Pemilihan Legislatif yang Terlupakan

Durohim Amnan

3 min read

Berkaca pada perjalanan Pemilu 2024, pemilihan legislatif seakan berjarak dan luput dari mata publik. Masyarakat seolah dibuat amnesia betapa krusialnya pemilihan legislatif dalam menentukan arah bangsa. Partai politik berjibaku memenangkan pemilihan presiden, tetapi luput mengangkat persoalan pemilihan legislatif ke permukaan. Hasilnya, masyarakat memiliki pengetahuan minim tentang siapa calon ideal yang akan mewakili kepentingannya untuk duduk di kursi parlemen nanti.

Hakikatnya, Pemilu 2024 bukan hanya persoalan kontestasi pemilihan presiden, melainkan juga pemilihan legislatif. Kadar eksistensi di antara keduanya setara, sama-sama penting dan vital dalam perumusan kebijakan. Konstitusi memberi kuasa yang sama, bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai mekanisme pemakzulan presiden. Hal sebaliknya tidak berlaku, presiden tidak bisa memberhentikan anggota DPR. Artinya, walaupun sama-sama dipilih melalui pemilihan umum, kedudukan DPR setingkat di atas presiden. Dahulu, DPR sebagai unsur Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memang punya sejarah sebagai lembaga yang memilih presiden (lembaga tertinggi negara). Tetapi faktanya, pemilihan legislatif sebagai instrumen mendapuk anggota DPR di parlemen hanya dipandang sebelah mata.

Pemilihan Legislatif Tetap Penting

Teori kedaulatan rakyat menempatkan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai institusi yang memegang tongkat kekuasaan untuk bisa mewakili kepentingan masyarakat. Mereka sama-sama dipilih melalui pemilihan umum secara langsung. Saat pencoblosan di kotak suara, masyarakat mengamanatkan kepada Presiden dan DPR untuk bekerja sebaik-baiknya demi kepentingan bangsa dan negara. Oleh karenanya, mereka mengemban tugas dan beban yang sama.

Baca juga:

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan daftar calon tetap (DCT) anggota DPR pemilu 2024 sebanyak 9.918. Sebanyak 580 kursi diperebutkan untuk menjadi anggota DPR periode 2024-2029. Bayangkan saja, 580 anggota DPR terpilih nanti adalah mereka yang tidak dikenal gagasan, ideologi, visi-misinya oleh para pemilihnya karena mereka lebih terpincut menggeluti isu pemilihan presiden dan wakil presiden. Sungguh tidak adil bila 580 pejabat negara ditanggalkan oleh satu presiden dan wakil presiden.

Bagaimana bisa ada jaminan bahwa anggota DPR terpilih nanti bisa benar-benar mewakili kepentingan masyarakat jika tidak ada pengayaan ideologi, gagasan, dan desain kebijakan saat tahap pencalonan berlangsung. Nihilnya komunikasi politik yang dibangun berdasarkan gagasan dan desain kebijakan calon anggota DPR di daerah pemilihan mengakibatkan politik uang merajalela. Masyarakat hanya dihargai dengan selembar amplop untuk dirinya bisa lolos ke Senayan. Sungguh perilaku yang tidak pantas dan menurunkan derajat dirinya sendiri sebagai manusia politik.

Apakah pemasangan alat peraga kampanye, seperti baliho dan spanduk lengkap dengan nomor urut partai dan dirinya sebagai calon legislatif, merupakan cara satu-satunya mengenalkan diri? Bagaimana masyarakat bisa bercakap-cakap secara etis dengan seonggok baliho yang hanya menampilkan wajah tanpa pikiran? Bukankah hanya melalui percakapan yang luas masyarakat baru bisa menentukan kepada siapa aspirasinya akan diwakilkan? Mereka yang takut bercakap-cakap adalah mereka yang tidak mempunyai gagasan dan hanya ditopang oleh amplop yang tebal dan sepanduk baliho wajah tanpa makna.

Darurat Kualitas

Narasi yang dibangun partai politik selalu mengarahkan pada kontestasi pemilihan presiden. Maklum, eksekutif adalah lumbung anggaran. Setiap tahun, sebanyak 80% lebih anggaran negara berada di kaki tangan eksekutif dan sisanya terbagi di lembaga legislatif dan yudikatif. Apakah hanya itu yang dikejar partai politik? mengejar hasrat berkuasa karena tergiur triliunan rupiah dan lupa makna kepentingan bangsa dan negara.

Tidak disangkal, memilih presiden yang bermutu, visioner, berintegritas adalah keharusan. Namun tidak cukup sampai di situ. Lembaga legislatif diciptakan sebagai penyeimbang agar tirani mayoritas tidak terulang. Oposisi dalam demokrasi merupakan harga mati. Konstitusi memberi kewenangan itu kepada lembaga legislatif. Mari belajar dari pengalaman sejarah rezim Orde Baru yang memiliki kekuasaan sangat besar tanpa kontrol dan pengawasan yang berarti dari legislatif. Istilah executive heavy timbul karena kuasa eksekutif begitu ekstensif, akibatnya laku otoritarianisme Orde Baru tak terhindarkan.

Ketiadaan legislatif yang kuat sebagai teman bertarung eksekutif sudah pasti membuat pemerintahan tidak berimbang. Eksekutif akan mendominasi tanpa bisa diinterupsi. Kekuasaan semacam itu membawa Indonesia ke jurang malapetaka. Bukan hanya semasa Orde Baru negeri ini mengalami ketidakstabilan karena oposisi parlemen. Pada masa Orde Lama (1959-1965), Presiden Soekarno pernah melakukan hal serupa. Ia membubarkan anggota DPR dan Konstituante hasil Pemilu langsung 1955 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan menggantikannya dengan DPR-GR (gotong royong) yang dipilih secara sepihak oleh eksekutif. Akhirnya kekuasaan tirani tak terelakkan. Presiden Soekarno menjadi presiden seumur hidup dan kekuasaan itu akhirnya rapuh dan runtuh.

Begitu pun periode kedua Presiden Jokowi (2019-2024) yang menggaet Partai Gerinda masuk ke dalam kabinetnya. Pos-pos kritis di legislatif akhirnya hilang, hanya tersisa PKS dan partai Demokrat. Dampak yang terjadi sangat signifikan terhadap posisi oposisi parlemen. Kekalahan jumlah partai oposisi dan minimnya anggota DPR yang berkualitas mengakibatkan seluruh kebijakan Presiden Jokowi melenggang begitu saja tanpa ada diskursus yang mendalam. UU KPK, UU Cipta Kerja, UU Minerba, serta UU Ibu Kota Negara menjadi saksi bisu bagaimana kekuasaan eksekutif pada waktu itu tidak dapat dibendung. Fenomena itu pula memunculkan istilah “lembaga stempel” yang ditujukan kepada lembaga legislatif.

Baca juga:

Memperbaiki Nasib Legislatif

Tanpa disadari, algoritma publik yang selama ini menaruh perhatian lebih pada kontestasi pemilihan presiden ketimbang pemilihan legislatif adalah permainan elite belaka. Sejak awal memang itu yang di inginkan. Apabila masyarakat berfokus pada pemilihan presiden, mereka akan lebih mudah mengendalikan persaingan pemilihan legislatif yang dari segi jumlah jauh lebih banyak. Hal itu dilakukan tiada lain hanya demi kepentingan kelompoknya, bukan kepentingan masyarakat. Sejarah Indonesia mengajarkan bagaimana pemerintahan yang diasuh tanpa fungsi pengawasan memadai akan berakhir pada tirani. Dan akhirnya bermuara pada kehancuran yang mengoyak simpul-simpul kebangsaan, seperti yang terjadi di ujung pemerintahan rezim Orde Baru dan Orde Lama.

Beranjak dari fakta di atas, memilih anggota DPR berdasarkan kualitas, kapasitas, kapabilitas, dan komitmen terhadap bangsa dan negara begitu penting. Jangan sampai gedung di Senayan terisi oleh anggota DPR yang dikendalikan para oligark. Mereka, para oligark, hanya berkehendak demi kepentingannya sesaat (kepentingan jangka pendek).

Bila anggota DPR terpilih merupakan hasil dari politik transaksional, politik uang, politik pragmatis yang dikomandoi kaum oligark, akan terjadi adalah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme seperti yang selama ini terjadi. Tidak mungkin anggota DPR produk manipulasi semacam itu bisa bekerja secara kompeten untuk melakukan tugas-tugasnya.

Kompetisi pemilihan legislatif di setiap dapil harus dimanfaatkan masyarakat untuk memilih anggota legislatif yang mempunyai rekam jejak dan komitmennya terhadap demokrasi. Nasib negeri ini berada di pundak 580 anggota DPR di Senayan.

Hari pencoblosan 14 Februari 2024 sangat menentukan arah bangsa. Gunakanlah hak pilih secara bijak dengan menolak serangan fajar. Pilih anggota DPR yang memang diyakini akan mewakili suara Anda berdasarkan kapasitas dan kualitas, bukan amplop yang pas. Beri hukuman pada caleg DPR yang berkampanye melalui politik uang dan serangan fajar dengan cara tidak memilihnya. Hal itu sangat menentukan ke arah mana bangsa ini akan berlayar dan berlabuh.

 

Editor: Prihandini N

Durohim Amnan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email