Eka Kurniawan sepertinya belum bosan mengolok-olok sisi maskulinitas kaum laki-laki lewat novel terbarunya, Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong (selanjutnya disingkat AMKM).
Setelah Ajo Kawir dalam Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas dibuat menderita karena mengalami gangguan impotensi akibat trauma psikologis, kali ini kita akan berkenalan dengan anak laki-laki bernama Sato Reang yang mengalami pemberontakan batin setelah—mengutip diksinya Eka—kehilangan kulup di ujung kemaluannya.
Baca juga:
Hidup Sato Reang seketika berubah usai ia disunat dan sang ayah memintanya jadi anak saleh. Dalam perspektif Islam, sunatan atau khitanan merupakan simbol pengukuhan identitas bagi seorang anak laki-laki sebagai anggota muslim sejati dan bukti kesiapan pengabdiannya pada ajaran agama. Masalahnya, Sato Reang tak suka salat lima waktu, apalagi harus tunduk pada aturan atau norma lain yang mengikatnya.
Sadar atau tidak, mungkin Sato Reang adalah representasi diri kita atau sebagian diri kita ketika masih aktif menjadi bocah kampung. Saat kecil hingga remaja, ada begitu banyak pertanyaan lugu yang tak terjawab dan orang-orang dewasa tak pernah merasa berutang penjelasan. Makanya, kita mungkin sepakat saat Sato Reang menggerutu, “Anak-anak kecil hanya mengikuti apa yang dikatakan sepuh-sepuh ini, dan mereka tak pernah punya keinginan untuk menerangkannya.”
Sialnya, karakter Sato Reang di sini justru menjelma sisi diri kita yang paling vulgar dan paling kelam. Jika mengutip pemikiran filsafat dari Imam Al-Ghazali, kondisi jiwa Sato Reang mungkin sudah sampai pada level kehewanan (i-bahimiyah), kebuasan (al-sabu’iyah), dan kesetanan (al-syaithaniyah), atau parahnya, kombinasi ketiganya—meskipun sifat-sifat itu tak tumbuh sekaligus, tetapi berangsur-angsur muncul menjelang usianya 16 tahun.
Tentu tak keliru kalau ada yang beranggapan karakter Sato Reang membawa ingatan kita pada tokoh Holden Caulfield dalam novel fenomenal karangan J.D. Salinger, The Catcher in the Rye. Seorang bocah yang punya kegelisahan berlebih dan segudang masalah di masa transisi hidupnya menjadi remaja. Sebagai protagonis antihero, sikap keduanya pun nyaris sama persis: mereka suka mengeluh dan hobi mengumpat atas semua hal. Tolol! Anjing! Wewe gombel! Setan jembut!
Di ranah sastra Barat, karakter semacam ini sering muncul dalam novel-novel yang diberi label “picaresque“—berasal dari bahasa Spanyol, picaresca atau pícaro, yang berarti nakal atau bajingan. Novel picaresque umumnya mengandung tujuh unsur penting: narator orang pertama, protagonis dari kelas sosial yang lebih rendah, protagonis membuat pilihan tak bermoral yang mendekati kriminalitas, pengembangan karakter minimal, sedikit atau tanpa plot, mengandung realisme sastra, dan sindiran. Salah satu contoh yang paling terkenal yakni The Adventures of Huckleberry Finn karya Mark Twain.
Apabila ditelisik lebih jauh, rasanya AMKM paling menonjol dalam tiga aspek: karakter Sato Reang yang antitradisi, sudut pandang orang pertama (ini bisa diperdebatkan kemudian), serta aliran kesadaran.
Di saat teman-teman sebayanya mengalami gairah tertentu setelah disunat dan mulai mendedikasikan diri untuk beribadah lebih taat, Sato Reang justru berpikir sebaliknya. Ia malas beribadah, malas pergi ke sekolah. Ia membenci ayahnya, gurunya, dan terutama Jamal—temannya yang paling saleh. Alegori antitradisi ini sebetulnya sudah tergambar dari pemilihan judul AMKM, sebab anjing tak biasanya mengeong dan kucing jarang pula menggonggong. Gaya penulisan Eka pun bisa jadi simbol antitradisi ketika ia memilih latar tahun 90-an, tetapi dengan sengaja memasukkan kata “bocil” dan “membagongkan”—diksi yang baru populer di era kekinian.
Baca juga:
Nah, ini yang menjadi menarik, yaitu kesengajaan Eka Kurniawan menggunakan sudut pandang orang ketiga sekaligus orang pertama saat menarasikan karakter Sato Reang. Pembaca pun harus dipaksa terbiasa saat pronomina persona Sato Reang sekonyong-konyong dapat berubah dari “ia” menjadi “aku” dalam satu paragraf pendek. Hal ini sebetulnya sudah diperjelas Eka melalui teks di belakang sampul novel, yang bunyinya begini: “Ini kisah Sato Reang. Kadang ia demikian intim dengan dirinya, sehingga ini merupakan cerita tentang aku, tapi kali lain ia tercerabut, dan ini menjadi kisah tentang Sato Reang.”
Kemudian, sampailah kita pada kesimpulan bahwasanya novel ini coba mengusung konsep aliran kesadaran (stream of consciousness). Penulisan aliran kesadaran mengacu pada teknik naratif ketika pikiran dan emosi seorang narator atau karakter ditulis sedemikian rupa sehingga pembaca dapat merasakan kondisi mental dari karakter tersebut. Istilah ini pertama kali muncul dalam kritik sastra yang ditulis oleh May Sinclair pada tahun 1918 melalui analisis novel-novel karya Dorothy Richardson.
Lebih dari itu, AMKM jelas ditulis Eka Kurniawan untuk menyindir pola asuh orangtua yang cenderung otoriter—mendidik dengan ketat, kaku, atau secara keras membatasi anak dalam bersikap dengan harapan agar anaknya mengikuti aturan mereka tanpa diskusi atau kompromi. Didikan keras seperti yang dilakukan ayah Sato Reang serta ayah-ayah lain bisa jadi lahir dari produk budaya, latar belakang etis, atau karena mereka hanya mengetahui cara mendidik semacam itu. Pola asuh ini merupakan sebuah paradoks karena mereka pun dibesarkan dengan cara demikian.
Editor: Emma Amelia