Potret dari Sebuah Rumah Tangga
Aku akan menulis puisi nanti, setelah
selesai menjemur baju. Aku akan
menulis puisi tentang anak tangga
dan bagaimana ia dipijak dan justru
mengangkat kita. Malam ini aku
mengaduk kopi (andai sendok sebuah
pena dan pahit puisi). Aku akan
membuka beberapa buku puisi
nanti, setelah rumah bersih dan
putri kami tertidur. Terdapat rasa
senang yang berat ini setelah
aku melahirkan/lahir untuk yang
kedua kali. Aku akan menulis puisi
nanti, berharap ada banyak uang
menghidupi kami. Setelah selesai
bersanggama, aku ingin menulis:
rahim adalah penjara. Aku tidak
yakin itu kutujukan buat anakku.
–
Satu Warna
Adakah yang lebih puitis
dari dua gadis muda
berciuman di pinggir
kolam renang?
Sebuah kolam yang lebih mirip kuali
yang menyayang yin dan yang.
Kedua telapak tangan mereka
melindungi sebuah lilin. Mati.
Dan mereka sulut kembali:
sepasang korek api membakar
dirinya sendiri.
Kemudian kolam renang
berubah menjadi kolam abu
diaduk-aduk rasa tanpa mahkota;
bukankah seorang raja
tidak berhak memetik kelopak bunga?
Keluar dari kolam, dua gadis muda
memanggil seorang tukang kebun.
Mereka inginkan taman bunga
tumbuh di mana-mana di mana
tak akan seorang pun temukan
muntahan busuk itu. Kita
hanya akan menangis.
Cinta tidak tumbuh di rumah ibadah,
apalagi dapur seorang penenun.
Ia menunggu ditemukan di jalan rusak,
bercak darah seorang pendosa
yang rela membakar rumah keluarganya.
Di balik pintu, juga pohon. Cinta
bersembunyi di sana, menghitung
dirinya, menunggu ditemukan
dan matahari mengolok penuh sinar.
Ada seorang pendeta, pembuat topi, guru,
seorang peramal dan seorang pecandu—
izinkan kami menyayangimu.
Rambut dua gadis muda berkelindan
dengan kerlingan bara api
dan dari tangis serta elegi
mereka akan kembali kepada
kuali yang memanggang yin dan
yang dan mencelupkan jiwa
ke sana: jurang hitam legam.
Adakah yang lebih berbahaya
dari dua gadis muda
menjaga lilin basah
di tengah kolam,
memasukkannya ke dalam
vagina salah satunya?
–
Memijat Punggung Buku
Buku mendesah dan menggamparku.
Kini tokoh antagonis yang menempel
di pipiku terus berkicau di kepalaku.
–
Sepasang Kekasih yang Memerkosa Karakter-Karakter di Buku Puisi
Aku tak menemukan perbedaan di antara
setiap tulisan akan menemukan pembacanya dan
setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.
Mati. Apakah mati praktis bagi dunia fiksi?
Di perpustakaan hujan sedang berpesta dan aku melukis kopi.
van Gogh menggunakan telinga sebagai cangkirnya.
Daun kering berdetak seperti hati ketika diinjak.
Apakah Beethoven bisa mendengarnya?
Apakah jiwanya berdetak sebagai instrumen orkestra?
Asal kau tidak bunuh diri, wahai kekasih,
boleh saja kau selingkuh dengan Osamu Dazai.
Tapi untukku seorang kau mati, olehmu seorang aku dipahami.
Dahulu aku pernah hampir terlahir sebagai perempuan
seperti Cleopatra. Minus insesnya, aku ingin jadi seperti dia:
seniman politik yang nirmala dan pintar berbahasa.
Kau adalah prajurit bertopeng yang pandai menyembunyikan
diri bak Joan si Perawan. Aku tidak ingin kau dihukum
di tiang pembakaran. Tubuhmu yang seksi haram bagi tiran.
Waktu membaca tidak akan pernah habis.
Di atas halaman hujan, tubuh kami luntur menjadi tinta—
menyusun sajak perkawinan hingga berjilid-jilid.
Semoga tidak ada yang menganggap diri mereka diperkosa.
Kami hanya ingin menunaikan salah satu rukun cinta.
–
Jeanne la Pucelle
Kalau kami terlahir sebagai perempuan,
tak pula bedanya kami menjelma Joan.
Kalau menjadi perempuan
masih menjadikan kami mangsa para penebang, setidaknya
masih bisa kami buat gugur kami menyala dan bicara.
Para penebang membuka jeruji
dengan lentik gergaji penuh ancaman,
sementara para pohon melindungi jeruji
dengan daun zirah pertentangan; Joan menjelma jantan.
Kalau menjadi perempuan
membuat kami banyak dapat perhatian dan pertolongan
maka kami sudi mengenakan gaun pernikahan
untuk datang ke pengadilan
dan menolak tuduh bidah tu(h)an tanah.
Kami, yang gagah perawan, dihilangkan.
Kalau kami bisa memeluk salib kayu di tiang pembakaran,
mungkin kanonisasi nama kami, berabad-abad kemudian, abadi bak Joan.
Tapi yang bisa kami peluk hanya sedih dan gelisah
bersama bayang-bayang senyap para penjajah—
dan rindu akan hari dulu: gagah perkasa,
yang kini berharap tak pernah ada—
yang mencurat sengketa jiwa:
merusak ladang-ladang tubuh kami
yang parau padi dan gandumnya di tengah kemarau
dan tenggelam ternak-ternaknya di tengah hujan.
Joan sang dara menangis melihat ladang ayahnya;
kami, putra-putra ayah yang berdosa, terlalu takut membasuhnya.
Nama kami kini keji dikenang:
pejantan yang ditebang, dipotong, dan dibakar oleh perempuan,
tak lain adalah kepecundangan.
Bagai Santa Joan yang dieksekusi mati di tengah kerumunan,
setiap trauma dan rasa sakit masih membara dalam ingatan.
*****
Editor: Moch Aldy MA