Hidup saya sepenuhnya dimulai dan berakhir pada sebuah kamar: sepetak indekos tiga kali empat meter di pojokan Yogyakarta. Dari sepetak kamar itu, saya berniat pergi ke salah satu ruang pameran Biennale Jogja ke-17.
Suhu panas Yogyakarta siang itu terasa seperti kebocoran uap yang mendidih dari neraka. Tetes demi tetes keringat rasanya sedang menyedot nyawa saya perlahan-lahan. Dalam intaian panas, saya berpikir untuk mematahkan niat jalan-jalan seni ke Biennale Jogja. Toh, kesenian tak bisa jadi juru selamat dari hawa panas.
Saya melipir sejenak ke Warmindo Murni, kedai langganan saya untuk membeli sarapan, kopi, atau es teh manis. Pemilik dan pekerja kedai adalah para perantau tangguh dari Kuningan, Jawa Barat. Kami selalu menyapa dan mengobrol akrab dengan bahasa Sunda. Dalam sepiring nasi telur dan segelas teh, kedai ini selalu berhasil membuat saya merasa pulang kampung ke Bandung.
Sambil menunggu segelas es teh, speaker butut kedai memutar lagu Runtah dari Doel Sumbang. Meski suhu 34 derajat ikut merayap dalam plafon dan dinding kedai—entah lubang ventilasi neraka mana lagi yang makin menganga—segelas es dan obrolan singkat dalam bahasa Sunda cukup menyelamatkan tubuh saya—tubuh yang terasa hampir meledak bersama terik.
Tubuh saya kemudian mampu melanjutkan perjalanan ke Balai Budaya Karang Kitri, salah satu ruang pameran dalam Biennale Jogja ke-17. Lirik lagu Runtah yang sebenarnya bermasalah itu terngiang-ngiang ketika saya berkendara ke Karang Kitri:
Gunta-ganti jalu teu sirikna unggal minggu. Naha kunaon nu geulis loba nu bangor? Naha kunaon nu bangor loba nu geulis? Sigana mah ngarasa asa aing hadé rupa.
Terjemahan bebas: Berganti lelaki tiap minggu. Mengapa orang cantik banyak yang nakal? Kenapa yang nakal banyak yang cantik? Mungkin karena terlalu percaya diri merasa dirinya sangat cantik.
Bajidoran dan Tubuh yang Bergoyang
Pendopo Karang Kitri yang adem dan damai menyambut, sambutan yang bahkan lebih meneduhkan daripada pembukaan pameran seni manapun. Di pendopo itu, saya melihat beberapa warga Desa Panggungharjo yang juga sedang mengungsi dari terik. Tubuh saya yang agak segar masuk ruang pamer.
Saya langsung melihat instalasi capung dari Aji Ardoyono, lukisan wayang Dwi Putra Mulyono, dan instalasi lesung karya Monica Hapsari bersama para Ibu dari Desa Panggungharjo. Menyimak karya para seniman dengan perlahan membuat saya begitu fokus. Namun, konsentrasi itu terpecah ketika samar-samar saya mendengar lagu Runtah lagi, lengkap dengan ritme kendang Sunda yang menghentak-hentak.

Semakin dekat dengan sumber suara, saya terkejut karena lagu itu adalah bagian dari instalasi Ela Mutiara. Lagu itu baru saja saya dengar di Warmindo Murni, lagu yang masih terngiang bersama sisa rasa es teh manis. Melalui instalasi bertajuk Panggung Dibentang, Pinggul Diputar (2023), Ela Mutiara menyuarakan Bajidoran, kesenian rakyat Jawa Barat yang bisa kita simak di desa-desa sekitar Cianjur, Sukabumi, hingga Subang.
Runtah diputar bersamaan dengan sebuah video. Layar menayangkan seorang penari yang berjoget. Entakan irama kendang dan senggakan yang khas memancing kita ikut berjoget juga. Namun, kita tak tahu siapa penari yang menari karena wajah dan tubuh utuhnya tak tampak pada layar instalasi itu. Kita hanya bisa melihat pinggul, punggung, dan tangan si penari yang seakan berkejaran dengan irama kendang. Tatapan kita digiring untuk hanya menatap bagian-bagian tubuh penari itu.


Ruang instalasi Ela Mutiara bukan hanya sebingkai layar video saja, tapi juga benda-benda yang ditata. Memasuki ruang instalasi itu rasanya seperti masuk ke sepetak kamar indekos. Ada blus, kain batik, celana, dan tas selempang yang terjuntai di gantungan baju. Tepat di seberangnya ada hanger yang menggantung kebaya hijau dengan rok, pakaian itu persis seperti yang dipakai oleh sang penari dalam video di layar.
Pada lantai di bawah kebaya hijau, terhampar sajadah lengkap dengan mukenanya. Di sisi lain dinding ruang itu, ada seperangkat catatan kecil berisi jadwal manggung, lagu-lagu yang jadi set pertunjukan tari, dan foto-foto para penari. Pada sisi dinding yang lain ada juga cermin dan wadah make up. Kita seperti dibawa masuk ke kamar dan sepetak ruang hidup para penari yang biasanya hanya kita lihat di panggung.
Ela Mutiara, seorang koreografer dari Sukabumi, mendengar kembali suara-suara penari dan kesenian Bajidoran. Lebih jauh, ia menghadirkan tubuh-tari di panggung desa hingga instalasi “kamar” para penari itu.
Sensualitas Koreografi dan Tatap yang Jelalatan
Menatap layar yang hanya memuat pinggul, pinggang, punggung, dan lengan adalah tawaran artistik dalam video instalasi Ela. Alih-alih menyorot tubuh-tari secara utuh, tatap kita disempitkan pada sepenggal bagian tubuh saja. Tampaknya, tawaran artistik itu ingin berbicara soal sensualitas atau soal bagaimana tubuh-tari para ronggeng Bajidoran ditatap.
Saya teringat euforia panggung rakyat saat 17 Agustus di Kabupaten Bandung, tempat saya lahir. Saat para ronggeng atau biduan dangdut bergoyang, kaum bapak yang sarungan dan sigap di sisi panggung melihat tubuh-tari dengan tatap jelalatan. Sambil cengengesan, mereka menyiapkan uang lima ribu atau sepuluh ribu rupiah, lalu naik ke atas panggung untuk menjelalat lebih dekat.
Tubuh-tari kemudian dikomodifikasi menjadi objek tatapan dan saweran. Goyangan pinggul dan pinggang itu membuat tubuh-tari para biduan dan ronggeng bisa makan, menyekolahkan anak-anaknya, dan bertahan hidup. Secara arogan, publik kelas menengah atau para intelektual seni menyematkan budaya nyawer dan ngibing sebagai budaya rakyat jelata yang murahan.
Kita tak pernah benar-benar mendengar suara para penari dan tubuh-tari yang bertahan hidup. Pinggul yang bergoyang dan koreografi sensual itu sumber pencarian nafkah, membuat mereka perlu mengais rupiah dari panggung satu desa ke desa lainnya.
Apa yang kemudian direkam Ela Mutiara adalah persoalan tatap-menatap itu, yaitu soal bagaimana komodifikasi budaya bergerak dalam sensualitas tubuh-tari. Instalasi dan riset artistik—yang mungkin digarapnya sejak lama—menawarkan cara yang empatik untuk mendengar suara-suara tubuh-tari itu.
Dalam instalasi di Karang Kitri, ada tubuh-tari yang hanya bisa kita tatap dalam “tatapan jelalatan” (male gaze). Apalagi, ruang itu dikepung suara dari lagu Runtah, lagu yang juga berpijak pada tatap lelaki tentang tubuh perempuan dan klaim-klaim stereotip soal kecantikan. Semua kombinasi artistik itu menghadirkan proses menatap “tatapan” pada ruang personal si tubuh-tari. Patahan estetika kemudian ikut terjadi dalam tubuh kita, sebab proses tatap terjadi dalam dua lokasi tubuh-tari yang berbeda: tubuh-tari di panggung dan tubuh-tari di kamarnya sendiri.
Patahan itu kemudian memantik banyak pertanyaan, bagaimana dua tubuh-tari yang berbeda hidup dalam ruang kesehariannya? Bagaimana rasanya tubuh-tari itu menjalani peran koreografi sensual di panggung-panggung? Bagaimana rasanya melepas penat setelah dari desa ke desa ditatap mata yang jelalatan? Bagaimana rasanya tubuh-tari mereka melewati tatap jelalatan untuk mengais rupiah?
Baca juga:
Ruang instalasi Ela Mutiara membawa kita berangkat menuju perenungan yang empatik soal tubuh-tari yang terus ditatap tanpa henti. Kita memperlebar telinga dan mata untuk melihat ruang-ruang keseharian para penari Bajidoran. Tubuh-tari itu kemudian menjadi arsip tatapan, arsip yang menyingkap asal-usul posisi tubuh dalam kultur patriarkis.
Perenungan soal tubuh-tari itu menjadi rumit, apalagi soal tubuh-tari yang direduksi semata-mata sebagai pinggul, pinggang, dan objek nyawer. Seakan-akan, posisi lekuk tubuh jadi lebih penting ketimbang harmoni, ritme, koreografi, dan ekspresi estetik. Instalasi ini mengantar kita pada perenungan: interupsi artistik apa lagi yang perlu dilakukan untuk melampaui tubuh-tari yang jadi komoditas hasrat?
Editor: Emma Amelia