Media terlalu berlebihan ketika mengabarkan berita tentang bangku kosong di Piala Dunia Qatar. Terutama, banyaknya bangku kosong itu terjadi pada laga pembuka Piala Dunia (20/11) antara Qatar kontra Ekuador di Stadion Al Bayt di Kota Al Khor.
Media mengatakan banyaknya kontroversi di Qatar yang membuat penonton enggan datang langsung ke stadion. Asumsi ini diperkuat oleh Eric Cantona, legenda Manchester United yang terang-terangan mengatakan ogah nonton. Salah satu alasannya adalah karena ribuan korban jiwa tergeletak selama penyelenggaraan Piala Dunia Qatar.
Selain pelanggaran HAM ugal-ugalan dan (mungkin) tidak akan pernah terungkap, sistem kafala yang menjadikan manusia bak budak belian, tidak ada undang-undang ketenagakerjaan yang melindungi para migran juga menambah catatan merah bagi penyelenggaraan Piala Dunia Qatar.
Namun menurut saya, media-media berlebihan dalam mengabarkan isu bangku kosong di Piala Dunia Qatar. Padahal sudah jelas ada aturan—selain dilarang ada alkohol dan seks bebas—media dilarang mengabarkan hal-hal jelek seputar piala dunia edisi kali ini.
Dilansir dari Tempo, ada aturan yang menyatakan bahwa perkataan yang dianggap kritis terhadap pemerintah Qatar bisa memicu penangkapan. Mungkin di Qatar suasannya masih mirip-mirip seperti Indonesia tahun 90-an, ya?
Tips menonton piala dunia edisi ini memang harus husnuzan alias berprasangka baik. Kalau pikiran kita suudzan, yang ada kok, ya, Qatar ini salah mulu. Mari saya pandu, agar kita selalu berprasangka baik kepada negara bermartabat seperti Qatar.
Piala Dunia Paling Husnuzan Sepanjang Sejarah
Masalah Piala Dunia Qatar datang bahkan sejak dari penentuan maskot. Banyak yang bilang, si La’eeb mirip seperti hantu Casper. Saya yang selalu berprasangka baik jelas menolak. Dalam tulisan saya di Mojok, saya mengatakan La’eeb yang warnanya putih mirip kain pocong mungkin dipilih Qatar untuk bermuhasabah diri. Bentuk sadar diri Qatar sebagai ketidakbecusan mereka mengurus hak pekerja migran di sana.
Si La’eeb itu asalnya adalah kain ghutra berwarna putih bersih. Qatar dengan gentle membuat maskot bermotif mirip pocong sebagai penanda bahwa mereka sudah membunuh banyak pekerja migran dan melanggar HAM. Namun, hukum begitu licin dan lentur untuk ditegakkan di sana.
Qatar juga menampilkan Morgan Freeman, Ghanim Al-Muftah, dan pembacaan ayat Al-Quran dalam opening ceremony. Katanya, hal ini sudah menjadi simbol bahwa piala dunia Qatar menjunjung tinggi persatuan dan perdamaian. Alkohol, seks bebas, dan segala simbol LGBTQ juga dilarang. Aturan ketat khas Qatar, katanya.
Namun, ketika ada penonton Timnas Iran yang memegang jersey dengan name tag Mahsa Amini—perempuan yang ditangkap pasukan moral tentara Iran yang mengawasi implementasi peraturan hijab—sebagai bentuk protes kepada pemerintahan negaranya, justru ditertibkan oleh petugas keamanan stadion. Qatar memang tegas memerangi segala bentuk politik yang masuk ke stadion. Padahal, cara mereka melobi jadi tuan rumah piala dunia tempo lalu bisa dimasukkan dalam praktik politik global.
Di luar banyak yang menyebut bahwa Qatar menjadikan Morgan Freeman dan Ghanim Al-Muftah sebagai tameng semata. Namun, apa iya Qatar setega itu? Pasalnya, Morgan dan Ghanim tampak tulus sekali ketika menyampaikan pesan damai kepada dunia. Bahkan banyak yang menangis saat pembacaan Quran.
Piala dunia harus dirayakan, katanya. Makanya, buang saja pikiran-pikiran keruh. Karena kalau kita memelihara pikiran keruh tentang Qatar, yang muncul adalah kesedihan karena jumlah korban migran meninggal di Qatar ini setara dengan jumlah korban sebuah perang atau bencana alam skala besar.
Bangku Kosong (Mungkin) Bentuk Penghormatan Qatar untuk Korban Migran
Selain laga pembuka seperti yang sudah kita bahas di atas, Stadion Internasional Khalifa pada laga Inggris dan Iran juga sepi-sepi saja. Penonton yang menyaksikan di televisi juga bisa menyadari adanya jajaran bangku kosong di tribun yang menghadap kamera utama. Namun, alasannya cukup jelas, ada masalah akses di aplikasi FIFA Ticketing kala itu.
Sepi di laga Iran kontra Inggris cukup masuk akal karena mereka adalah negara tamu. Sedangkan pemandangan di Stadion Al Bayt dalam laga antara tuan rumah melawan Ekuador cukup memilukan. Ditambah, laga diselenggarakan setelah opening ceremony.
The Guardian melaporkan bahwa ada beberapa warga Qatar yang membeli lebih dari 20 tiket pertandingan menggunakan dua akun FIFA. Tiket ini tidak dijual lagi. Warga Qatar kalau gabut ternyata tidak main catur di pos ronda, tapi beli tiket piala dunia dengan harga jutaan.
Bagi saya, dua alasan di atas tidak masuk akal. Jika masalahnya adalah ticketing, kemungkinan paling banyak dilaporkan adalah laga Amerika kontra Wales. Sebanyak 500 orang melakukan penukaran tiket di Doha Exhibition & Convention Center (DEEC). 500 orang ini tidak ada apa-apanya ketimbang jumlah bangku di Stadion Ahmad bin Ali yang berjumlah 45 ribu bangku.
FIFA mengabarkan jika jumlah penonton Qatar vs Ekuador adalah 67.372 dengan kapasitas Stadion Al-Bayt (yang sudah direnovasi) 68.895 orang. Artinya, bangku stadion hanya kosong sebanyak 1.523 bangku. Namun, dalam pantauan kamera dan siaran langsung, banyaknya penonton laga itu bisa diadu dengan jumlah penonton Persiba Bantul di Stadion Sultan Agung. Sama-sama sepi.
Apakah Qatar dan FIFA memanipulasi angka-angka ini? Oh, jelas tidak. Opini saya sih, ini justru bentuk respect Qatar kepada korban migran yang berjatuhan selama proses pembangunan stadion.
Pada Maret 2022, Nottingham Forest mengosongkan 97 kursi ketika menjamu Liverpool. 97 bangku yang dikosongkan ini merupakan jumlah korban fans Liverpool yang meninggal pada tragedi Hillsborough. Kedua tim ini pernah ketemu pada tahun 1989 dan 97 penonton meninggal karena berdesakan ketika masuk stadion.
Pada April 2014 hal yang sama juga pernah terjadi. Tepatnya di Stadion Wembley, pada pertandingan antara Arsenal menghadapi Wigan Athletic. Syal Liverpool terlihat memeluk 96 bangku kosong sebagai bentuk belasungkawa 25 tahun tragedi Hillsborough (saat itu jumlah korban meninggal masih 96, sebelum Andrew Devine pada 2021 menambah korban jadi 97).
Pengosongan kursi di City Ground dan Wembley adalah bentuk bela sungkawa dari korban tragedi sepak bola. Bagaimanapun, tak ada olahraga yang sebanding dengan hilangnya nyawa. Apalagi sampai 97 banyaknya.
Dari dua contoh di atas, ribuan bangku kosong yang menghiasi laga pembuka Piala Dunia Qatar, sejatinya itu adalah cara tuan rumah dalam menghormati para migran yang tewas selama proses pembangunan stadion. Diamnya pemerintahan Qatar, jangan dibilang sebagai sikap tidak berempati, karena ribuan bangku kosong itu bisa saja bentuk lain dari cara Qatar menyampaikan bela sungkawa secara malu-malu.
FIFA, sebagai federasi tertinggi, harusnya juga terlibat dalam aksi duka cita dalam senyap macam ini. Duka cita yang tidak tertangkap kamera. FIFA memang amoral dan nirempati dalam menanggapi tragedi Kanjuruhan (mereka malah main fun football di Indonesia bersama PSSI). Namun, dalam kasus Qatar, sudah pasti mereka punya hati. FIFA tidak mungkin membiarkan ribuan bangku laga pembuka gelaran sepak bola kelas dunia itu kosong tanpa alasan.
Kalau memang bangku kosong di Piala Dunia Qatar karena sepi, apalagi saat laga tuan rumah sendiri, memang membahayakan citra negara tersebut. Padahal, ada isu Qatar sudah berupaya dengan cara menyewa penonton bayaran. Sekali lagi, tips menikmati piala dunia edisi kali ini adalah berprasangka baik. Kalau sampai akhir masih sepi, saran saya hanya satu, Qatar hire saja Mpok Elly Sugigi.
***
Editor: Ghufroni An’ars