Imajinasi atas surga dan neraka menjadi bahan baku yang tak ada habisnya untuk karya sastra. Bagi generasi yang tumbuh pada periode 1980-1990an, serial komik Siksa Neraka karya MB. Rahimsyah berhasil menghidupkan imajinasi penuh ketakutan dan kengerian atas kehidupan di neraka. Visual vulgar komik Siksa Neraka menggambarkan dengan gamblang bagaimana manusia mendapat siksaan sebagai akibat dari perbuatan mereka di dunia; mulai dari dipanggang hidup-hidup di api, hingga punggung yang disetrika sampai bolong.
Bagian 1 & 2 Seri Tulisan Sastra Islami:
Berdampingan dengan imajinasi tentang neraka, imajinasi atas surga yang menawarkan kedamaian dan kebahagiaan abadi terus menawarkan bujuk rayunya. Dalam Al-Quran dan dalam catatan hadith, surga dideskripsikan sebagai sebuah tempat dengan mata air yang mengalir, yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Sungai-sungai itu bukan mengalirkan air biasa, namun berbagai minuman anggur, madu, susu, dan air yang paling murni. Surga akan penuh dengan berbagai pohon yang menghasilkan beragam buah, bahkan dari jenis-jenis yang tak pernah ditemukan oleh manusia di dunia. Para penghuni surga akan diberi pakaian sutra dan perhiasan emas dan mutiara. Wajah para penghuni surga akan senantiasa berseri-seri dengan bau keringat sewangi kesturi.
Ganjaran surga juga kerap diidentikkan dengan kenikmatan seksual. Surga digambarkan akan dipenuhi dengan bidadari-bidadari yang kecantikannya tak tertandingi. Setiap orang bisa mendapatkan bukan hanya satu, bahkan hingga tujuh bidadari. Segala janji tentang kebahagiaan abadi di surga ini telah meyakinkan umat untuk terus mengumpulkan pahala sebagai tiket masuk surga, bahkan di titik yang ekstrem, tak sedikit yang memilih jalan pintas dengan menjadi teroris dan pelaku bom bunuh diri untuk bisa menjemput kenikmatan surga.
Imajinasi atas kenikmatan surga menjadi sebuah utopia bagi umat beragama. Di tengah kehidupan dunia yang penuh kekecewaan dan penderitaan, utopia surga menjadi sebuah harapan. Utopia atas surga ini juga menjadi bahan baku bagi lahirnya berbagai cerita dalam berbagai medium. Surga menjadi sebuah tujuan akhir yang menjadi alasan setiap orang untuk beribadah dan menyembah Tuhan.
Namun, bagaimana jika ternyata surga dan syarat masuknya berbeda dengan apa yang selama ini terlanjur diyakini banyak orang?
A.A. Navis dalam cerita pendeknya Robohnya Surau Kami (1956) telah merobohkan impian banyak orang atas surga. Melalui sosok Kakek Garin dan Haji Saleh, Navis menghadirkan satire atas perilaku umat yang hanya mementingkan ibadah vertikal, memenuhi hari-hari dengan beribadah dan menyembah Tuhan agar demi masuk surga. Keyakinan bahwa mereka sudah menjadi pemegang kunci surga, menghadirkan sikap jumawa – merasa yang paling suci, merasa yang paling berhak atas surga. Saat tiba waktunya penghitungan amal perbuatan yang menentukan apakah seseorang masuk neraka atau surga, dengan penuh keyakinan Haji Saleh bersiap menuju surga. Ternyata sebaliknya, Tuhan memasukkannya ke neraka.
Melalui cerita satire dan sarkas, A.A. Navis mengingatkan bahwa ada hal yang lebih utama dibanding segala ritual menyembah Tuhan, yaitu kesalehan sosial; kesalehan yang mewujud dalam tanggung jawab sosial. Hal ini pun terungkap jelas dalam dialog di Robohnya Surau Kami berikut ini:
Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.
Navis juga menekankan pentingnya bekerja dalam Islam. Bagaimana bekerja dan berusaha adalah sebuah kewajiban yang tak bisa diabaikan begitu saja dengan alasan ingin beribadah kepada Tuhan.
Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin.
Sekitar satu dekade kemudian, tepatnya tahun 1968, satire atas utopia surga hadir dalam cerpen karya Kipandjikusmin yang menimbulkan kontroversi, Langit Makin Mendung. Kehidupan surga yang penuh kenikmatan abadi nyatanya membuat bosan para penghuninya yang tak lain adalah para nabi yang salah satunya adalah Nabi Muhammad SAW. Para nabi ini pun menggalang petisi, meminta pada Tuhan agar memberi izin pada mereka untuk turun ke Bumi, melakukan studi banding melihat keadaan umat.
Dalam karya-karya mutakhir yang dihasilkan penulis yang tumbuh tahun 2000an yang terbit di Omong-Omong Media, utopia surga dan ketakutan pada neraka juga dijungkirbalikkan dengan berbagai pendekatan. Dalam cerpen Kereta Surga (2022) karya Inas Pramoda, perjalanan ke surga digambarkan sebagai perjalanan dengan menaiki kereta. Di stasiun mana penumpang berhenti, akan menentukan apakah ia masuk ke surga atau neraka. Sebagaimana Navis, Inas mengolok-olok keyakinan orang atas apa itu tiket surga.
Sebaliknya, dalam cerpen berjudul Perempuan Pencari Pakis (2023) karya Muhammad Syahroni, neraka bisa menjadi tempat yang tak terlalu mengerikan buat mereka yang hidupnya sudah penuh dengan penderitaan. Sebab di neraka, manusia sudah tak akan memiliki harapan apa-apa. Siksaan demi siksaan akan dijalani sepenuh hati, penuh suka-cita.
Maka, sebagaimana yang dilantunkan Chrisye;
Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau bersujud kepada-Nya? Jika surga dan neraka tak pernah ada Masihkah kau menyebut nama-Nya?