Saya senang diskusi dengan teman, baik laki-laki maupun perempuan. Biasanya, kami ngobrol dari menyoal bentuk alien, jodoh, politik dinasti, sastra masuk kurikulum, sampai masalah feminisme. Namun, setiap kata terakhir disebut, biasanya suara mereka terasa tidak enak ketika jatuh di kuping. Terutama teman saya yang laki-laki, mereka seperti mengalami kondisi campur aduk: loyo, gagap, pikun, terkungkung, tertindih, terhuyung, dan terguncang. Apa masalah?
Kawan laki-laki saya itu seorang pemikir dan pembicara yang ulung. Dia bukan sekadar pemikir, tetapi aktivis kelas kakap. Ia sering membual amat menjunjung hak asasi manusia dan tidak sepakat dengan ketidakadilan, tapi ketika berbicara perihal feminisme, seketika berubah menjadi kukang: diam.
Kalau sudah begitu, biasanya saya greget ingin menggelar kultum. Tapi, karena tidak mau merusak suasana obrolan, jadinya saya tahan-tahan saja. Saya ambil solusi lain: menulis.
Baca juga:
Sebenarnya apa sih yang membuat teman saya dan mungkin juga banyak orang kerap antipati mendengar kata feminisme? Mengapa seolah-olah feminisme adalah monster berkepala dua, bertaring tajam, dan bertubuh setengah ular yang siap melilit siapa pun, terutama laki-laki?
Saya menelusuri media sosial dan beberapa website untuk mencari asal muasal antipati tersebut. Hasilnya, saya menemukan prasangka terhadap feminisme sebagai berikut:
“Feminisme sukses mendidik wanita melihat kesuksesan sebagai tujuan, punya penghasilan tinggi, gelar seabrek, mobil mewah, buka aurat. Wajar hasilnya, di negara-negara asal feminisme, wanitanya jadi lebih malas berkeluarga apalagi memiliki anak. Feminisme menganggap wanita modern harus lebih mirip lelaki, bahwa bila wanita tidak bekerja akan direndahkan, menjadi ibu rumah tangga itu perendahan martabat perempuan, tidak modern dan perbudakan terhadap wanita.”
Kalau yang hinggap di kepala teman saya adalah narasi di atas, maka saya bisa mafhum atas perubahan sikap mereka ketika ngobrol: membuat benteng pertahanan dari wacana feminisme. Tetapi, apakah pernyataan di atas benar? Apakah feminisme berwajah seperti itu?
Tulisan Abdul Rosyidi di mubadalah.id (19/10/2022) bertajuk Apa itu Feminisme? Ini Penjelasan KH Husein Muhammad berargumen feminisme sejalan dengan Islam karena Islam memandang semua manusia sama derajatnya di hadapan Allah SWT. Feminisme adalah gerakan yang memperjuangkan persamaan hak dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki yang disebabkan ketimpangan relasi yang selama ini menimbulkan marginalisasi, subordinasi, stigmatisasi, dan kekerasan.
Ikhlasiah Dalimoenthe dalam Sosiologi Gender (2020) mendefinisikan feminisme sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, tempat kerja, dan keluarga. Feminisme juga diartikan sebagai tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut menjadi suatu kehidupan yang terhenti dari segala bentuk subordinasi, marginalisasi, dan diskriminasi.
Kalau boleh saya ringkas dari pengertian-pengertian di atas, feminisme tidak lain dan bukan adalah sebuah usaha untuk mengucapkan selamat tinggal kepada tindakan dan pikiran tetek-bengek yang menyangkut diskriminasi, subordinasi, stereotip, dan kekerasan, terutama terhadap perempuan, di muka bumi ini. Sebab, semua perilaku tersebut tidak mencerminkan nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Mengapa bisa terjadi pembelokan pengertian dari yang semula berwajah perjuangan menjadi mengerikan? Ini sama halnya dengan yang pernah terjadi di Eropa dalam memandang Islam. Kita mengenalnya dengan istilah Islamophobia. Beberapa oknum melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan esensi Islam, lalu mengatasnamakannya sebagai Islam. Orang-orang lantas mempercayainya karena tidak ada wacana lain yang menyuguhkan pengertian tandingan. Ini yang disebut oleh Chimamanda Ngozi, seorang feminis Nigeria, sebagai the danger of a single story. Bahayanya narasi tunggal.
Yang terjadi pada feminisme jugalah demikian. Prasangka dan desas-desus menyudutkan feminisme sebagai gerakan yang ingin menggulingkan laki-laki, membuat perempuan menjadi liar dan berkuasa atas segala hal. Wacana ini dipantik oleh asumsi yang tidak berdasar, lalu apinya ditiup oleh beberapa oknum agar semakin besar.
Padahal, pengertian itu keliru. Feminisme tidak menyerang, apalagi berambisi untuk mengobrak-abrik segala tatanan yang ada. Feminisme hanya mengkritik dan berusaha merevisi tindakan maupun budaya yang menempatkan perempuan dalam lubang diskriminasi dan kekerasan. Tujuannya tidak lain supaya tercipta keadilan di ruang privat, sosial, politik, dan ekonomi pada seluruh manusia tanpa terkecuali.
Mengapa tidak bilang saja memperjuangan hak asasi manusia? Mengapa harus menggunakan istilah feminisme? Feminisme tentu adalah bagian dari hak asasi manusia secara umum, tetapi memilih untuk menggunakan kata hak asasi manusia saja itu sama dengan menyangkal masalah yang spesifik dan khusus mengenai gender.
Sama halnya dengan perjuangan rasial melawan apartheid alias kesewenangan warga kulit putih atas kulit hitam. Mengapa tidak menggunakan nama perjuangan hak asasi manusia saja? Tidak. Istilah yang lebih spesifik diperlukan agar masalah yang sedang diperjuangkan bisa lebih jelas dikenali dan menjadi perhatian bersama. Begitu pun dengan feminisme.
Feminisme menjernihkan kita untuk melihat secara spesifik permasalahan perempuan yang banyak tertutup oleh lapisan-lapisan lain. Mengangkat masalah itu agar terlihat setelah bertahun-tahun ditenggelamkan dan menyuarakan sekencang-kencangnya setelah lama tidak ditengok, apalagi dipedulikan.
Baca juga:
Sebenarnya, bukan hanya laki-laki, banyak juga perempuan yang tidak menganggap penting wacana feminisme, bahkan menolaknya. Misalnya, masih banyak dijumpai perempuan tidak saling mendukung satu sama lain, tetapi justru saling menjatuhkan. Kondisi ini banyak ditampilkan dalam film, cerpen, maupun novel, misalnya film Moxie (2021) karya Amy Hoehler dan cerpen berjudul Liang gubahan Indra Tranggono.
Pada akhirnya, saya berharap tulisan ini dibaca oleh teman-teman saya tadi. Lalu, dari mereka, menyalur ke temannya lagi, lalu ke orangtuanya, lalu ke mertuanya, lalu ke lapak penjual sayur, lalu ke penjual bakso bakar, lalu ke tukang martabak, lalu ke Bu RT, lalu ke Bu Camat, dan seterusnya hingga akhirnya wacana feminisme menjadi milik bersama.
Editor: Emma Amelia