Kami menyebutnya jendela harapan. Kau mungkin melihatnya sebagai jendela kayu belaka; kusam dan usang termakan usia. Tapi bagiku dan Mas Bayu, kakakku, jendela itu bukan jendela biasa. Jendela itu memiliki makna yang menyentuh hati kami; seperti mimpi-mimpi yang terasa menyadarkan, seperti gairah-gairah yang bersembunyi di relung hati.
Kami sering mengumbar mimpi; mimpi-mimpi yang membuat kami berharap bisa terwujud suatu saat nanti. Dan jendela itu menjadi saksi. Saksi akan mimpi-mimpi kami. Saksi akan harapan-harapan kami. Tak berlebihan bukan jika pada akhirnya kami menyebutnya sebagai jendela harapan?
Bagiku yang saat itu baru masuk Sekolah Dasar, jendela itu tidak hanya terlihat sangat besar, tapi letaknya pun cukup tinggi. Jika aku berdiri di dekatnya, batas bawah jendela itu pas di leherku. Lalu aku harus mendongak untuk bisa melihat bingkai atasnya.
Jendela itu memiliki dua daun yang bisa dibuka ke kanan dan kiri; dari slot di bingkai tengahnya kau dorong saja satu ke arah kiri, dan satu ke kanan. Embusan angin akan langsung memainkan rambutmu. Tidak ada teralis atau apa pun sebagai penghalang. Kayu jendelanya sendiri yang kuingat berwarna cokelat, bermotif salur kehitaman. Kayu jenis itu di Bukittinggi tempat tinggal kami, dikenal sebagai kayu ruyung atau kayu kelapa.
Aku juga ingat, ada meja panjang yang biasa aku dan Mas Bayu pakai. Berdua kami dorong meja besar itu sampai menempel ke jendela. Mas Bayu naik terlebih dahulu, dan kemudian membantuku memanjat meja itu. Tubuh kecil kami menyesaki permukaan kayunya yang dingin.
Kami duduk di sana, menghadap keluar jendela. Kedua lengan kami bertumpu di bingkai, menopang separuh badan kami yang condong ke arah luar.
Kemudian kami bercerita tentang harapan. Banyak sekali harapan. Harapan yang bisa dengan tiba-tiba menyeruak di benak kami. Harapan-harapan sederhana yang mempererat hubungan kami, menguatkan ikatan batin kami.
Aku ingat saat itu ketika kami sedang menikmati waktu di pinggir jendela, Mas Bayu menepuk pundakku.
“Dek, lihat marawa itu,” tunjuk Mas Bayu ke arah tanah lapang dihadapan kami. Di sana, tepatnya di seberang tanah lapang, terdapat kantor KAN (Kerapatan Adat Nagari). KAN merupakan lembaga permufakatan adat tertinggi di Sumatera Barat yang ada sejak turun-temurun, sebagai penjaga dan pelestari adat dan budaya Minangkabau.
Kulayangkan pandanganku ke batang bambu yang menjulang di pagar kantor itu. Bambu itu menopang bendera tiga warna yang terdiri dari tiga bagian vertikal yang merepresentasikan warna identitas dari tiga daerah utama Minangkabau, yaitu hitam yang mewakili Luhak (wilayah) Limapuluh Kota, merah yang mewakili Luhak Agam, serta kuning yang mewakili Luhak Tanah Datar. Kami mengenalnya sebagai marawa.
“Bayangkan bambu itu bukan marawa, Dek.” Lanjutnya.
“Apa itu, Mas?” tanyaku penasaran, ingin tahu apa imajinasinya.
“Bayangkan itu Monas, Dek. Tugu Monas di Jakarta. Suatu saat, Mas pasti ke Jakarta, Dek. Mas mau lihat Monas.” Ada keteguhan di nada suaranya.
“Aku diajak, Mas?” penuh harap kutatap matanya.
“Ya, Dek. Kamu ikut Mas ke Jakarta. Ke Monas nanti kita ya, Dek. Kita naik ke atas, ke puncaknya.” Tegas Mas Bayu. Senyum mengembang di wajahnya.
Aku mengangguk mantap.
“Adek tahu, ada emas loh di puncaknya itu.” Kali ini, suaranya agak berbisik.
“Emas?” takjub sekali aku. Saat itu, aku selalu merasa Mas Bayu itu pintar sekali. Ia tahu saja segala hal; seperti emas di Monas itu. Ia tahu dari mana?
Usia Mas Bayu hanya terpaut tiga tahun di atasku. Tapi aku memang mengidolakan dia. Mungkin karena ia kakakku satu-satunya. Ia seperti panutanku. Aku selalu penasaran dengan apa yang dipikirkannya, dengan apa yang dilakukannya.
Mas Bayu mengangguk. Ia kembali meneruskan ceritanya. “Di Monas itu ada taman yang ada air mancurnya. Dan air mancur itu bisa menari. Bisa menari, Dek! Hebat ya.”
Aku makin terpana. Bagaimana mungkin air mancur bisa menari? Sulit sekali aku membayangkannya saat itu. Tapi aku mengangguk saja sambil tetap menatap marawa itu. Pikiranku masih melayang ke emas di puncak Monas. Mas Bayu belum pernah ke Monas. Lalu, bagaimana ia bisa menceritakan padaku tentang emas dan air mancur menari?
Aku tertawa mengenang kejadian itu. Saat itu, aku memang sangat mempercayai apa pun yang keluar dari mulutnya. Seperti ketika ia memintaku membayangkan kubangan air di tanah lapang itu sebagai kolam dengan air mancur menari yang dimaksudnya.
Tanah lapang yang menjadi satu-satunya pemandangan kami itu tidak terlalu luas; mungkin hanya setengah dari luas lapangan sepak bola pada umumnya. Kondisinya memang tidak terawat. Sebagian besar rumputnya mati, dan ada juga yang berganti ilalang. Di beberapa tempat malah becek, dan membentuk kubangan-kubangan kecil kala hujan.
Kupejamkan mata. Kubiarkan sejuknya angin menerpa wajahku, membawa pikiranku berkelana ke Jakarta; berkelana ke Monas bersama Mas Bayu. Kami berlari-lari di tamannya. Kami mencelupkan kaki kecil kami di kolam air mancur menari. Kami mendongakkan kepala, berusaha memandangi emas di puncaknya.
Lain waktu, kami pernah saling menertawakan harapan kami di jendela itu. Mas Bayu bilang, ia berharap punya sepeda roda tiga seperti punya Randy, sahabatnya. Ia berharap sepeda itu bisa dikendarainya ke sekolah; beriringan dengan Randy.
Aku bilang, aku berharap punya baju Cinderella. Bagiku, baju Cinderella yang kulihat di buku cerita itu bagus sekali. Aku berharap bisa berputar-putar di tanah lapang itu dengan baju Cinderella-ku. Aku membayangkan rok bulatnya itu mengembang lebar, semakin lebar, dan terus melebar.
Mas Bayu tertawa. Katanya, nanti ia akan mengelilingiku dengan sepeda roda tiganya, dan menciprati bajuku dengan air dari kubangan itu.
“Biar saja. Nanti, kan, Mama yang cuci bajunya. Nanti Mas dimarah Mama.” Balasku. Kami tertawa, membayangkan kejadian yang tidak mungkin terjadi namun ternyata bisa membahagiakan kami.
Aku tersenyum mengingat kejadian lebih 30 tahun lalu itu. Ah, terlalu banyak kenangan bersama Mas Bayu di jendela kayu kami; jendela harapan kami. Kepingan-kepingan nostalgia itu kembali memenuhi benakku saat ini, saat aku berdiri di depan sebuah jendela kayu yang lain.
Jika dulu jendela harapan menjadi bagian dari rumah mungil tempat tinggal kami, maka jendela kayu yang kupandangi saat ini menjadi bagian dari sebuah bangunan permanen berukuran 8 meter x 4 meter.
Bangunan ini merupakan sebuah paviliun yang tidak terpakai milik Nenek di kampung Mama, sebuah daerah di Pasaman Barat, berjarak sekitar 150 kilometer dari Bukittinggi. Awalnya, paviliun ini akan dikontrakkan. Namun, aku meminta izin Mama untuk merenovasinya, dan menjadikannya tempat lain yang kurasa lebih bermanfaat.
Sentuhan Mas Bayu di bahuku menyadarkan lamunanku. Aku menoleh menatapnya, memperhatikan kerutan-kerutan tipis yang mulai tampak di beberapa bagian wajahnya.
Aku yakin Mas Bayu mengerti mengapa sedari tadi aku mematung saja di samping jendela ini. Kami kemudian berjalan beriringan, menuju satu-satunya pintu masuk bangunan ini. Mama, Papa, dan Nenek sudah berkumpul di sana bersama dua orang perempuan dan sekitar sepuluh anak kecil yang menatapku malu-malu.
Senyumku mengembang melihat mereka. Anak-anak berusia sekitar lima sampai sepuluh tahun itu adalah anak-anak petani yang tinggal di kampung ini. Keterbatasan ekonomi sudah lama membuat mereka mengubur harapan untuk bisa sekolah; untuk bisa mendapat pendidikan seperti anak-anak di kota besar. Namun kali ini aku, Mas Bayu, Mama, dan Papa bertekad untuk mewujudkan harapan-harapan itu dengan membuka sekolah gratis bagi mereka, di paviliun berjendela kayu ini.
Kami menyebutnya jendela harapan. Kau mungkin melihatnya sebagai jendela kayu belaka. Tapi tidak bagiku, Mas Bayu, Mama, Papa, dua orang ibu guru serta sepuluh anak murid Sekolah Jendela Harapan ini. Kami berharap jendela itu bisa menjadi teman kami bercerita, tempat kami berimajinasi, dan pendengar harapan-harapan kami. Jendela itu, jendela harapan kami.
***
Editor: Ghufroni An’ars