Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Mengungkap Tabu Menstruasi: Media, Iklan, dan Normalisasi Stigma

Sekar Jatiningrum

3 min read

Isu menstruasi di media masih dibungkus dalam stigma yang kuat, dengan penyajian yang terbatas, baik dari segi sudut pandang, cara penyampaian, maupun kedalaman analisisnya. Sebagian besar berita tentang menstruasi hanya fokus pada aspek teknis, seperti tips untuk mengurangi nyeri, mitos yang berkembang—misalnya larangan keramas saat haid—dan kekhawatiran mengenai keterlambatan menstruasi yang sering dikaitkan dengan kehamilan. Penyajian seperti ini terasa datar dan tidak menyentuh dimensi emosional atau sosial dari pengalaman menstruasi itu sendiri.

Sebagian besar media mengabaikan pembahasan yang lebih mendalam, seperti pengalaman pribadi menstruasi yang berkaitan erat dengan ketidaksetaraan gender dan isu sosial yang lebih luas. Pemberitaan sering kali hanya fokus pada “kesalahan” biologis atau fisik menstruasi, tanpa menyoroti dampaknya terhadap kehidupan perempuan secara lebih komprehensif. Padahal, pengalaman menstruasi bukan hanya masalah biologis, melainkan juga berkaitan dengan stigma sosial yang mengakar dalam masyarakat, yang sering kali memperburuk ketidaksetaraan gender.

Stigma Menstruasi dalam Pemberitaan Media

Dalam bukunya The Menstrual Movement in the Media: Reducing Stigma and Tackling Social Inequalities, Maria Kathryn Tomlinson mengungkapkan bahwa media sering memarjinalkan isu menstruasi dengan membatasi ruang pemberitaan. Penelitian menunjukkan bahwa berita tentang menstruasi sering kali “disembunyikan,” “ditempatkan di bagian bawah,” atau bahkan “sulit ditemukan” di banyak platform media. Hal ini mencerminkan penelitian sebelumnya tentang bagaimana topik-topik yang dianggap “isu perempuan” sering kali dikesampingkan dalam media berita (Hanitzsch et al., 2019; Sui et al., 2022, p. 3).  

Baca juga:

Contoh nyata dari marginalisasi ini bisa dilihat pada beberapa judul pemberitaan di media, seperti Yoursay.suara.com dengan judul Jawaban Buat Kamu yang Penasaran Kenapa Cewek Sensitif Menjelang Haid! Suara.com menggunakan judul Heboh Ojol Dapat Pesanan Ribet Perempuan Ngaku Sedang Haid Hari Pertama, Memangnya PMS Separah Itu? atau berita dengan judul Heboh Video Cowok Penasaran soal Menstruasi, Jawaban Cewek Ini Malah Bikin Geleng-geleng”. Sedangkan Detik.com menggunakan judul Viral Pelari Maraton Menstruasi Saat Perlombaan, Tetap Lanjut meski Berdarah atau berita dengan ungkapan serupa Viral Pelari Menstruasi Saat Sedang Marathon, Tetap Lanjut Meski Bocor

Penggunaan kata-kata sensasional dan dramatik seperti “heboh,” “viral,” “bocor” dan “darah” menegaskan kesan bahwa menstruasi adalah sesuatu yang aneh dan perlu ditanggapi dengan rasa penasaran, alih-alih membahasnya dengan cara yang lebih manusiawi dan substansial. Hal ini justru menstigmatisasi menstruasi dan memperburuk persepsi masyarakat bahwa topik ini seolah-olah remeh atau tidak penting (Wood, 2020).

Dominasi budaya maskulin dalam ruang redaksi media turut memperburuk marginalisasi isu perempuan. Penelitian feminis menunjukkan bahwa redaksi lebih sering memprioritaskan isu laki-laki dan meminggirkan topik yang berfokus pada perempuan (Byerly & Padovani, 2017; Hanitzsch et al., 2019). Praktik ini mencerminkan ketimpangan dalam pemberitaan, di mana pengalaman tubuh perempuan jarang dipandang sebagai topik yang relevan, meskipun berdampak besar pada kehidupan banyak perempuan.

Selain itu, kurangnya visibilitas menstruasi di media juga terkait dengan dinamika gender dan usia audiens berita (Sui et al., 2022). Laki-laki dewasa atau lebih tua dianggap cenderung mendominasi sebagai pembaca berita, sementara remaja perempuan, yang sangat membutuhkan informasi terkait menstruasi, kurang terwakili. Kondisi ini mendorong media untuk lebih fokus pada isu-isu yang menarik perhatian audiens dominan, sehingga pengalaman perempuan kembali terpinggirkan.

Menstruasi dalam Iklan: Stereotip dan Malu

Selain pemberitaan media yang meminggirkan isu menstruasi, iklan pembalut juga sering kali memperkuat narasi stigma dengan menggambarkan menstruasi sebagai hal yang tabu dan memalukan. Fenomena ini bertolak belakang dengan respons kita terhadap darah dalam konteks lain. Misalnya, darah yang muncul dalam film horor atau adegan pembunuhan sering kali hanya memicu rasa ngeri sesaat tanpa dianggap menjijikkan. Sebaliknya, darah menstruasi yang muncul secara alami, tanpa kekerasan atau kengerian, langsung dilabeli sebagai sesuatu yang kotor dan najis. Bahkan, meskipun darah tersebut tersembunyi di balik pembalut atau pakaian dalam, respons jijik sering kali muncul secara naluriah.

Iklan pembalut juga kerap mempertahankan stereotip usang: perempuan yang digambarkan tidur di atas bulan, mengenakan pakaian serba putih, atau perempuan-perempuan ceria tanpa gangguan menstruasi. Penting untuk dicatat bahwa iklan ini menghindari gambaran yang lebih realistis tentang menstruasi, seperti rasa sakit, ketidaknyamanan, dan stigma sosial yang mengikutinya. 

Kata “menstruasi” pun jarang disebut secara eksplisit karena dianggap terlalu vulgar. Warna merah darah bahkan harus diganti dengan cairan biru demi kenyamanan visual audiens. Internalisasi pesan-pesan dari iklan ini dapat memperkuat stigma bahwa menstruasi adalah sesuatu yang perlu disembunyikan dan diselesaikan dengan cara yang “terbaik”. Representasi semacam ini tidak hanya mengabaikan kenyataan biologis, tetapi juga menanamkan rasa malu pada perempuan, khususnya remaja. Rasa malu ini tercermin dalam kebiasaan sehari-hari menyembunyikan pembalut—baik di balik lipatan seragam sekolah, kantong tas kecil maupun kerudung panjang.

Dampak dari stigma ini tidak hanya dirasakan secara individu, tetapi juga membentuk wacana sosial yang lebih luas. Ketika media membingkai menstruasi dalam narasi sensasional, hal ini membuat pembaca yang tidak mengalami menstruasi mungkin merasa bahwa topik ini dilebih-lebihkan. Mereka bertanya-tanya, “Mengapa hal ini digambarkan begitu dramatis?” Akibatnya, menstruasi dipandang sebagai masalah sepele, sementara pengalaman nyata perempuan, termasuk rasa sakit yang mereka alami, diabaikan. Dalam jangka panjang, pemberitaan semacam ini berkontribusi pada seksisme struktural yang meremehkan pengalaman perempuan, terutama dalam hal kesehatan dan kenyamanan mereka (Holowka, 2022).

Menstruasi dan Norma Sosial di Media Sosial

Pada tahun 2015, Rupi Kaur membagikan foto dirinya berbaring di tempat tidur di media sosial, Instagram, dengan punggung menghadap kamera. Dalam foto tersebut, noda menstruasi terlihat jelas di celananya dan seprai kasur. Namun, foto ini dihapus dua kali oleh platform media sosial karena dianggap melanggar kebijakan komunitas.

Penyensoran ini memperlihatkan bagaimana platform tersebut secara aktif melanggengkan tradisi lama yang mempermalukan menstruasi. Hal ini seolah-olah memperkuat pandangan bahwa tubuh perempuan secara alami “kotor” (Brodsky, 2015). Pandangan ini konsisten dengan narasi patriarki yang mendominasi wacana, di mana tubuh perempuan dianggap “menjijikkan” atau “menyinggung” karena tidak sesuai dengan norma patriarkal yang mapan (Cafolla, 2015). 

Baca juga:

Foto tersebut, yang seharusnya menggambarkan kenyataan sehari-hari perempuan, dianggap sebagai sesuatu yang perlu disembunyikan, memperlihatkan betapa dalamnya stigma menstruasi. Penghapusan ini seharusnya membuka dialog tentang bagaimana media sosial bisa lebih terbuka dan mendukung representasi tubuh perempuan yang lebih jujur.

Media, iklan, dan platform sosial perlu mengubah cara mereka memandang dan menyampaikan isu menstruasi. Pendekatan yang lebih terbuka, mendidik, dan empatik dapat membantu mengurangi stigma menstruasi, serta menciptakan ruang yang aman bagi perempuan untuk merayakan pengalaman tubuh mereka tanpa rasa malu atau penilaian negatif.

Representasi yang lebih realistis dan manusiawi akan membantu masyarakat, terutama remaja perempuan, untuk menerima menstruasi sebagai bagian normal dari kehidupan mereka tanpa rasa takut atau malu. Dengan begitu, media dapat berperan dalam menghilangkan stigma dan memberikan ruang bagi perempuan untuk merasa diterima dan dihargai. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

 

Sekar Jatiningrum
Sekar Jatiningrum Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email