Tidak pernah ada dalam bayangan saya selama jadi netizen untuk diserang sekelompok buzzer. Ternyata kali pertama diserang kelompok pendengung ini rasanya campur aduk. Beberapa saat saya merasa takut, bingung, bimbang, pokoknya tak karuan. Bayangan saya langsung mengarah ke jeruji besi.
Bagaimana seandainya unggahan saya bermasalah? Bagaimana seandainya memang ada undang-undang yang menjerat saya? Bagaimana kalau nanti benar-benar ada polisi yang datang? Bagaimana nanti saya membela diri di pengadilan?
Semua itu terjadi sesaat setelah saya berkomentar di unggahan Instagram Ketua DPR, Puan Maharini: “Mbak Puan, sampaikan dong ke Ibu Mega, bagaimana tutorial masak martabak tanpa minyak goreng?”
Bagi saya, sebagai seorang penjual martabak, yang tiap hari berseliweran di pasar, tentu kecewa dan merasa aneh dengan pernyataan Megawati yang bilang “apa ibu-ibu tiap hari itu kerjanya masak terus, apa tidak bisa mengukus?” Pernyataan itu sama halnya dengan saat melihat jalan aspal berlubang, beliau memberi solusi untuk putar balik atau beralih transportasi ke kapal atau pesawat.
Sebagai ketua partai besar, yang tentunya memiliki kuasa kebijakan, saya rasa tidak sepantasnya pernyataan itu terlontar. Selain karena memang tidak pantas, pernyataan itu juga tidak logis, dan tidak solutif.
Megawati secara tidak langsung mengajak semua orang untuk menghindari masalah dengan menutupinya. Padahal, sebagai partai yang memiliki kuasa kebijakan, sudah seharusnya dia memberikan solusi. Apalagi perihal kebutuhan pokok. Atas dasar itulah saya menitipkan rasa jengkel saya ke Ketua DPR, Puan Maharani (sebagai perwakilan rakyat).
Baca juga: Bu Mega VS Ibu-Ibu Indonesia
Lalu, tanpa pernah saya sadari dan bayangkan sebelumnya, tiba-tiba pemberitahuan Instagram saya membeludak. Awalnya saya kaget, karena tidak pernah mendapat banyak pemberitahuan secara bersamaan seperti itu.
Setelah saya buka, ternyata komenan saya di postingan Puan Maharani begitu ramai. Banyak akun yang membalas komentar saya dengan beragam cara. Mulai dari mengancam penyerangan fisik, sampai pada penandaan ke akun kepolisian cyber. Tentu ini membuat perasaan tak karuan muncul. Saya cuma pedagang martabak yang mengeluhkan kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng, dengan bersuara ke perwakilan rakyat yang legal melalui media sosial. Tetapi mengapa saya diserang sebegitu rupa?
Beberapa menit saya mencoba tenang. Profil mereka saya buka satu-persatu. Apa ini yang disebut buzzer? Kesemua akun yang membalas komenan saya, nyatanya akun bodong dan gaib. Akun yang tidak memiliki foto profil, postingan, followers, serta bernama pengguna dominan deretan simbol dan angka. Perasaan saya yang mulanya takut, berangsur membaik, dan melupakannya.
Apa yang saya alami, membuktikan sekaligus membenarkan bahwa kelompok seperti itu (buzzer) memang benar-benar ada. Mereka terkoordinasi rapi dalam komando. Saya yang cuma rakyat biasa diserang sebegitu liarnya, apalagi orang yang memiliki kedudukan dan kepentingan politik. Jelas bisa berlipat-lipat permasalahannya.
Baca juga:
Pembebasan dan Pengawasan
Saya bisa menyebut sekelompok buzzer tersebut CCTV oligarki. Karena hanya oligarki yang punya kuasa modal, kuasa akses, dan kuasa kepentingan untuk mengadu domba rakyat. Bukankah sistem kapitalis modern tidak pernah terlepas dari pertarungan dua elemen dasar itu?
Para buzzer bekerja dalam ruang wacana. Melalui koneksitas jaringan luasnya, mereka berkelompok menunggu komando. Cara kerja semacam itu cukup mudah dilakukan dalam masyarakat informasi. Selain karena produksi wacana merupakan konsumsi utama di dalamnya, koneksitas jaringan juga menambah kekuatan lain (daya kejut-viralitas). Para buzzer bermain dengan subur di ruang seperti itu. Bahayanya, jelas ada pembiayaan di dalam praktiknya.
Wacana dibentuk sekaligus diawasi. Dualisme inilah yang merusak demokrasi dari dalam (musuh dalam selimut). Jadi, tidak heran bila demokrasi Indonesia terasa seperti otoritarianisme. Pembebasan berjalan bersama pengawasan.
Sangat sering negara cuci tangan dengan permasalahan yang melibatkan buzzer. Mereka berdalih, bahwa buzzer ini bukan dari koalisi saja melainkan oposisi juga. Selain itu, negara juga sering menyebut bahwa ini konsekuensi demokrasi, ini kelompok radikal, dan berbagai dalih lainnya.
Sampai titik ini, agaknya negara gagal memahami inti permasalahan. Fenomena buzzer ini bukan pada subjeknya, melainkan pada siapa yang membiayai dan mengkomandoi itu. Suara-suara mereka bukan otentisitas demokrasi. Tapi hasil dari tukar rupiah di pasar gelap. Tujuan mereka tidak pernah bersuara, tapi membentuk dan menyerang suara.
Kelompok Fanatisme
Dalam penjelasannya yang sederhana, fanatisme adalah paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Fanatisme berasal dari bahasa latin fanaticus yang memiliki arti amarah atau gangguan jiwa. Hal tersebut merupakan gambaran bahwa amarah yang terdapat dari seseorang fanatisme merupakan luapan karena tidak memiliki faham yang sama dengan orang-orang lain. Elemen ini yang dimanfaatkan oleh pengkomando buzzer (oligarki).
Jenis fanatisme ada beberapa, fanatik agama, idola, etnis, ideologi, hiburan. Dari beberapa jenis tersebut, agama dan ideologi yang sering ditunggangi oleh buzzer. Karena pada dasarnya, doktrin agama dan ideologi cukuplah kuat. Atas kekuatan sifat itulah propaganda, adu domba, dan penguatan citra lebih mudah dibentuk dan dihasilkan.
Dalam kasus saya contohnya, mulanya saya menganggap mereka yang menyerang ialah dari kelompok fanatik pemerintah (koalisi). Tapi semua itu berubah saat saya mengetuhi bahwa mereka bagian dari kelompok lain yang sengaja hadir atas nama pemerintah. Kehadiran mereka bukan untuk fanatisme ideologinya, melainkan untuk memancing reaksi seseorang melalui idelogi.
Kehadiran buzzer membuat kefanatikan berubah menjadi cangkang kuat sekaligus topeng. Kalau orang benar-benar fanatik, biasanya cenderung memahami otentisitas paham yang diyakininya. Tapi buzzer, tidak. Mereka hanya memahami suatu paham sebatas permukaan. Selebihnya dibalut dengan sentimenitas dan kedangkalan berpikir. Dan semua itu dilakukan berpindah-pindah haluan seperti banci sosial (istilah dari Mark Slouika). Jadi, pembeda dan identifikasinya jelas terlihat. Ini yang membuat saya memutuskan untuk tidak menanggapi serangan mereka.
Pemerintah dengan segala instrumen kuasanya seharusnya mampu menertibkan kehadiran kelompok seperti ini. Sebab, kalau kita sendiri yang menertibkan, jatuhnya hanya akan saling serang sesama warga negara. Ingat, bukan buzzernya yang perlu ditertibkan, melainkan pengkomando utama, alias oligarki. Bila diteruskan berlarut-larut, sudah bukan tidak mungkin kalau Indonesia pada akhirnya akan jauh dari persatuan yang bertoleransi tinggi.