Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Suka ngomongin Politik, Hukum dan Kebijakan Publik.

Perkuat Supremasi Sipil, Tolak Revisi UU TNI!

Bayu Nugroho

2 min read

Pemerintah dan DPR RI kembali membuat persekongkolan jahat dengan melakukan pembahasan revisi UU TNI secara diam-diam. Di tengah peliknya permasalahan efisiensi anggaran yang berdampak luas bagi masyarakat, Komisi I DPR RI melakukan rapat tertutup pembahasan revisi UU TNI di hotel bintang lima tanpa ada proses transparansi dan pengawasan dari publik, Menurut Ketua Komisi I DPR RI yang juga merupakan kader PDI Perjuangan, Utut Adianto, pemilihan tempat di hotel berbintang tersebut merupakan hal yang biasa dilakukan dalam proses pembahasan rancangan undang-undang. Jawaban tersebut semakin menafikan bahwa DPR RI bukan merupakan perpanjangan tangan rakyat dan hanya perpanjangan tangan penguasa.

Alarm Merah Demokrasi

Sejatinya, TNI merupakan alat kelengkapan negara yang bertugas dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Pemisahan antara ruang sipil dan militer menjadi suatu keharusan dalam menjaga nafas demokrasi yang beradab. Masuknya militer ke ranah sipil merupakan salah satu alarm merah bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Konsep militer yang terbiasa dengan istilah komando tidak bisa diterapkan dalam ranah sipil yang lebih fleksibel dan menjunjung hak asasi manusia (HAM). Makin masifnya militer yang berkecimpung dalam urusan sipil akan membangkitkan otoritarianisme absolut. Oleh sebab itu, perlu adanya limitasi peran militer dalam ruang-ruang sipil sehingga demokrasi dapat berjalan sesuai dengan semangat kebebasan sipilnya dan jauh dari segala bentuk intervensi dari kelompok manapun.

Perubahan UU TNI

Pembahasan revisi UU TNI semakin melonggarkan limitasi militer ke ranah sipil. Hal tersebut dapat dilihat dalam pernyataan Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoedin yang mengatakan bahwa dalam revisi UU TNI akan ada penambahan posisi baru dalam kementerian atau lembaga yang dapat diisi oleh personel TNI aktif. Semula, dalam UU TNI hanya ada sepuluh posisi dalam kementerian atau lembaga yang dapat diisi oleh personel TNI aktif. Akan tetapi dalam poin revisi atau perubahan terhadap UU TNI, jumlah tersebut ditambah hingga menjadi lima belas.

Adapun, psosisi kementerian atau lembaga yang dapat diisi oleh personel TNI aktif antara lain sebagai berikut :

  1. Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara
  2. Kementerian Pertahanan
  3. Sekretaris Militer Presiden
  4. Badan Intelijen Negara (BIN)
  5. Badan Sandi dan Siber Negara
  6. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhamnas)
  7. Dewan Pertahanan Nasional
  8. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas)
  9. Badan Narkotika Nasional (BNN)
  10. Kementerian Kelautan dan Perikanan
  11. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
  12. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
  13. Badan Keamanan Laut (Bakamla)
  14. Kejaksaan Agung
  15. Mahkamah Agung

Bahaya Laten Dwi Fungsi ABRI

Penambahan lingkup keterlibatan personel TNI aktif dalam ranah sipil semakin membuka bangkitnya dwi fungsi ABRI yang pernah berlaku dalam era orde baru. Di mana hampir semua jabatan sipil diemban oleh militer. Bahkan pernyataan elite TNI seperti yang dilontarkan oleh KSAD, Maruli Simanjuntak yang menyebut masyarakat yang mengkritik sebagai kampungan menunjukkan bahwa personel TNI aktif akan sangat berbahaya jika mengisi jabatan sipil karena bersifat arogan dan anti kritik.

Baca juga:

Panglima TNI, Agus Subiyanto juga pernah berkelakar bahwa TNI bukan hanya dwi fungsi melainkan multi fungsi karena banyak posisi sipil yang akan diisi oleh prajurit aktif TNI. Tentu, membiarkan para penenteng senjata yang arogan dan tidak terbiasa dengan adanya perdebatan dan kritik untuk memimpin institusi sipil akan sangat berbahaya sebab tonggak komando personel TNI aktif tersebut jelas bukan kepada rakyat melainkan kepada atasannya yakni Panglima TNI dan Presiden. Sehingga membiarkan para Tentara untuk terlibat jauh dalam urusan sipil adalah kemunduran dalam demokrasi.

Tolak RUU TNI, Kembalikan Tentara ke Barak

Sebagai warga sipil yang berdaulat atas nasib bangsa ke depannya, masyarakat wajib untuk melantangkan penolakan terhadap revisi UU TNI. Bagaimanapun juga, tugas utama TNI hanya dalam lingkup pertahanan dan keamanan negara. Di luar dua hal tersebut bukan menjadi urusan TNI atau militer.

Baca juga:

Orde Baru menjadi saksi sejarah bagaimana kekuasaan di backing oleh militer sangat berbahaya. Penculikan dan pembunuhan menjadi pemandangan yang biasa bahkan pelaku dari kalangan elite militer hingga sekarang tidak mendapatkan hukuman. Pola-pola pengkondisian secara kekerasan merupakan ciri khas militer yang sangat berbahaya bagi kedaulatan sipil.

Bahkan revisi UU TNI belum disahkan saja, KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) yang sempat menginisiasi aksi pengrudukan ke hotel tempat dilakukannya pembahasan revisi UU TNI yang dilakukan secara tertutup, kantornya didatangi oleh tiga orang tak dikenal (OTK). Sebuah praktik yang sering digunakan untuk membungkam masyarakat yang kritis.

Oleh sebab, sebagai masyarakat sipil maka seyogyanya terus lantang untuk menyuarakan kegelisahan dan penolakan terhadap revisi UU TNI. Jangan sampai supremasi sipil diambil oleh tentara aktif yang bahkan tidak mau pensiun dari dinas militernya. Kembalikan tentara ke barak dan Tolak Revisi UU TNI. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

  

 

Bayu Nugroho
Bayu Nugroho Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Suka ngomongin Politik, Hukum dan Kebijakan Publik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email