Beberapa tahun terakhir, akun-akun “Kampus Cantik” kian marak di media sosial Instagram. Akun-akun ini membawa nama universitas dengan tambahan embel-embel cantik untuk menarik pemirsa mereka. Sesuai dengan namanya, isi feed dari akun kampus cantik adalah foto-foto mahasiswi yang dinilai cantik sesuai standar dari admin akun. Parahnya, caption pada unggahan juga mencantumkan nama lengkap mahasiswi beserta fakultas dan akun pribadinya.
Hal ini jelas salah. Dengan mengunggah foto pribadi mahasiswi berarti mereka melanggengkan objektifikasi terhadap perempuan. Menurut GirlsBeyond, objektifikasi perempuan adalah penempatan tubuh perempuan secara seksual. Perempuan dianggap sebagai sebuah objek yang bisa dipandang dan dinilai tanpa memperhatikan pemilik tubuh. Objektifikasi ini bisa terjadi di mana saja, salah satunya di akun kampus cantik yang mengunggah foto-foto mahasiswi. Foto-foto mahasiswi yang ditampilkan pada feed Instagram menjadi bahan konten dan kepuasan visual bagi followers akun tersebut. Tak jarang, banyak mahasiswi juga merasa dirugikan karena muncul oknum-oknum yang berkomentar tak senonoh dan bahkan DM (Direct Message) yang berbau pornografi.
Mengutip identitasunhas.com, Lila (nama samaran) pernah mendapat DM (Direct Message) yang membuat dirinya merasa risih dan terganggu karena fotonya diunggah oleh salah satu akun kampus cantik. Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) dalam jurnal yang berjudul Perlindungan Data Pribadi bagi Mahasiswi dalam Akun Kampus Cantik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa 55% mahasiswa yang fotonya diunggah di akun kampus cantik mengalami gangguan dan ketidaknyamanan. Gangguan ini menurut Whafiq (anggota tim mahasiswa) berupa DM (Direct Message) yang mengarah ke pelecehan seksual, body shaming dan dihubungi melalui akun Line pribadi.
Menyoal Kekerasan Berbasis Gender Online
Dampak yang ditimbulkan dari akun kampus cantik ini mengarah pada kekerasan berbasis gender online. SAFENet mendefinisikan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) sebagai bentuk kekerasan seksual berbasis gender yang difasilitasi oleh teknologi. Kekerasan ini juga sama dengan kekerasan berbasis gender di dunia nyata. Tindak kekerasan yang dilakukan harus memiliki niatan untuk melecehkan korban berdasarkan gender atau seksual. Apabila tidak maka termasuk dalam kategori kekerasan umum pada ranah online.
Laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat sebanyak 338.496 kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) terhadap perempuan di tahun 2022. Jumlah ini mengalami peningkatan sebanyak 50% dibandingkan tahun 2020 yakni 226.062 kasus. Sejak 2015, Komnas Perempuan memberikan catatan mengenai kekerasan terhadap perempuan berbasis online dan menggarisbawahi kalau kekerasan dan kejahatan siber memiliki pola kasus yang semakin rumit dan harus diwaspadai.
Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan, sepanjang 2022 terdapat 940 kasus KBGO. Jumlah tersebut ternyata meningkat signifikan dari 241 kasus pada 2019. Adanya data ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat mengenai KBGO dan tingkat kewaspadaan di ranah digital masih sangat rendah.
Komnas Perempuan juga menerima 8 bentuk kekerasan berbasis gender online di sepanjang 2017, diantaranya pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan online (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman penyebaran foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen online (online recruitment).
Maraknya akun kampus cantik bisa membuat kekerasan berbasis gender online ini semakin meningkat. Banyak oknum berkomentar tidak pantas di postingan akun kampus cantik. Selain itu, foto-foto mahasiswi yang diunggah juga perlu dipertanyakan perizinannya.
Mengutip dari Magdalene, alumni Mahasiswa Unpad mengaku kesal karena foto pribadinya diunggah di akun @unpad.geulis tanpa izin pada tahun 2018 lalu. Hal yang sama juga dialami Annisa yang mendapati foto pribadinya diunggah di akun @ui.cantik pada awal 2017 tanpa persetujuannya.
Penggunaan foto pribadi tanpa izin pemilik foto tentu dapat dapat dipidanakan. Dikutip dari tirto.id, hal ini dapat dilaporkan dengan UU ITE dengan gugatan kerugian yang ditimbulkan akibat penggunaan data pribadi tanpa persetujuan yang diatur dalam pasal 26 ayat 1 dan 2. Selain itu, instrumen lain yang bisa digunakan adalah UU Hak Cipta pasal 115 yakni penyalahgunaan data pribadi untuk kepentingan komersial dengan ancaman pidana denda Rp. 500.000.000.
Lantas, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Memanfaatkan fitur report pada Instagram menjadi salah satu pilihan yang bisa dilakukan. Namun bukan berarti hal ini efektif untuk melawan fenomena akun kampus cantik. Meskipun sudah me-report tapi tidak menutup kemungkinan akun-akun kampus cantik serupa akan muncul kembali. Sepakat dengan Renita yang menuliskan artikel yang berjudul Dampak Munculnya Akun Kampus Cantik di Sosial Media, langkah utama yang bisa kita lakukan adalah membangun kesadaran masyarakat terutama di lingkungan kampus untuk melek bahaya penyalahgunaan data pribadi. Data pribadi yang disalahgunakan akan banyak merugikan pemiliknya. Sosialiasi atau kampanye juga dapat digalakkan untuk mengedukasi masyarakat agar lebih bijak lagi dalam bermedia sosial.
***
Editor: Ghufroni An’ars
One Reply to “Menggugat Objektifikasi Perempuan dalam Akun Kampus Cantik”