Penulis adalah pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep

Politik Jalur Ambulans

M. Kholilur Rohman

2 min read

Negara ibarat jalan raya dan partai adalah kendaraan untuk mencapai kekuasaan. Setiap partai pasti memiliki ciri khas, kualitas, dan kuantitas yang berbeda-beda, ibarat mobil yang memiliki merk, model, dan daya tampung masing-masing. Kemudian mobil-mobil itu beroperasi di jalan raya, layaknya partai politik yang selalu berdinamika dalam sebuah negara.

Cuaca di jalan pun bisa beragam, bisa cerah maupun mendung. Cuaca cerah dan mendung tersebut bisa disiasati sebagai kerukunan maupun gesekan antarpartai pengusung capres dan cawapres. Cuaca-cuaca lainnya mungkin akan muncul juga seiring dengan dinamika iklim politik menjelang Pemilu 2024.

Untuk menuju panggung politik 2024, para capres dan cawapres ini tentu membutuhkan kendaraan, yakni partai politik. Dan semua pasangan calon sudah memiliki kendaraannya masing-masing.

Baca juga:

Tiga pasangan capres-cawapres yang sebentar lagi akan menjadi orang terpenting di negara ini tentunya memiliki sepak terjang dan pengalaman berpolitik yang berbeda. Mereka sudah berkendara (berpartai) dari tempat ke tempat, waktu ke waktu, hingga diakui eksistensinya oleh publik. Namun, dari tiga pasang capres-cawapres ini, ada satu orang yang saya anggap menunggangi kendaraan berbeda. Siapa lagi kalau bukan cawapres nomor urut dua sekaligus cawapres termuda.

Cepat dan Antimacet

Mengapa demikian? Jika capres dan cawapres yang lain ibarat mengendarai mobil-mobil mewah untuk mencapai tujuan, yang dalam perpindahannya pasti pernah mengalami kemacetan, tidak dengan cawapres nomor urut dua ini. Ia tidak menggunakan mobil mewah, melainkan mobil ambulans. Ya, meski secara harga, merk, dan kualitas mobil tersebut jelas berada di bawah mobil-mobil mewah, ambulans tidak mengenal macet. Ia dapat menyalip banyak mobil, bagaimana pun situasinya.

Salah satu kasus menerobos kemacetan atau melewati penghalang ialah tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa batas usia capres paling rendah 40 tahun. Jika mengikuti kebijakan tersebut secara adil, cawapres nomor urut dua tersebut belum memenuhi syarat.

Hingga akhirnya ada permohonan yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru, mahasiswa Universitas Surakarta  Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terlepas ada atau tidaknya transaksi yang mengikat atau strategi yang dibangun oleh cawapres nomor urut dua itu.

Lebih jauh lagi, berkaca dari kasus di atas, berpolitik jalur ambulans ini hampir setara dengan “keajaiban” yang dapat menciptakan hal baru, mengubah tatanan fundamental, bahkan mengaburkan hal-hal negatif menjadi positif dengan beragam dalih yang disusun sesistematis mungkin. Ya, setidaknya hal itu yang saya rasakan ketika mendengar putusan MK tetap meloloskan cawapres tersebut.

Sarat Nepotisme

Memang tidak ada salahnya kalangan muda menjadi seorang pemimpin bahkan orang nomor satu di sebuah negara. Sayangnya hal itu terjadi melalui dramatisasi hukum, terlebih orang-orang di dalam dan sekitarnya juga masih dalam lingkaran keluarga. Oleh karena itu, tak heran jika warga negara Indonesia, termasuk saya, langsung mengambil kesimpulan bahwa ini adalah bentuk nepotisme, dalam artian membela mati-matian anggota keluarga meski harus mengubah tatanan demi tercapainya tujuan menuju kekuasaan. Entahlah, setidaknya kesimpulan itu yang masih bertengger di kepala saya.

Secara fungsional, jelas ambulans bertugas membawa orang yang tak berdaya, baik itu yang sakit parah untuk segera diobati atau jenazah untuk segera dikebumikan. Ya, mereka yang menganut politik jalur ambulans secara tidak langsung aslinya adalah orang-orang yang tidak berdaya, orang-orang yang tidak mempunyai kekuatan, bahkan termasuk orang-orang lemah yang pasti mudah kalah. Oleh karena itu, untuk menutupi itu semua dan agar cepat melampaui yang lain, konsep ambulans pun dipakai.

Baca juga:

Ambulans memiliki beberapa keistimewaan yang tidak dimiliki mobil atau kendaraan yang lain. Nah, keistimewaan itu adalah keluarga atau lingkungan yang punya kuasa untuk mengatur ulang hal-hal yang dirasa merugikan atau menghambat “orang yang lemah”.

Bagi saya pribadi, jika Indonesia menginginkan masa depan yang berkualitas, politik jalur ambulans mau tidak mau harus segera dihapuskan. Suka tidak suka. Mau tidak mau. Entah dengan cara apa pun. Nasib seluruh rakyat dan masa depan negara tidak boleh dan tidak akan pernah bisa ditukar dengan kepentingan golongan-golongan tertentu meski dengan dalih kebaikan dan kebenaran.

Baik dalam skala negara maupun lingkup yang lebih kecil, seperti di kabupaten, kecamatan, bahkan di sekolah sekali pun, hendaknya politik jalur ambulans ini benar-benar dibumihanguskan agar tidak lumrah, sebagaimana yang terjadi sekarang ini.

 

Editor: Prihandini N

M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Penulis adalah pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep

One Reply to “Politik Jalur Ambulans”

  1. Pingback: Politik Bunglon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email