Kekerasan Seksual Pesantren Shiddiqiyyah dan Keinginan Saya untuk Bunuh Diri

Tsamrotul Ayu Masruroh

4 min read

Trigger warning: segala macam kekacauan jiwa, termasuk di antaranya keinginan untuk mengakhiri hidup.

Ramadan 1443 H ini menjadi bulan yang paling menyedihkan dalam hidup saya, bukan saya tidak bersyukur bisa berjumpa dengan bulan yang mulia ini, namun saya merasa terdapat beberapa penderitaan yang mencengkram kuat dalam diri saya. Penderitaan itu berpangkal dari kasus kekerasan seksual di pesantren Shiddiqiyyah yang melibatkan saya sebagai saksi, dan berimbas pada saya menjadi korban penganiayaan, hingga kini tidak jelas juntrungannya. Meskipun berkas kasusnya sudah lengkap (P21), pelaku sudah ditetapkan sebagai DPO, kasusnya ramai diberitakan banyak media tapi pelaku tak juga ditangkap.

Baca lengkap:

Di sisi lain, saya mengetahui banyak korbannya justru diintimidasi oleh pihak pelaku. Saya merasa aparat penegak hukum ini memang tidak sungguh-sungguh memproses kasus tersebut, rasanya percuma bersusah payah bertahun-tahun menjalani proses hukum. Lebih dari itu saya tidak kuat mendengar influencer yang banyak menyuarakan ketimpangan sosial justru di media sosialnya mengatakan bahwa kasus tersebut kasus rekayasa. Karena tak kunjung ditangkap hal itu menambah beban saya harus jauh dari orang tua dan saya tidak keluar rumah dan berkomunikasi dengan sembarang orang, demi alasan keamanan.

Tepat dua hari menjelang Ramadan, malam hari saya tidak bisa tidur, saya tiba-tiba menangis hingga merasa sesak napas, saya mengingat-ingat kenapa nasib begitu tragis, hal tersebut terjadi setiap malam hingga hari ke 4 malam bulan Ramadhan saya kepikiran untuk memilih mengakhiri hidup saya dengan bunuh diri, pada waktu itu muncul berbagai pertanyaan mendasar soal hidup: “Mengapa saya masih hidup di dunia? Untuk apa hidup saya perlu dipertahankan? Kenapa saya tidak bunuh diri saja?”.

Tidak ada yang aktivitas yang berubah dari Ramadan sebelumnya, Saya tetap menjalani Ramadan sebagaimana mestinya, saya salat lima waktu, berpuasa, tarawih, mengaji Al-Quran sebagaimana Ramadan biasanya. Hal itu yang membuat orang di sekitar saya mungkin berpikir bahwa saya dalam kondisi yang baik-baik saja. Meskipun sebenarnya saya merasakan kegelisahan yang luar biasa, barangkali benar manusia memang tidak bisa hidup tenang, damai, khusyuk beribadah jika ada ketidakadilan pada dirinya. Saya pun merasa tak ada salahnya ketika saya beribadah tapi saya merasa resah dan ingin mengakhiri hidup saya.

Saya tahu, cepat atau lambat setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati. Sempat saya kepikiran kalau bisa mati sekarang kenapa menunggu yang akan datang. Kemudian saya mengingat firman Tuhan bahwa sebagai muslim saya tidak boleh putus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya putus asa dari rahmat Allah adalah berbuatan orang kafir. Saya ingat segala kesulitan pasti ada kemudahan,tapi kenapa kemudahan tak kunjung hadir dalam kehidupan saya. Saya ingat pula firman Tuhan yang menyatakan seseorang yang hidup pasti diuji dengan rasa sakit, ketakutan, tapi kenapa ujian kepada saya tak kunjung berakhir, saya merasa Tuhan tidak adil. Membuat jalan hidup saya begitu berat ketika saya berjuang melakukan perintahnya untuk memperjuangkan keadilan.

Baca juga:

Di sisi lain saya juga tahu sebagian besar masyarakat menganggap bahwa bunuh diri adalah tindakan orang pengecut, dilakukan oleh seorang yang putus asa, takut dan tak kuat menjalani hidup. Sering kali orang yang bunuh diri dianggap lemah iman. Padahal bunuh diri itu bukan sebuah hal yang sederhana, keinginan itu berasal dari banyak konflik yang berkecamuk dalam diri yang tak kunjung terselesaikan.

Sejak kecil saya mengetahui banyak kasus orang bunuh diri, di antaranya ada tetangga saya yang memilih gantung diri karena terlilit utang, di televisi saya pernah melihat berita mahasiswa berusaha memutus urat nadi karena tak kuat membayar biaya kuliah, di media sosial saya mengetahui perempuan yang menenggak racun karena mengalami kehamilan tidak diinginkan, sementara pasangannya tidak bertanggung jawab dan seminggu sebelum saya menulis tulisan ini saya mengetahui ada perempuan muda yang baru menikah bunuh diri di rel kereta dekat tempat tinggal saya, tubuhnya remuk tak karuhan.

Saya merasa bunuh diri ini bukan hanya permasalahan personal tapi juga sosial, hal ini mendorong saya untuk mencari tahu lebih dalam kenapa orang melakukan bunuh diri, saya pun melihat beberapa diskusi filsafat soal bunuh diri di YouTube, saya menemukan banyak perdebatan pemikiran soal bunuh diri dari boleh atau tidaknya, hingga dampak yang ditimbulkan. Di beberapa diskusi yang saya lihat, diskusi bunuh diri disampaikan dengan banyak ketawa dan bergurau, yang membuat saya merasa orang-orang ini banyak membicarakan bunuh diri, tapi sesungguhnya tidak bisa merasakan bagaimana rasanya beban orang yang ingin bunuh diri, meskipun ada beberapa orang yang memilih bunuh diri sebagai bentuk penyerahan diri dan bunuh diri dilakukan dengan senang hati.

Hingga saya menemukan sosok Emile Durkheim seorang sosiolog yang menyatakan bahwa bunuh diri tidak bisa dipisahkan dengan aktivitas sosial seseorang. Ia pun membagi bunuh diri menjadi 4 kelompok: tipe pertama adalah bunuh diri egoistik akibat terlalu sedikitnya integrasi sosial yang berhasil dilakukan sang individu dengan kelompok sosial, seperti bergaul dan berinteraksi. Tipe kedua disebut dengan bunuh diri altruistik akibat dari integrasi sosial yang terlalu kuat sehingga individu mengorbankan dirinya untuk kepentingan-kepentingan kelompoknya. Tipe ketiga adalah bunuh diri anomik yang dilakukan ketika tatanan, hukum-hukum, serta berbagai aturan moralitas sosial mengalami kekosongan. Terakhir bunuh diri fatalistik yang terjadi ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat, sehingga menyebabkan individu ataupun kelompok tertekan oleh nilai dan norma tersebut.

Keinginan bunuh diri yang saya rasakan ini adalah karena adanya tekanan yang kuat dalam diri saya. Karena itulah saya sadar bahwa kondisi mental saya sedang dalam bahaya, saya percaya bahwa segala kenyataan itu berawal dari pikiran, saya membayangkan diri saya mati karena bunuh diri. Pada titik itu, saya mencoba istirahat dan tidak melakukan aktivitas apa pun selama beberapa hari. Selanjutnya saya segera membuat janji dengan psikolog terdekat di salah satu tempat saya tinggal.

Saya menceritakan keinginan saya untuk bunuh diri dan berbagai masalah yang saya hadapi, dan psikolog itu mengingatkan bahwa apa yang saya jalani adalah konsekuensi dari jalan hidup yang saya pilih, saya punya pilihan untuk tetap maju berjuang dan mundur tak terlibat dalam kasus kasus tersebut, dalam pikiran saya seandainya saya tidak mengambil jalan perlawanan pasti saya tidak menanggung resiko yang begitu berat, namun tak bisa menjamin pula hidup saya lebih damai, ketika saya memilih bodoh amat terhadap kasus kekerasan seksual tersebut. Segala hal akan mempunyai resiko yang tidak bisa ditebak dengan mudah, karena di luar kontrol manusia.

Tentu, saya tidak ingin mundur, saya pun tidak ingin meninggalkan teman-teman saya yang telah berjuang melawan kekerasan seksual di lembaga pesantren tersebut. Psikolog tersebut pun mengatakan kepada saya bahwa jika itu pilihan saya, brarti saya harus kuat tidak boleh putus asa. Saya pun diingatkan pada orang-orang terdekat saya, keluarga dan juga sahabat yang peduli soal keadaan saya. Saya pun ditanyai apakah ada hal membuat saya bahagia dalam waktu dekat? Saya pun mengingat dalam waktu dekat saya mendapatkan hadiah dari kawan-kawan dekat, kiriman buku, akses belajar menulis dan beberapa ucapan semangat dan solidaritas.

Namun rasanya pada titik ingin bunuh diri, saya merasa penderitaan seolah menguasai hidup saya, dan semua nikmat yang datang kepada saya seolah hilang tak tersisa. Barangkali benar apa kata Pramoedya Ananta Toer dalam buku Anak Semua Bangsa: “Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barangsiapa hanya memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barangsiapa memandang pada penderitaannya saja, dia sakit.”

Hingga pada satu malam, ada kawan yang mengirimkan pesan di Whats App, yang menyatakan bahwa dia siap menjadi teman cerita dan mendengarkan keluh kesah, dia menjelaskan bahwa sebelum mengirim pesan tersebut dia membaca rentetan surat dari seorang yang baru saja mati bunuh diri. Dia tidak ingin kawannya melakukan bunuh diri. Dia mengingatkan jika banyak orang masih peduli, mungkin keluarga, kawan, bahkan mereka yang jarang komunikasi dengan kita sekali pun. Beberapa kawan lainnya pun menyatakan hal serupa di berbagai media sosial lainnya.

Saya langsung membalas dan menceritakan apa yang saya rasakan, pada malam itu pula saya merasakan bahwa banyak orang yang sayang sama saya, saya pun mendapat beberapa pesan yang mendukung saya untuk tetap bertahan. Pada titik itu saya senang punya banyak kawan yang peduli dengan apa yang saya rasakan.

Terakhir, kepada semua yang sudah membersamai saya, saya ucapkan terima kasih. Saya meyakini bahwa kalian adalah bentuk cinta kasih Allah yang dikirimkan untuk menguatkan saya di bulan Ramadan yang mulia ini.

Tsamrotul Ayu Masruroh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email