Aku sedang menikmati makan siang ketika perhatianku teralihkan pada judul sebuah berita koran di atas meja. Judul tendensius tentang ancaman perang nuklir yang kini berada di depan mata akibat memanasnya konflik Rusia dan Ukraina. Dengan malas aku membuka lipatannya dan mulai membaca.
Berita itu mengutip komentar seorang pengamat militer tentang konsekuensi-konsekuensi yang akan diterima umat manusia jika perang berlanjut. Dia juga mengingatkan pembaca tentang uji coba nuklir yang pernah dilakukan semasa perang dunia kedua oleh Amerika Serikat di Atol Bikini.
Uji coba yang dimaksud berlangsung di sekitar kepulauan Mikronesia di wilayah Samudera Pasifik. Koran menampilkan foto awan menyerupai jamur naik ke langit. Bom berkekuatan 21 kilo ton menghasilkan kerusakan parah yang dampaknya masih bisa dirasakan sampai sekarang. Peneliti menemukan kawah besar di bawah samudera Pasifik dengan tingkat radiasi yang tinggi. Membuatnya tak aman untuk ditinggali.
Membaca pemaparan sang pengamat militer membuat selera makanku hilang seketika. Aku meletakkan sendok dan meninggalkan begitu saja kotak makan siang buatan istriku dan berjalan ke jendela. Sesuatu yang kasar seperti menusuk perutku. Bukan karena kengerian yang muncul dari informasi itu, melainkan sebuah ingatan tentang kisah manusia-manusia Juku’ yang pernah kudengar dari kakekku semasa aku kecil dulu.
***
Ini adalah pengalaman kakekku yang seorang nelayan sewaktu dia melakukan pelayaran terakhirnya sekitar delapan puluh tahun lalu. Sebuah kejadian yang menjadi titik tolak dalam hidupnya, di mana dia kehilangan kaki kirinya dan membuatnya gila di tahun-tahun terakhir kehidupannya.
Kakekku waktu itu masih berusia enam belas tahun. Dia adalah kru termuda di kapal nelayan tersebut. Memasuki malam ke delapan belas pelayaran mereka, badai hebat dan hujan deras mengombang-ambingkan kapal dalam permainan alam yang tak seorang pun pernah lihat sebelumnya.
Empasan angin menghancurkan geladak, papan-papan tercerabut, kebocoran yang membuat air menyebar cepat memberikan kemiringan yang cukup parah. Beberapa anak buah kapal terlempar ke laut. Kakekku ikut tersapu ombak dan menghilang di dalam air.
Nyaris kehabisan napas, Kakek berpikir bahwa mungkin hidupnya akan berakhir di sana. Dia menutup mata, memasrahkan diri terbawa arus gelap sampai akhirnya kehilangan kesadaran.
Ketika Kakek terbangun hari sudah siang. Dia terdampar di tepi pantai sebuah pulau dengan manusia-manusia Juku’ mengerubunginya.
Apa yang dia ceritakan selanjutnya mungkin akan membuat orang berpikir bahwa Kakek adalah seorang pembual yang mencoba menipu kita dengan dongeng Disney atau semacamnya. Tetapi fakta bahwa dia berhasil kembali ke desa setelah dua tahun menghilang dan kuburan tanpa jasad miliknya telah ditumbuhi pohon setinggi pinggang orang dewasa membuat kita tak punya pilihan selain membiarkannya menyelesaikan ceritanya.
Yang dimaksud manusia-manusia Juku’ adalah penduduk sebuah pulau kecil di tengah laut. Kakekku tak bisa menentukan letaknya secara pasti, tapi tempat itu dipenuhi oleh orang-orang berpenampilan aneh.
Juku’ adalah sebutan pemberian kakekku untuk menjelaskan fisik mereka yang mirip ikan. Tubuh mereka tinggi tegap, kulit transparan kebiru-biruan.
Orang-orang ini harus membasuh tubuh mereka dengan air laut setiap lima belas menit atau kulit mereka akan berubah menjadi sekeras baja. Telinga mereka menyerupai sirip ikan dan mereka berbicara dalam bahasa asing yang anehnya bisa dimengerti oleh Kakek.
Orang-orang ini lalu membawa Kakek ke sebuah perkampungan di tengah pulau untuk dirawat. Terutama untuk mengeluarkan sebuah potongan kayu kapal yang menancap pada satu betisnya, tembus dari satu sisi ke sisi lain.
Kakek tak sadarkan diri selama berhari-hari dan ketika dia bangun satu kakinya telah dipotong.
Kakek lebih terkejut lagi ketika menemukan satu kakinya digantung di dinding kamar yang terbuat dari anyaman daun kelapa. Kaki kiri itu masih lengkap dengan kayunya.
“Kami terpaksa memotongnya,” seorang lelaki muncul dari luar. “Kakimu sudah membusuk dan tak bisa diobati lagi.”
Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai kepala suku di pulau tersebut.
“Kau masih harus istirahat selama sebulan sebelum benar-benar bisa sembuh,” kata lelaki itu.
Sepanjang waktu itu Kakek hanya bisa merebahkan diri di atas dipan kasar yang juga dilapisi daun kelapa. Beberapa pelayan keluar masuk untuk memberinya makan, menempelkan olahan rempah dari dedaunan ke luka di lututnya dan membungkusnya dengan daun pisang.
Laki-laki akan mengantarnya buang hajat dan perempuan akan membaluri tubuhnya dengan semacam campuran bunga-bunga wangi dan pasir dingin yang membuatnya tetap sadar. Kakek diberi makan buah, daging hewan liar yang nampaknya diternakkan di pulau tersebut tapi tak pernah sekali pun mendapatkan ikan.
Suatu hari ketika dia sudah merasa cukup sehat, kepala suku muncul dan memberinya sebuah tongkat sederhana dari kayu untuk membantunnya berjalan.
Kakek keluar dari gubuk untuk pertama kalinya dan dibuat takjub oleh kehidupan manusia-manusia Juku’. Peradaban mereka benar-benar unik. Rumah-rumah tertata rapi, jalan-jalan kecil yang mengarah ke suatu alun-alun di tengah desa. Orang-orang yang berjalan dan duduk-duduk di pinggir jalan tersenyum kepada Kakek. Mereka menerima Kakek sebagai tamu kehormatan dan mengajarkannya banyak hal tentang kehidupan di sana.
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan tak terasa Kakek telah tinggal di pulau itu selama dua tahun. Dia juga mulai menjalin hubungan baik dengan beberapa orang, termasuk seorang gadis yang masih kerabat kepala suku.
Gadis itu tak punya nama sebagaimana tak seorang pun memiliki nama di pulau tersebut. Tapi mereka menjalani hari-hari yang menyenangkan bersama. Hanya butuh beberapa minggu bagi perkenalan itu untuk membuat Kakek jatuh cinta kepada si gadis.
“Tidak bisa,” kata gadis itu.
“Kenapa?” Tanya Kakek.
“Kami tidak menikah seperti kalian,” katanya.
“Lalu bagaimana cara kalian beranak pinak?”
“Kau tidak akan mengerti.”
“Apa karena kalian setengah ikan?” Kata Kakek memburu. “Sebagian diri kalian juga manusia, bukan?”
Gadis Juku’ menggeleng. “Kau harus pulang ke tempat asalmu. Cepat atau lambat mereka akan mengusirmu.”
“Mengusir? Setelah semua kebaikan ini? Lalu ke mana saya akan pulang? Saya bahkan sudah tak ingat lagi arah kampung halaman.”
“Tidakkah kau rindu dengan duniamu sendiri?”
Permintaan si gadis yang menyuruhnya pergi sungguh menggusarkan hati Kakek. Kakek berusaha membuktikan kepada penduduk pulau itu bahwa dia adalah bagian dari mereka. Kakek melakukan semua hal yang dibutuhkan untuk menarik simpati mereka: membantu pekerjaan komunitas, menceritakan hal-hal lucu, sampai bertingkah seperti penduduk pulau. Tapi itu hanya membuat mereka semakin tak nyaman dan memandang Kakek dengan rasa kasihan.
Pada akhirnya, hari perpisahan memang tak terhindarkan. Penduduk pulau memutuskan pergi dari sana. Semuanya dilakukan terburu-buru pada malam hari, dengan kapal-kapal besar bersandar di pantai. Satu sampan kecil untuk Kakek.
“Bawalah aku bersama kalian. Kalian tidak bisa membiarkanku sendirian di lautan. Aku tak tahu jalan pulang.”
“Tenang saja,” kata kepala suku. “Laut akan membawamu pulang ke rumahmu sebagaimana dia membawamu ke sini.”
Kakek menjatuhkan diri ke pasir, memohon sambil menangis, tak ingin ditinggalkan sampai-sampai tindakannya itu membuat kepala suku kesal.
“Kau bukanlah bagian dari kami,” dia berkata. “Kami pergi meninggalkan tanah yang kami hidup di atasnya selama ini karena ulah bangsa kalian. Kalian membuat kerusakan di mana-mana. Kalian menghancurkan tempat tinggal kami, memaksa kami menyingkir demi perang-perang di antara kalian sendiri. Sampai waktunya tiba kalian akan sadar bahwa perang yang kalian ciptakan itu akan menghancurkan kalian semua.”
***
Demikianlah. Kakek kembali ke desa dan membangun hidupnya yang baru. Untuk melupakan kenangan menyakitkan itu dia menikahi sepupunya sendiri yang kemudian hari menjadi nenekku dan memulai kesibukannya sebagai tukang kayu.
Ayahku dan anak-anak lain kemudian lahir dan dalam beberapa tahun cerita ajaib tentang hidup Kakek perlahan dilupakan oleh penduduk setempat termasuk nenekku. Bagi mereka kalaupun cerita itu nyata adanya biarlah tetap tinggal sebagai sebuah cerita dan diperlakukan sebagai satu fase masa lalu belaka.
Tapi tidak bagi Kakek. Dia memendam kekecewaannya sendiri dan tak pernah lelah membicarakannya. Dia menua dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya sampai pada titik kegilaan.
Mereka bahkan harus mengurung Kakek di kolong rumah setelah beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri dengan mengendap-endap pergi pada tengah malam dan melemparkan dirinya sendiri dari atas tebing yang menjorok ke laut.
Suatu hari ketika usiaku sembilan tahun Ayah dan Ibu membawaku ke desa untuk merayakan hari raya Lebaran. Ketika semua orang sedang sibuk dengan tamu-tamu, aku turun ke kolong rumah dan diam-diam pergi menemui Kakek.
Aku duduk di dekat pintu kandang dan mengintip di sela-sela dinding bambu. Betapa menyedihkannya keadaan Kakek di dalam sana sampai-sampai aku berpikir jika dia adalah salah satu karakter bungkuk dalam film-film fantasi masa kecilku.
Tubuh Kakek kurus kering. Rambutnya tumbuh tipis dan jarang-jarang, tulang pipinya menonjol. Dia duduk di pojokan dengan menenggelamkan kepalanya ke sela kedua pahanya. Tubuhnya digoyangkan maju mundur.
Aku membuat suara untuk menyapanya.
Kakek menyadari keberadaanku. Dia mengangkat kepalanya dan segera bangkit. Menggunakan tongkat kayunya dia bergerak mendekat dan duduk di dekatku. Kami hanya dibatasi sebuah dinding.
“Kau percaya?” dia bertanya.
Aku tahu maksud pertanyaannya. Dia selalu mengatakan hal yang sama kepada orang yang datang tak peduli apa pun tujuan orang itu berkunjung: menanyakan kabar, memberi hadiah atau semacamnya. Seolah satu-satunya yang dia butuhkan di masa tuanya hanyalah seseorang yang percaya pada ceritanya.
Kukatakan bahwa Ayah melarangku untuk percaya. Dia bilang semua juga tahu jika Kakek menghilang selama dua tahun dan semua percaya jika dia satu-satunya yang selamat dari badai di lautan. Tapi mereka segera kehilangan minat ketika cerita sampai ke manusia-manusia Juku’. Itu terlalu sukar dipercaya.
Memangnya mana ada manusia dengan telinga serupa sirip ikan, kata Ibu.
Selebihnya adalah khayalan, ayahku menambahkan.
Namun, mendengar cerita itu dari mulut Kakek sendiri membuatku ragu jika dia benar-benar gila. Pasti ada yang salah dengan orang-orang ini sehingga tak mau mempercayainya.
Dengan cara yang aneh pengakuan Kakek menghantuiku untuk waktu yang lama. Aku bahkan tumbuh besar tanpa bisa melupakannya seperti orang lain.
Cerita ini seolah tinggal di kepalaku dan mengambil banyak bentuk: tragis, menakutkan, bahkan sedih.
Dan di sinilah aku sekarang, berpuluh-puluh tahun kemudian, mengenang kembali semuanya. Bukan sebuah kebetulan jika pada tahun 1947 pemerintah Amerika Serikat melakukan uji coba nuklir di samudera Pasifik dan pada waktu yang sama para manusia Juku’ berbondong-bondong meninggalkan pulau mereka.
Bukan kebetulan jika kepala suku mengancam bahwa suatu hari nanti Kakek dan semua manusia di bumi ini akan melihat sendiri akibat-akibat dari kerusakan yang kita ciptakan.
Dunia sedang diambang perang nuklir tapi sayangnya Kakek telah lama mati untuk menemukan jawaban dari pertanyaannya tersebut.
Aku kembali ke meja, menatap makanan buatan istriku tercinta. Tiba-tiba aku teringat keluargaku dan bisnis yang bertahun-tahun kubesarkan dengan kerja keras sampai aku berdiri di titik ini, menjadi makmur dan berkecukupan atas segala hal.
Apa artinya semua ini di hadapan dunia yang menuju kiamat. Para politisi itu bisa saja bersepakat damai esok hari untuk menunda kehancuran dunia. Tapi kecemasan dan konflik akan terwariskan ke generasi berikutnya. Anak-anak kita sekali lagi akan bermain-main dengan tombol kematian itu. Dan sampai kapan?
Aku menenggelamkan diri di punggung kursi dan menutup mata. Aku coba membayangkan wajah Kakek puluhan tahun lalu di atas sampan kecil yang membawanya pulang ke desa. Dia terlihat bingung dan kecewa.
***
Editor: Ghufroni An’ars