Dari Anak Semua Bangsa ke Kualifikasi Piala Dunia

irhamna

3 min read

Pada 15 November lalu, tim nasional sepak bola Indonesia berhadapan dengan Jepang dalam laga kualifikasi Piala Dunia 2026. Tahun ini, tim nasional kita kembali mendapatkan kesempatan untuk bersaing di ajang internasional yang bergengsi. Minke, di tahun yang sama, saya merenungkan berapa jauh perjalanan waktu sejak ceritamu dimulai, hingga hari ini, ketika kita mampu bertanding secara terhormat bersama bangsa-bangsa besar.

Kau harus mengetahui dulu, sekarang segala penjajahan sudah dihapus. Meski soal itu haruslah diusut lebih dalam, karena beberapa keadaan nyatanya tidak sejalan dengan peraturan perdamaian dunia-yang disebut berpri kemanusiaan.

Namun, saya hanya ingin mencurahkan kegelisahan atau pikiran yang berkelebat di malam-malam kemarin. Pada kekalahan terhormat negara kita 15 November itu melawan Jepang, 0 untuk kita, dan 4 untuk negara Sakura. Tapi jauh di atas segalanya, dalam hati dan mungkin sekujur darah atau sel di dalam tubuh ini, saya amat begitu bangga dan senang. Seperti kata Nyai Ontosoroh. Kala kalian melawan peradilan bangsa Eropa di Hindia, meski amat berbeda perbandingannya, saya hanya ingin meminjam sekelumit kalimat- paling kuat:

“Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya”

Bagi saya, tidak bisa menggambarkan betapa nyala api dalam kalimat itu bisa menembus waktu lewat kata. Lebih tepatnya, saya baru mengetahui berapa berharganya kesetaraan yang dinormalisasikan kini- yang dianggap asing- untuk kita pada zaman itu. Ketika zaman Anak Semua Bangsa dicatat.

Kesetaraan itu, ya, seperti dalam ceritamu, lebih berharga dari harta, yang lebih dulu didapatkan oleh bangsa Jepang dibandingkan negara-negara Asia lainnya, yang masihlah menjadi tanah jajahan. Masih bergelut memperjuangkan hak upahnya di tanah sendiri, sementara bangsa saudara Nippon itu, kau sebut telah diakui setara dengan bangsa atas, sederajat, dan menyaingi superioritas Eropa. Mereka berkawan, bukan hubungan antara pribumi dan totok atau budak dan Tuan yang sudah berakar dalam diri pribumi.

Lantas, Min, kau mulai bertanya-tanya, kau mulai cemas dan dibalik besarnya kecemasan itu, mau tak mau, ada juga secuil harapan yang menyelinap. Bagaimana Jepang bisa memperoleh kesetaraan di mata dunia?

Baca juga:

Lalu, kesetaraan mereka itu berarti ancaman untuk bangsamu? Bukankah karena itu berarti ada bangsa lain, selain ras kulit putih, yang kini bisa saja, menjejaki tanah Hindia dan kemudian juga hendak menginjak bangsa yang masih ringkih ini? Saat itu, bangsa ini mungkin masih serupa bayi yang belajar merangkak, dibanding negara belahan benua seberang, yang sudah berlari.

Lantas, kalau Jepang bisa meraih kesetaraannya, apakah itu berarti bangsamu pun bisa menyamakannya? Bukankah itu berarti bangsa Asia, atau bangsa mana saja pun bisa berjuang di atas kakinya sendiri?

Itulah pikiran yang masih terasa mustahil untukmu, namun lihatlah Minke, kita sekarang akan bertarung tanpa menundukkan wajah, tanpa merangkak serupa hewan hanya untuk melewati manusia yang memiliki kuasa lebih tinggi. Kita kini sudah memperjuangkan kemenangan dalam permainan, dalam pertandingan sepak bola terhormat yang disaksikan seluruh penjuru dunia.

Namun menyoroti kisah ini sekaligus terasa ironis bagi saya, karena seberapa jauh tepatnya kita telah melangkah sejak zaman kolonial? Pada skor 0-4 itu, mungkinkah ada yang menyadari bahwa jarak antara kita dan mereka, belum terjembatani hingga kini?

Betulkah kita sudah mengejar kesetaraan itu sejak zaman lampau? Namun entah kenapa, saya baru menyadari mungkin konsep kekalahan terhormat ini lebih dalam dibanding yang saya kira. Bahwa ada cermin dari kondisi sosial, mentalitas, pendidikan, literasi ataupun pemerintahan yang diwakilkan oleh angka di papan skor sepak bola.

Baca juga:

Saya teringat pada teman yang kau ceritakan di Anak Semua Bangsa, pemuda Tionghoa yang berkuncir, Khow Ah Soe meninggalkan negerinya lalu melintasi daratan. Ia cuma mengatakan alasannya jika ditanya bahwa: tidak lain, ia hanya ingin berseru-seru! Ia mau menemui pemuda-mudi Tionghoa di seluruh negeri, memperingatkan bahwa tanpa pendidikan dan persiapan modern, tanah leluhur mereka hanya menunggu waktu untuk diterkam bangsa yang lebih dan terus maju, seperti Jepang yang terus bergerak.

Puncaknya, memakai alasan penghasutan, pemerintah kolonial membungkam Khow Ah Soe. Sejak dulu, menyampaikan sebuah pemikiran pun bisa dianggap berbahaya, bahkan jika itu berasal dari rakyat jelata. Betapa takutnya mereka, sang penguasa, kalau negeri jajahannya menjadi pintar. Indonesia telah merdeka lebih dari tujuh dekade, tetapi keterbelakangan tetap menjadi warisan yang sulit dilupakan. Tingkat literasi bangsa ini masih tertinggal, bahkan ketika nama besar Pramoedya Ananta Toer—pengarang Anak Semua Bangsa—disayai dunia. Sebagian besar anak muda kita, yang duduk di bangku sekolah khususnya, tidak pernah membaca karyanya, apalagi merenungkan isi dan relevansinya.

Latar belakang percakapan Minke dan Khow Ah Soe, saya ukur tahun 1908 tepatnya, karena ada kemenangan Jepang atas perang Tsushima melawan Rusia dalam memperebutkan Korea serta Manchuria. Momen ini memberi dampak besar justru pada negara Asia, termasuk Indonesia, memicu bangkitnya nasionalisme dalam diri pelajar pribumi. Ya, pribumi itu sendiri yang mulai bahu-membahu mempelopori berdirinya organisasi nasional seperti Budi Utomo, berpihak untuk rakyat.

Kekalahan 0-4 ini mengingatkan pada sesuatu yang lebih besar. Saya baru menyadarinya, hari ketika menamatkan novel Anak Semua Bangsa bertepatan dengan pertemuan Indonesia-Jepang menuju kualifikasi piala dunia, bahwa betapa berharganya kesetaraan yang kini kita miliki. Keduanya bertanding sebagai dua bangsa yang setara, suatu hal yang hanya bisa dibayangkan oleh Minke pada zamannya, bukan hanya Minke, Khow Ah Soe dan bangsa Asia selain Jepang.

Mungkin, justru angka di papan skor itu adalah pertanyaan, sebuah metafora—cerminan dari jarak yang harus kita kejar dalam pendidikan, literasi, atau olahraga? Ataukah ia hanyalah sebuah pernyataan dingin dari pihak seberang, bahwa bahkan tanpa penjajah sekalipun, kita masih merangkak jauh di bawah mereka? (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

irhamna

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email