“Perjalanan membuatmu takjub, lalu mengubahmu menjadi pencerita.”
Begitulah kata Ibnu Batutah, sosok musafir Muslim terbesar dan ahli hukum tersohor yang melakukan petualangan hampir 30 tahun di masa hidupnya. Sebagai petualang terbesar zaman pra-modern, dunia Barat menghargainya sebagai ‘Marco Polo dunia Muslim’. Perjalanan telah mengubah Ibnu Batutah menjadi seorang pencerita. Ini terlihat jelas, misalnya dalam karyanya sendiri yang disebut Rihlah (Perlawatan).
Di Indonesia, kita bisa bersua dengan Adinegoro dan catatan perjalanannya pada dekade 1920-an, Melawat ke Barat (1930), trilogi perjalanan Agustinus Wibowo, Titik Nol, Selimut Debu, Garis Batas, dan Banyak Jalan Menuju Praha (2022), sebuah catatan perjalanan Anton Kurnia mengelana ke 20 negara di berbagai belahan dunia.
Adinegoro, sosok wartawan ulung yang namanya diabadikan menjadi nama penghargaan untuk insan pers yang berprestasi sejak 1972, menceritakan pertautan dirinya dengan dunia Barat sebelum kemerdekaan. Salah satunya, mengamati perkembangan pers di Eropa. Melalui Adinegoro, insan pers menjadi tahu bahwa surat kabar menjadi tolok ukur bagi cara berpikir suatu bangsa.
Dari Adinegoro pulalah publik kian mengetahui bahwa interaksi penulis Indonesia dengan kesusastraan dunia telah dimulai pada masa-masa sebelum kemerdekaan.
Bagi para penulis kala itu, lawatan ke Barat bukan sekadar momentum perjalanan biasa. Ia semacam ikhtiar luhur untuk sinau. Upaya ini pamrih mentransmisikan pengalaman luar biasa ihwal pengetahuan tentang Barat kepada khalayak.
Dari pengalaman berharga inilah ada semacam upaya untuk menuliskannya. Sebagai harta karun dan ingatan, ia harus abadi. Dari sinilah, Anton Kurnia, sastrawan cum penerjemah, tak ingin pengalaman berharga itu hanya lekat di ingatannya tanpa ada upaya mengabadikannya. Kerja-kerja itulah yang hendak dihidupinya dalam buku Banyak Jalan Menuju Praha.
Yang Sublim dalam Catatan Perjalanan
Banyak Jalan Menuju Praha tak sekadar memuat narasi perjalanan Anton di 20 negara itu. Khalayak akan berkesempatan belajar banyak hal terkait kehidupan di sana. Dengan kata lain, buku ini tak sekadar menyajikan informasi pragmatis tentang sebuah tempat yang dikunjungi, namun memberikan gambaran tentang kebudayaan dan masyarakat lewat pengamatan dan persepsi sang pelancong.
Hanya dengan begitu cerita perjalanan akan hidup. Mampu memantik imajinasi. Khalayak pembaca dapat mengimajinasikan suatu tempat lewat penghayatan yang utuh. Seolah-olah hilir-mudik di sana. Turut merasakan tiap detail peristiwa. Demikianlah, di titimangsa Adinegoro menjelaskan bahwa catatan perjalanan menjadi salah satu genre sastra yang diperhitungkan.
Di Eropa kala itu, catatan perjalanan kedudukannya sejajar dengan genre modern lain serupa cerita pendek dan roman. Sastra perjalanan lalu berkembang dalam bentuknya yang beragam; memoar, cerita pendek, panduan perjalanan, puisi, dan novel.
Carl Thompson dalam Travel Writing memerikan sastra perjalanan sebagai narasi yang menjadi cermin pengalaman pengarang dalam melakukan perjalanan, baik mengunjungi tempat, benda, ataupun bertemu dengan orang baru. Menurutnya, ada enam alat yang dapat digunakan untuk membedakan sastra perjalanan dengan karya sastra lain, yaitu self (diri), others (liyan), movement (perpindahan), space (ruang), encounter (pertemuan), dan writing (penulisan).
Dari keenam alat tersebut, buku ini sahih jika didudukkan sebagai sastra perjalanan. Perpindahan (movement) Anton (self) dari tanah kelahirannya ke 20 negeri berbeda (space), menghasilkan perjumpaan (encounter) dengan yang liyan. Pertautannya dengan yang liyan semacam perjumpaan suasana hati yang kompleks. Terasa menyenangkan, meskipun kadang getir. Hal ini terlihat jelas tatkala Anton memandu pembaca ke semesta ketakjuban soal Praha.
Praha beratmosfer magis. Novelis Isabelle Room, menggambarkan suasana magis Praha sebagai latar dalam bukunya, A Year A Day.
“Ada sesuatu yang magis tentang kota ini. Kau bisa merasakannya. Sesuatu yang bergerak di udara, seperti rahasia yang dihembuskan angin.” -Isabelle Room
Praha juga merupakan tempat peristirahatan terakhir pengarang novela Metamorfosis, Franz Kafka (1883-1924). Mengingat Praha berjejal ingatan soal Kafka, saat berkunjung ke Franz Kafka Museum, Anton mengingat sosok Kafka yang penuh konflik psikologis itu.
Dirinya tak kuasa membendung air mata tatkala menyaksikan artefak peninggalan Kafka di lantai tiga museum.
Kafka ingin menjadi penulis sepenuh waktu. Tapi ayahnya tidak setuju. Sebagai lelaki dewasa, Kafka merasa harus bekerja formal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Siang hari dia bekerja di perusahaan asuransi, malam harinya menulis hingga larut. Akibatnya, Kafka terkadang harus terlambat masuk kantor dan mengantuk di tempat kerja. (Hlm. 45)
Catatan ini menegaskan bahwa suatu sisi lain yang patut diperhitungkan dalam sebuah cerita catatan perjalanan tidak hanya berkutat pada dimensi runtutan perjalanan waktu, tempat, dan peristiwa. Namun juga soal impresi, respons dan kesan terhadap tempat, pikiran, dan perasaan saat melakukan perjalanan. Itulah yang diakui Anton.
En Arche en ho Logos
“Pada awalnya yang terbaca dan menjadi pengetahuan.” Demikian kalimat dari Kitab Suci yang patut direnungkan. Yang terbaca adalah momen-momen personal saat melakukan perjalanan. Anton telah berusaha mengumpulkan momen-momen personal itu–pertautan dengan manusia, tempat, dan suasana yang begitu mengesankan hingga menjadi pengetahuan baru dalam hidupnya.
Baginya, melakukan perjalanan tidak hanya bepergian ke suatu tempat yang eksotis. Tetapi bagaimana seseorang tergetar oleh pemandangan, peristiwa, pengalaman, dan hal-hal unik yang menyentuh secara personal. Dari sini, melakukan perjalanan tak sekadar melepas penat dari riuh persoalan hidup, melakukan perjalanan berarti juga mencatat.
Mencatat kesan diri terhadap kebudayaan di suatu wilayah kelak berharga untuk mendedah pikiran agar senantiasa rendah hati. Tidak terbawa euforia primordialisme yang mengarah pada nalar sempit eksklusivisme. Anton selalu terbuka dan belajar menghidmati setiap perjalanan itu.
Perjalanan baginya, bukan ke mana seseorang pergi, melainkan apa yang seseorang alami di dalam perjalanan.
Sikap terbuka dan senantiasa mau belajar inilah yang membuat catatan perjalanannya terus menerus memercikkan energi positif. Kita dipandu ke suatu tempat untuk belajar sejarah. Lewat penggambaran historis, cerita perjalanannya kian sublim.
Historia magistra vitae, adagium Latin yang berusaha mendudukkan sejarah sebagai guru kehidupan tak akan pernah lekang, dan menjadi hal menarik di buku-buku catatan perjalanan. Itulah yang Anton lakukan dalam buku ini.
Akhirnya, pengalaman perjalanan Anton dalam buku ini merupakan sebentuk langkah apresiatif terhadap bentangan karunia semesta. Semesta memberikan banyak pelajaran hidup yang mesti digelar dengan perjalanan.
“Perjalanan membuatmu rendah hati, kau melihat sendiri betapa kecil tempat yang kau huni di dunia ini.” Demikian Gustave Flaubert menuturkan.
***
Editor: Ghufroni An’ars