Di antara sekian banyak jenis kejahatan, saya percaya kejahatan seksual adalah salah satu bentuk yang paling keji dan agaknya tak termaafkan. Kejahatan itu meninggalkan korbannya terus hidup berkubang perasaan kotor.
Karena sifatnya tadi, saya bisa memaklumi perlakuan khusus orang-orang ketika mendengar kabar kekerasan seksual yang selalu percaya lebih dulu kepada korban. Berbeda dibandingkan kejahatan lain yang menyisakan ruang keraguan atas dasar asas praduga tak bersalah.
Baca juga:
Namun, terkadang ada saja orang-orang tak bertanggung jawab yang memanfaatkan sentimen tersebut untuk menjatuhkan kredibilitas orang lain. Bagi saya, rekayasa kasus kekerasan seksual yang tak pernah terjadi sama jahatnya dengan kekerasan seksual itu sendiri.
Akhir tahun lalu, viral berita kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswi baru Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sebuah akun anonim di X mengaku dilecehkan kakak tingkatnya di kampus yang jadi anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Ia juga melampirkan potongan chat yang menunjukkan ancaman pelaku karena membocorkan kasus itu ke media sosial.
Identitas terduga pelaku ikut bocor dan jadi bulan-bulanan netizen. Akun-akun besar membagikan berita tadi dan meminta pelaku diadili. Kampus harus bertanggung jawab dan jangan melindungi pelaku kekerasan seksual, kata mereka. Keriuhan terjadi beberapa hari hingga penegak hukum melaporkan hasil investigasinya.
Polisi memastikan informasi itu hoaks dan telah menangkap pelaku penyebar kabar bohong tersebut—yang ternyata laki-laki. Motifnya sakit hati dengan perlakuan orang yang difitnahnya. Berita itu jadi senyap tak lama kemudian.
Mencermati kasus barusan, saya merasa kita sering salah kaprah bagaimana menunjukkan semangat “berdiri bersama korban”. Alih-alih fokus terhadap penegakan hukum yang serius dan adil, kita terlalu bersemangat menghakimi dan menghukum tanpa berusaha mencari tahu kebenarannya. Lantas, bagaimana sebaiknya kita bersikap ketika mendengar kasus kekerasan seksual?
Antara Mendengar dan Mengetahui
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah disahkan pada 2022. Isinya meliputi pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban, hingga penegakan hukum. Dalam UU tersebut, keterangan korban atau saksi cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah, asalkan disertai dengan satu alat bukti sah lainnya dan diputuskan oleh hakim.
Berdasarkan hukum, kekerasan seksual—sebagaimana kejahatan-kejahatan lainnya—hanya bisa dibuktikan kebenarannya lewat pengadilan. Menurut saya, ini yang harus kita jadikan landasan berpikir saat mendengar kabar kekerasan seksual, di mana kita bukan merupakan korban atau saksinya.
Lalu, bagaimana dengan keberpihakan kepada korban? Apakah kita harus diam saja mendengar kabar ada seseorang dilecehkan?
Saya kira ada batas yang sangat kentara antara “mendengar” dengan “mengetahui”. Mengetahui berarti kita menyaksikan kekerasan seksual yang terjadi atau melihat bukti bahwa kekerasan seksual betul terjadi. Sementara itu, hanya “mendengar” berarti kita belum tahu kebenarannya dan semata-mata bersandar kepada penuturan ulang korban.
Dalam posisi menjadi pendengar, saya menganggap keberpihakan kepada korban bisa dilakukan dengan tidak menyanggah ceritanya tanpa harus menghakimi terduga pelaku sebelum diproses hukum. Selain itu, kita juga bisa mendorong agar proses hukum berjalan dengan semestinya agar penegak hukum memprosesnya dengan serius.
Keberpihakan kepada korban, dalam hal ini, adalah dengan membuka kemungkinan bahwa telah terjadi peristiwa kekerasan seksual sekaligus menghadapi kenyataan bahwa “sebersih” apa pun riwayat terduga pelaku, tetap ada kemungkinan ia benar-benar melakukan kekerasan seksual tersebut. Keduanya bisa dilakukan beriringan tanpa kita berkomentar tidak perlu dan mengganggu proses hukum.
Belakangan, sikap berdiam diri pada berita dugaan kekerasan seksual tak jarang diasumsikan sebagai bentuk kebungkaman dan permisif terhadap kekerasan seksual. Mereka yang memilih diam saat mendengar kabar itu keburu divonis sebagai enabler. Padahal, predikat itu harusnya disematkan kepada mereka yang “mengetahui” kejadiannya, bukan sekadar “mendengar”.
Selama kita hanya menjadi “pendengar kabar”, kita tak sepenuhnya berhak berbicara atas nama korban. Sebab, itu boleh jadi malah memperlambat proses penyelesaian perkara, atau, jika kabar yang beredar ujung-ujungnya diketahui sebagai rekayasa, itu hanya akan melemahkan suara-suara korban kekerasan seksual yang sebenarnya.
Baca juga:
Siapa yang Berhak Bersuara?
Saya rasa ada beberapa pihak yang berhak bersuara atas kasus kekerasan seksual. Pertama dan yang paling utama, korban itu sendiri. Ia sepenuhnya berhak mengungkapkan kekerasan yang ia alami dan yang harus mendengarkannya dengan seksama adalah para penegak hukum.
Kedua, saksi. Mereka yang menyaksikan langsung kekerasan seksual tak bisa hanya diam saja. Mereka pertama-tama harus berbincang kepada korban dan, atas persetujuannya, menyuarakan kasus yang dialami korban. Mereka juga harus siap bersaksi di pengadilan.
Tak seperti pendengar yang hanya mendengar penuturan ulang cerita kekerasan seksual, saksi punya beban moral untuk bersuara. Ketika ia memilih bungkam setelah mengetahui kebenarannya, bahkan lebih buruk lagi dengan mendiskreditkan korban dan membela pelaku, patutlah ia disebut sebagai enabler.
Ketiga, pendamping hukum korban. Terkadang korban masih trauma atau tidak punya keberanian untuk bersuara atas kekerasan yang ia alami. Karena itu, ia bisa mewakilkan suaranya kepada pendamping hukum. Sebagai perwakilan korban, pendamping berhak untuk melaporkan kejadian yang menimpa orang yang ingin didampingi.
Keempat, penegak hukum, baik dari kepolisian maupun pihak pengadilan. Kepolisian setelah menerima laporan terhadap kasus kekerasan seksual wajib untuk menindaklanjutinya dengan serius dan membawanya ke pengadilan untuk kemudian diserahkan prosesnya kepada pengacara, jaksa, maupun hakim.
Mereka semua dalam proses penanganan perkara kekerasan seksual berhak menyampaikan temuan-temuan mereka, dengan begitu menjadi jelas apakah kekerasan seksual benar terjadi atau hanya tuduhan palsu belaka.
Kelima, media. Dalam hal ini, media berfungsi sebagai corong pengeras suara bagi keempat pihak sebelumnya agar orang-orang mengetahui apa yang sedang terjadi.
Di luar pihak-pihak sebelumnya, saya kira sebaiknya orang-orang menahan diri untuk berkomentar yang tidak perlu menanggapi berita kekerasan seksual yang mereka baca di media sosial, dengar dari mulut ke mulut, dan apa pun yang belum bisa mereka pastikan validitasnya.
Selebihnya, kita bisa mendorong penegakan hukum dijalankan dengan seadil-adilnya. Sebab, kekerasan seksual yang terus berulang atau kesaksian palsu yang menyelip di antaranya hanya mungkin terjadi karena penegak hukum terlalu sering meremehkan kasus itu.
Editor: Emma Amelia