Saya masih ingat kejadian itu. Kala itu saya ikut rombongan rapat kerja fakultas. Sebagai salah satu pimpinan lembaga mahasiswa, saya naik bus yang sama dengan para dosen dan pegawai fakultas. Dari Makassar menuju Toraja. Perjalanan delapan jam yang panjang dan melelahkan.
Saya berdua bareng teman. Meski berdua, waktu itu kami lebih banyak diam. Menyimak. Bukan karena kami kehabisan bahan bercerita. Tapi, karena suasana bus begitu riuh gempita. Para penumpang tertawa, bercerita, tertawa lagi, bergosip, tertawa lagi.
Yang membuat saya tidak lupa perjalanan itu adalah: topik utama yang dibicarakan adalah seks.
Para penumpang yang rata-rata sudah menikah itu membicarakan topik yang sama dengan berbagai plot, karakter, konflik, dan gaya bercerita. Semua kata yang terceletuk tiba-tiba punya arti sensual. Misalnya kata “berdiri”, “keluar”, dan “kacang” seketika bisa memiliki makna yang bisa membuat seisi bus tertawa terpingkal-pingkal.
Waktu itu, saya begitu naïf. Mengira bahwa perbincangan tentang seks hanya digandrungi oleh anak-anak muda tanggung yang berjibaku dengan pubertas, yang baru tahu soal seksualitas. Ternyata, makin tua, malah makin menjadi.
Topik seks menjadi semacam tepung crispy yang mengubah pembicaraan menjadi lebih kriuk, gurih, tapi penuh lemak jahat. Kata “ibadah”, umpamanya, akan bermakna erotis jika dibicarakan di jumat pagi—setelah malam yang oleh sebagian besar orang dianggap waktu terbaik untuk berhubungan intim suami-istri. Kata, makna, dan segala tata bahasa berlutut di hadapan birahi.
Industri Tubuh
Lebih dari 10 tahun lalu, di sekitar tahun-tahun perjalanan menuju Toraja itu, ada tulisan singkat terbit di The Guardian. Ditulis oleh seorang professor sosiologi, Gail Dines. Ia bercerita tentang perjalanannya ke Las Vegas. Ke konvensi porno paling akbar di dunia. Bertajuk: Adult Entertainment Expo. Disana berkumpul para pemodal besar, produser film, bankir, produser software, internet providers, hingga jaringan hotel.
Berjam-jam duduk dan berdiskusi dengan banyak orang dalam gelaran itu, Dines sadar satu hal: alih-alih membicarakan seks, konvensi besar itu malah sepenuhnya membahasi uang dan profit dan laba.
Itulah industri miliaran dolar yang menjual hasrat purba sebagai mesin pencetak uang. Mereka merancang agar pornografi menjadi budaya pop. Bagian tak terpisah dari kehidupan keseharian. Juga agar seks bisa dinikmati di segala medium teknologi. Industri tubuh yang dulu hanya hadir sebagai hiburan kini telah bermetaforsis menjadi agen budaya pop yang menjangkau miliaran manusia.
Jurnalis Pamela Paul menyebutnya dengan istilah pornofikasi budaya. Pornofikasi yang telah berbuah manis.
Di internet, situs web dipenuhi iklan-iklan klik memperbesar penis atau tahan lama di ranjang. Komsumsi konten porno juga meningkat kencang. Tahun 2014 saja, Indonesia telah mencatatkan diri sebagai juara dua negara asal penonton situs PornHub dengan peningkatan pengguna telepon genggam. Di Twitter dan aplikasi-aplikasi percakapan pribadi, berseliweran tautan, video, hingga stiker-stiker sensual yang menggoda otak pre-frontal. Otak yang mengatur kontrol diri.
Negara pun turut campur menghalau. Namun, blokade moral berupa “internet sehat” menjadi lumpuh dan sakit-sakitan di hadapan Virtual Private Network. VPN serupa jalan berputar saat jalan tujuan kita di blokade polisi. Akses ke pornografi mirip jalan bebas hambatan yang tak punya pintu tol untuk harus membayar.
Di tengah situasi ini, angka kekerasan berbasis gender online (KBGO) ternyata meningkat drastis sepanjang pandemi Covid-19. Data SAFEnet menyebut, sepanjang Maret – Juni 2020 mencapai 169 kasus, meningkat sebanyak 45 aduan dari tahun sebelumnya.
Dari semua jenis KBGO, penyebaran konten intim tanpa persetujuan menempati angka paling tinggi. Konten intim tanpa persetujuan itu artinya video bersetubuh di mana salah satu pihak (kebanyakan perempuan) tidak sadar bahwa dirinya direkam. Dan video itu disebarkan ke internet juga tanpa persetujuan.
Pandemi juga memaksa para pekerja seks untuk banting setir menjadi content creator porno amatiran. Mereka dengan cepat harus beradaptasi dengan mode layanan digitalnya. Konten-konten ini diunggah ke berbagai platform di internet. Layanan jual foto-video pribadi yang erotis kian menjamur bak penjual masker di jalanan.
Semua ini pada akhirnya memperbesar kebutuhan masyarakat kita atas dunia fantasi. Hyperreality yang mengeksploitasi hasrat paling purba sebagai manusia. Yang, pada gilirannya, makin membuat kebutuhan kita atas konten porno makin tak terbendung. Anak-anak hingga dewasa sama-sama kecanduan.
Seks hadir selayaknya menu di restoran cepat saji. Cepat dan penuh variasi.
Tameng Bahasa
Di rimba raya budaya porno, bahasa menjadi tameng yang dibebani tugas paling berat. Di mesin pencari, saringan paling awal yang dibuat oleh para ahli teknologi dan politisi adalah saringan bahasa. Algoritma diperintah untuk menutup akses menuju website daftar hitam yang dicari dengan terma-terma seperti ‘telanjang’, ‘porno’, atau ‘ngentot’.
Pada saat bersamaan, pemerkosaan kerap diperhalus dengan “dipaksa untuk melakukan hubungan suami istri”. Kata-kata lugas yang menunjukan relasi seks asimetris dan non-konsensual seperti ‘pemaksaan’, ‘penyiksaan seksual’, dan ‘perbudakan seksual’ diperas menjadi ‘eksploitasi seksual’.
Terus-terusan, bahasa dijadikan topeng realitas.
Bahasa mengalami pornofikasi dengan ironi makna. Negara doyan memperhalus makna pada kata-kata yang seharusnya menunjukan keterusterangan dan relasi yang timpang. Sementara, di antara penuturnya, kata-kata keseharian (seperti ‘besar’ dan ‘kuat’) terus terpornofikasi dengan konteks yang sama sekali berbeda. Sering sebagai kelakar. Sering pula sebagai ejekan. Yang membungkus dominasi pria atas perempuan.
Masalahnya, pornofikasi bahasa ini semakin memperparah relasi dan politik keseharian yang dialami oleh perempuan. Dari para pemodal kapitalis, pejabat publik, politisi, penegak hukum, hingga para pelaku kekerasan berbasis gender, semuanya didominasi oleh laki-laki. Mereka memproduksi dan mereproduksi makna untuk melayani kuasa dan hasrat.
Pola pikir patriarki menganggap bahwa suami tidak mungkin memperkosa istrinya. Seolah-olah, setelah menikah, tubuh istri seperti tontonan bokep yang bisa diklik untuk bersetubuh kapan saja. Seakan-akan, 292 aduan yang masuk ke Komnas Perempuan selama 2 tahun terakhir, cuma angka statistik jumlah viewers aplikasi OnlyFans.
Patriarki menutup mata pada kezaliman yang menganga. Lalu, membebankannya pada bahasa.
Bahasa memang bukanlah sebuah sistem yang statis, yang diam-beku. Ia adalah negosiasi tiada henti atas makna yang ada pada masa lalu dengan maknanya hari ini. Serupa kolam yang berisi makna tak terbatas. Tapi, kolam itu, kini diperkeruh dengan mesin internet yang memutar uang triliunan rupiah dengan mengeksploitasi ketelanjangan.
Negara berkejaran dengan korban yang terus berjatuhan. Kekerasan seksual lewat bahasa tak tercerap oleh statistik—apalagi oleh penegakan hukum. Sementara, banyak orang, termasuk saya, seperti masih ada di dalam bus menuju Toraja. Mendengar penumpang lain berseloroh tentang gaya-gaya bersetubuh. Diam. Sesekali ikut tertawa. Sesekali jijik. Sesekali menimpali. Bahkan, lebih sering menikmati. Oh, begini rasanya menjadi bagian dari patriarki. **