita adalah mengawasi betul sepak terjang tiap kandidat, menilai berdasarkan bukti-bukti faktual, dan portofolio kinerja yang telah didedikasikannya untuk bangsa dan negara. Kita juga perlu membekali diri untuk tidak ikut serta dalam pola-pola politik praktis semacam politik identitas yang kembali gencar digaungkan. Dan, tentu saja kita harus selalu bijak dalam bersikap dan meyakini bahwa pemilu merupakan ajang penentuan pemimpin yang tidak selayaknya dipenuhi kepalsuan dan berbagai kepentingan segelintir orang saja.

***

Editor: Ghufroni An’ars

koko fii
koko fii Penulis dan Imajinator Ulung. Otw jadi novelis Indonesia

4 Replies to “Softselling Politik Identitas Menjelang Pemilu”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email