Baru-baru ini, pada 25 Desember 2024 sebuah unggahan di aplikasi X oleh akun @folkareme*** mencuri perhatian saya dengan pertanyaan yang menggelitik, “Apakah HAM layak untuk OPM? Mau ngumpulin orang-orang yg kemaren koar soal HAM (emoji marah).” Sekilas, unggahan ini tampak seperti memantik diskusi yang serius terkait hak asasi manusia (HAM) bagi Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, setelah saya telusuri lebih dalam, ternyata unggahan tersebut hanyalah strategi promosi untuk memasarkan barang dagangan.
Kekecewaan mulai menggerogoti sanubari diri saya. Isu kemanusiaan telah diperalat untuk kepentingan komersial. Terlebih lagi hal ini mengabaikan nilai moral dalam pembahasan HAM. Dalam konteks etika Kantian, moralitas (baik dan buruk) bersandar pada rasionalitas dan mensyaratkan dapat diterima secara universal.
Selain itu, untuk mencapai kebaikan yang sempurna, individu harus bertindak tanpa didorong oleh keinginan atau dorongan pribadi. Dari pijakan etika kantian, saya melihat bahwa dalam postingan atau konten tersebut masih terdapat dorongan untuk mengkomersialkan barang dagangan melalui isu HAM pada OPM. Dengan menyelipnya kepentingan komersial dalam postingan tersebut, hal itu telah menggugurkan dirinya sebagai sesuatu yang bermoral. Terlebih lagi, isu ini merupakan isu kemanusiaan.
Baca juga:
Penderitaan dari pihak-pihak yang bertikai telah digunakan sebagai sarana untuk pemasaran yang digunakan untuk menarik perhatian konsumen. Hal ini mencerminkan rapuhnya moralitas atas kemanusiaan. Betapapun telah terjadi tindakan amoral (misal: pembunuhan) di antara kedua pihak yang berkonflik, dalam pandangan saya hal ini tidak pantas untuk dijadikan bahan pemasaran.
Rapuhnya Rasa Kemanusiaan
Tidak berhenti di situ, komentar-komentar yang ada didalam unggahan tersebut telah membuat saya terkesima. Komentar-komentar tersebut menandakan telah tergerusnya rasa kemanusiaan di masyarakat dunia maya.
Salah satu komentar yang dari akun bernama @sufi**********
“itu binatang yg berevolusi mirip manusia.nggak cmn fisiknya yg mirip,tpi pemikirannya jg brkmbang sprti manusia.mereka berencana mendirikan sebuah negara, yg warganya dri kaumnya sendiri .Bs bayangin seandainy kjdian papua mnjdi sebuah negara,hukumnya akn melegalkan kanibalisme.”
Ungkapan tersebut menunjukkan dehumanisasi terhadap OPM. Terlepas dari pandangan mereka untuk mendirikan negara yang merdeka sehingga berkonflik dengan aparatus militer Indonesia, hal itu tidak semata-mata telah menghilangkan kemanusiaan mereka. Mereka adalah manusia yang tetap memiliki hak asasi. Tidak ada satu pun pembenaran yang dapat menyamakan mereka dengan non-manusia.
Baca juga:
Meskipun demikian, saya dapat memahami mengapa banyak komentar dehumanisasi seperti diatas muncul. Postingan atau konten tersebut menunjukkan kekerasan dan mutilasi terhadap tubuh manusia. Implikasinya, pandangan tajam terhadap OPM pun terkonstruksi yang mewujud dalam dehumanisasi. Setidaknya itu kesimpulan yang saya dapatkan, bagi siapapun yang membaca ini bisa memberikan tanggapan terhadap kesimpulan yang telah saya buat.
Hak Asasi yang Tidak Bersyarat
Hak asasi manusia sejatinya bukanlah sesuatu yang diberikan oleh masyarakat atau hukum positif, melainkan sesuatu yang terberi (given) berdasarkan martabatnya sebagai manusia (Smith et al. 2008, h. 11). Meskipun pada titik ini terjadi banyak perdebatan mengenai gagasan asal-usul hak asasi manusia–terlepas dari pandangan kaum universalis maupun relatif budaya–manusia tetaplah insan yang hak-haknya harus dipenuhi.
OPM pun terdiri dari manusia-manusia. Sudah seharusnya hak asasi melekat di dalam mereka. Manusia tidak membutuhkan legitimasi negara untuk menyandang hak. Namun nyatanya masih belum banyak orang yang memahami mengenai asal-usul hak asasi manusia. Maka terlepas dari suku, ras, warna kulit, jenis kelamin dan agama, hak asasi manusia selalu melekat dalam masing-masing manusia di muka bumi.
Hal ini diperkuat oleh Pasal 24 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) ayat (1) “Setiap anak berhak atas perlindungan dari keluarga, masyarakat, dan negara, tanpa diskriminasi apa pun mengenai ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, asal usul kebangsaan dan sosial, harta benda atau kelahiran….”
Bagi saya, konflik pemerintah dengan OPM tidak dapat hanya dinilai dengan membenarkan atau menyalahkan salah satu pihak, melainkan harus dinilai menggunakan prinsip universal HAM yang menganggap semua manusia memiliki hak yang sama untuk dihormati, dipenuhi, dan dilindungi harkat martabatnya sebagai seorang manusia. Dalam konteks OPM, seharusnya pemerintah dan masyarakat tidak bisa lepas dari prinsip universal, terlepas dari pandangan mereka terhadap OPM.
Rapuhnya rasa kemanusiaan itu menandakan bahwa pandangan moralitas bangsa ini telah tergerus. Padahal, sudah banyak ajaran dari leluhur bangsa ini untuk memanusiakan manusia. Contoh semisal ajaran dari Jawa, Tepo Seliro yang diartikan sebagai tenggang rasa. Tepo seliro ini adalah menjunjung tinggi tenggang rasa untuk mewujudkan harmoni kehidupan agar tercipta kerukunan, kedamaian dan sikap toleran.
Dalam konteks OPM, hal ini berarti kita tidak dapat membenarkan atau menyalahkan pandangan mereka. Tetapi kita harus tepo seliro dengan menjunjung toleransi terhadap OPM dan menganggap bahwa setiap manusia memiliki hak asasi. Sangat penting bagi kita untuk menolak dehumanisasi yang hanya akan memperburuk situasi konflik di Papua. (*)
Editor: Kukuh Basuki