Keputusan diselenggarakannya kembali Ujian Nasional (UN) bisa menjadi kemunduran pendidikan jika tidak hati-hati dalam menyusun kurikulum pendukungnya. Tidak adanya laporan hasil belajar individual yang diperlukan sebagai acuan dalam seleksi nasional perguruan tinggi negeri tidak boleh dijadikan satu-satunya alasan kuat untuk diadakannya kembali UN, sebab hal itu akan berpotensi menghilangkan aspek-aspek pendidikan lainnya yang justru lebih berharga.
Problem mendasar pendidikan nasional kita menurut para pakar adalah rendahnya kemampuan literasi, numerasi, dan sains. Tiga faktor itulah yang menyebabkan skor Program for International Student Assessment (PISA) negara kita rendah, yang juga menjadi sebab mantan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar.
Diselenggarakannya kembali UN tentu akan menambah bingung sekolah dan guru akan apa yang harus mereka fokuskan: meningkatkan skor tiga kemampuan versi PISA atau skor mata pelajaran UN. Tentu sekolah dan guru akan memilih yang kedua, karena saat ini tolok ukur SMA yang sukses dan menarik para murid dan orang tua adalah SMA yang bisa mengantarkan peserta didiknya ke universitas negeri ternama sebanyak mungkin.
Baca juga:
Jika benar seperti itu, ada ketidaksesuaian antara problem dengan solusi yang ditawarkan. Atau justru jangan-jangan, kebijakan kurikulum pemerintah selalu salah. Pemerintah sering hanya memecahkan masalah luaran, tidak benar-benar mengentaskan problem yang mendasar. Kebijakan pendidikan yang salah justru akan berakibat fatal: pendidikan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Proses Lebih Penting dari Hasil
Sebab utama mengapa UN bukanlah suatu yang mendesak adalah karena berorientasi hasil. John Dewey, filusuf dan psikologis asal Amerika, berpendapat bahwa sekolah harusnya menjadi suatu miniatur masyarakat. Para murid akan dibekali ilmu sebelumnya dirinya memasuki kenyataan sosial. Oleh karenanya, relevansi antara mata pelajaran sekolah dengan kebutuhan hidup di masyarakat mutlak diperlukan.
Namun konsep pendidikan nasional saat ini, dan telah (akan) diperkental oleh UN, cenderung tidak menautkan mata pelajaran dengan proses bermasyarakat. Nilai mata pelajaran dalam ujian menjadi perhatian guru dan sekolah dibanding penilaian terhadap kemampuan bersosialisasi, kemampuan memecahkan masalah (kreatif dan inovatif), hingga etika dalam memperlakukan diri sendiri dan orang lain.
Pemerintah juga telah membatasi kesuksesan seorang murid hanya dari mata pelajaran tertentu. Meski semua mata pelajaran diujikan dalam bentuk Ujian Akhir Sekolah (UAS), tetap saja guru, murid, dan orang tua murid akan berfokus pada mata pelajaran UN sebab mata pelajaran lain tidak menentukan masuk ke perguruan tinggi negeri.
Dewey menambahkan, kurikulum pendidikan juga harus kental dengan konteks luar. Karena dengan itulah murid bisa memahami lingkungannya. Standarisasi yang kaku hanya akan menjadikan para murid sebagai mesin produksi yang siap dikirim ke industri mana saja, bukan sebagai kelompok terdidik yang dapat berkontribusi bagi masyarakat sekitar.
Sekali Lagi Terjebak Hafalan
Senada dengan Dewey, Paulo Freire mengkritik model pendidikan tradisional ini dengan sebutan banking model. Para murid diposisikan hanya sebagai wadah pasif yang hanya menerima informasi. Menurut Freire, pendidikan mestinya berlangsung secara dialogis. Para murid akan mendapatkan kebenaran berdasarkan proses pencarian yang dialami sendiri, bukan hasil dicekoki guru dan pemerintah.
Baca juga:
Pembelajaran partisipatif akan lebih mendorong para guru maupun murid dalam menemukan minat dan bakatnya. Setiap individu memiliki karakteristik dan kecenderungan yang berbeda-beda. Maka dari itu, metode pembelajaran mesti disesuaikan dengan masing-masing individu tersebut. Tujuan pembelajaran pun akan lebih mudah tercapai dibanding metode “pemaksaan” yang berlangsung selama ini.
Dikembalikannya UN juga akan mengembalikan metode hafalan sebagai metode utama pembelajaran. Hafalan, sekali lagi, benar-benar menjauhkan murid dalam memahami maksud ilmu pengetahuan diajarkan. Para murid hanya akan dijejali informasi-informasi parsial. Tidak paham konteks tidaklah mengapa. Selama murid hafal teks, maka amanlah dirinya dari UN.
Model soal pilihan ganda juga akan memperburuk proses pendidikan. Kebenaran dipersempit hanya dalam 4-5 pilihan, sehingga alam pikir para murid dalam proses pencarian kebenaran hanya akan berpikir bahwa kebenaran hanya ada dalam pilihan-pilihan yang sudah ditentukan sebelumnya. Jika tidak A, maka B, atau C, atau D. Metode ini berpotensi mematikan daya kritis dan kreativitas murid.
Tentu hal ini bukan perkara mudah, mengingat kualitas guru di Indonesia masih terbilang rendah. Kesejahteraan mereka pun masih memprihatinkan. Belum lagi problem tidak setaranya kemampuan murid untuk mendapatkan akses pendidikan yang layak, baik karena faktor ekonomi yang rendah maupun karena berada di wilayah terpencil.
Problem-problem inilah yang mestinya dituntaskan terlebih dahulu. Sebagus apa pun kurikulum dan standarisasi ujiannya, jika pelaksanaannya tidak layak secara kualitas maupun kesejahteraannya, ilmu pengetahuan yang disampaikan tidak akan benar-benar tersalurkan dengan optimal. Maka sebetulnya, jika UN diselenggarakan sama seperti dahulu, proses dehumanisasi itu akan menimpa guru maupun murid. Mereka hanya akan menjadi mesin-mesin yang bergerak sesuai perintah tuannya.
Editor: Prihandini N