Mengapa Kampus di Indonesia Makin Homofobik?

Pradnya Wicaksana

3 min read

Ruang akademik mestinya menjadi sentra pemajuan kultur demokrasi yang inklusif berbasiskan ilmu pengetahuan. Namun, sejak tahun 2015, terjadi peningkatan tren pembatasan kebebasan akademik bagi sivitas akademika untuk mendiskusikan mengenai LGBTQI+ di kampus-kampus Indonesia.

Akademisi dan petinggi di bidang pendidikan tinggi secara terbuka mengatakan bahwa “aktivitas dan kelompok LGBT’ harus dilarang di kampus”, bahkan sampai sejauh mengatakan bahwa kelompok LGBTQ+ adalah sebuah “virus”. Retorika homofobik ini tak jarang diterjemahkan menjadi kebijakan yang diskriminatif. Ambil contoh, Universitas Andalas yang mewajibkan mahasiswa baru untuk menyatakan bahwa mereka “bebas dari LGBT”. Pembatalan paksa pada aktivitas akademik yang membahas mengenai LGBTQI+ juga terjadi di beberapa universitas ternama seperti Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, dan Universitas Sumatera Utara.

Baca juga:

Mengapa kampus-kampus di Indonesia terjerembap di liang homofobia?

Politik Homofobia

Guna memahami homofobia di kampus, perlu untuk membahas meningkatnya fenomena politik homofobia di Indonesia sejak 2015. Dicetuskan oleh Tom Boellstorff dalam artikel The emergence of political homophobia in Indonesia: masculinity and national belonging, politik homofobia adalah logika budaya yang memandang kehadiran komunitas LGBTQI+ sebagai bentuk ancaman pada maskulinitas dan masa depan bangsa. Dengan cara pandang ini, kebencian dan perilaku kekerasan pada kelompok tersebut dapat dijustifikasi oleh masyarakat. Manifestasi dari politik homofobia terlihat dari meningkatnya persekusi, stigmatisasi, serangan siber, penyensoran, hingga potensi kriminalisasi terhadap kelompok LGBTQI+ di Indonesia.

Ironi dari fenomena ini adalah politik homofobia malah terjadi setelah bergulirnya Reformasi. Secara historis dan di era otoritarian-militeristik Orde Baru, Indonesia justru cenderung toleran terhadap komunitas LGBTQ+.

Beberapa penelitian mencoba menjelaskan pemicu fenomena ini di Indonesia yang telah terdemokratisasi. Boellstorff menjelaskan bahwa politik homofobia dipicu oleh faktor peliyanan pada kelompok LGBTQI+. Mereka dianggap tidak berhak untuk memperjuangkan hak-haknya karena identitasnya yang tidak normatif gender dan seksual itu dianggap “bukan orang Indonesia”. Di sisi lain, Saskia Wieringa dalam artikel Criminalisation of Homosexuality in Indonesia: The Role of the Constitution and Civil Society menekankan pada naiknya politik konservatifme Islam (Islamisme) sebagai pemicu naiknya iklim homofobik di Indonesia.

Penelitian tersebut tidak bisa diabaikan karena secara sosiologis dan antropologis menjelaskan bagaimana homofobia bisa terbentuk di Indonesia era pasca otoritarian. Namun, riset-riset itu belum bisa menjelaskan mengapa sentimen homofobik tersebut bisa meluas dan dilakukan oleh negara (state-sponsored homophobia). Menurut saya, hal tersebut dipicu oleh maraknya predatorisme dalam praktik demokrasi Indonesia.

Predatorisme

Sederhananya, politik predatoris adalah kondisi ketika elit ekonomi-politik berupaya mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara. Dari sini, politikus akan menggunakan strategi seperti korupsi, politik uang, premanisme, dan eksploitasi narasi sektarian untuk mendapat dukungan politik dan mengalahkan lawannya. 

Predatorisme adalah akar dari demokrasi iliberal yang menjadi karakter era Reformasi, yakni demokrasi hanya dimaknai secara kontestasi elektoral belaka untuk akses terhadap sumber daya negara, bukan pemajuan hak asasi manusia. Masyarakat juga cenderung mudah untuk terjebak dalam strategi-strategi predatoris kelompok elit karena tidak terorganisirnya mereka secara politik. Absennya gerakan politik yang berbasis kepentingan rakyat menyebabkan masyarakat untuk termobilisasi oleh sentimen sektarian.

Politik homofobia dapat mudah menggerakkan masyarakat karena oleh dominasi politik heteroseksisme. Narasi politik homofobia digunakan oleh para politikus guna menciptakan legitimasi publik, seakan-akan pemerintah hadir untuk melindungi masyarakat dari “ancaman LGBTQI+”. Legitimasi ini tentu agar politikus dan jaringan elitnya dapat tetap mempertahankan kekuasaannya.

Menuju Pemilu serentak di tahun 2024, tak kaget banyak pemerintah daerah berupaya untuk mendiskriminasi dan mengkriminalisasi kelompok LGBTQI+. Ditambah pula, narasi homofobik ini adalah peranti distraksi ampuh dari isu-isu struktural seperti oligarki dan tingginya tingkat korupsi.

Reproduksi Politik Homofobia di Kampus

Politik homofobia dapat direproduksi di kampus karena nihilnya otonomi institusi. Di sini, otonomi institusi dimaknai sebagai kemampuan universitas untuk mengambil posisi kritis terhadap negara dan pasar. Alih-alih meneguhkan kemandirian, sistem hukum di Indonesia justru membuka ruang politisasi kampus. Pada akhirnya, universitas hanya akan menjadi perpanjangan tangan dari kekuasaan negara dan pasar saja.

Beberapa contoh dari lanskap regulasi tersebut adalah Permenristekdikti 19/2017 yang memberi porsi 35% suara pada menteri dalam pemilihan pimpinan perguruan tinggi negeri (PTN). Contoh lain adalah bagaimana menteri memiliki wewenang untuk menyetujui keinginan PTN untuk memiliki status PTN-Badan Hukum (PTN-BH) guna menciptakan otonomi keuangan. Subjugasi arah gerak kampus pada kuasa pemerintah ini berarti bahwa kampus tidak memiliki kebebasan dalam menjalankan perannya sebagai sentra pencerdasan masyarakat.

Dikontekskan dengan politik homofobia, satu contoh kasus yang menggambarkan lanskap ini adalah pembubaran diskusi LGBTQI+ di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro oleh pihak kampus dan kepolisian. Ketika diklarifikasi mengenai pembubaran kegiatan tersebut, Dekan Fakultas Hukum mengatakan bahwa LGBTQI+ adalah isu sensitif sehingga dapat mengganggu proses universitas untuk mendapatkan status PTN-BH. Kekhawatiran ini bukan tak berdasar mengingat M. Nasir, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Indonesia kala itu, beberapa kali telah mencuatkan komentar homofobik.

Terlebih pula, akademisi di kampus-kampus Indonesia masih cenderung tidak kritis terhadap berbagai status quo yang ada di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh birokratisasi tradisi akademis yang mendukung akademisi untuk melakukan riset-riset yang lebih berkemungkinan untuk didanai oleh pemerintah atau lembaga donor, dan bukan riset dasar yang sifatnya kritis dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Perilaku ini disebabkan oleh warisan depolitisasi Orde Baru yang menempatkan universitas sebagai lembaga pendukung agenda pembangunan pemerintah. Jadi, tak mengejutkan apabila terdapat akademisi terjebak dan ikut menggaungkan narasi politik homofobia.

Iklim yang picik ini diamplifikasi oleh reformasi neoliberal universitas di era Reformasi yang menjadikan kampus badan hukum yang berorientasi profit. Reformasi ini mengerdilkan kampus hanya sebagai “pabrik lulusan” belaka yang menyajikan pendidikan tinggi yang instan dan sesuai keinginan pasar. Dengan orientasi ini, kewajiban moral untuk mempromosikan kultur demokrasi yang inklusif semakin terkerdilkan.

Baca juga:

Solusi Parsial

Reproduksi politik homofobia di kampus hanya bisa dihentikan bila terdapat peneguhan otonomi institusi dalam sistem hukum. Universitas didorong untuk menjadi sentra produksi pengetahuan yang kritis dan menopang promosi kultur demokrasi tidak homofobik. Intervensi negara yang berwujud politisasi harus dihapuskan dan kewajiban negara untuk menyediakan anggaran pendidikan harus dikembalikan (bukan diserahkan ke pasar). 

Negara juga harus hadir untuk menjamin kebebasan akademik bagi komunitas dan diskusi mengenai LGBTQI+ mengingat dalam hukum internasional kebebasan akademik adalah bentuk HAM. Dari sini, mungkin institusi pendidikan tinggi dapat memiliki kesempatan untuk mengubah status quo yang meminggirkan komunitas LGBTQI+. Namun, dalam kondisi ketika Indonesia masih dikuasai elit yang menangguk keuntungan politik karena mengeksploitasi narasi politik homofobia, realisasi solusi parsial tersebut menemui banyak tantangan.

 

Tulisan ini merupakan ringkasan dari prosiding konferensi yang dipresentasikan penulis pada International Conference on Human Rights: Youth in Asia yang digelar oleh Young Professionals in Foreign Policy Tokyo

 

Editor: Emma Amelia

Pradnya Wicaksana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email