Perubahan antarmuka pengguna (UI) Instagram yang sering dilakukan tanpa konsultasi dengan pengguna adalah cerminan dari ketimpangan dalam kapitalisme digital. Fenomena ini menunjukkan bagaimana platform digital lebih mengutamakan keuntungan daripada kepentingan pengguna, sekaligus mempertegas dominasi korporasi dalam kehidupan digital kita.
Saat Instagram mengubah UI-nya, banyak pengguna mengeluh karena merasa pengalaman mereka terganggu. Namun, masalah ini lebih dari sekadar perubahan desain. Ini adalah gambaran bagaimana korporasi digital seperti Instagram memanfaatkan kendali penuh atas platform untuk mengarahkan perilaku pengguna demi keuntungan finansial.
Meskipun platform ini awalnya menawarkan ruang berbagi foto dan video, kini ia telah berkembang menjadi ekosistem kompleks yang memprioritaskan fitur monetisasi seperti belanja online dan iklan. Hal ini menunjukkan bagaimana dinamika ekonomi digital bekerja dengan cara yang sering kali tidak transparan dan merugikan pengguna.
Ketika Pengguna Menjadi Komoditas
Kapitalisme digital adalah sistem di mana platform digital mengubah interaksi pengguna menjadi peluang keuntungan. Instagram, misalnya, memanfaatkan data dan aktivitas pengguna untuk meningkatkan pendapatan melalui iklan. Data yang dikumpulkan dari aktivitas seperti unggahan foto, waktu interaksi, hingga klik pada iklan diolah menjadi profil yang sangat bernilai bagi pengiklan.
Baca juga:
Setiap perubahan UI dirancang untuk memaksimalkan konsumsi konten. Fitur seperti Reels atau tab belanja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pengguna, tetapi lebih untuk meningkatkan waktu yang dihabiskan pengguna di platform. Dengan cara ini, Instagram meningkatkan peluang interaksi pengguna dengan iklan, yang menjadi sumber pendapatan utama mereka. Pengguna, tanpa disadari, menjadi bagian dari proses produksi ekonomi platform, sekaligus komoditas yang dijual kepada pengiklan.
Menurut ekonom Yanis Varoufakis, kita hidup dalam era “techno-feudalism” di mana korporasi besar seperti Meta (pemilik Instagram) mendominasi ruang digital. Dalam sistem ini, kendali atas data dan algoritma sepenuhnya berada di tangan segelintir perusahaan. Mereka menentukan aturan main, termasuk bagaimana pengguna berinteraksi dengan platform.
Hilangnya demokrasi digital terlihat dari ketidakmampuan pengguna untuk memengaruhi keputusan strategis perusahaan. Perubahan UI adalah contoh nyata bagaimana keputusan penting yang memengaruhi jutaan orang diambil tanpa masukan dari mereka yang terdampak. Janji teknologi untuk mendemokratisasi akses dan keterlibatan justru berubah menjadi bentuk baru hierarki digital yang memusatkan kekuasaan pada korporasi.
Alienasi Digital: Perspektif Marxian
Karl Marx menggambarkan alienasi sebagai situasi di mana manusia kehilangan kendali atas apa yang mereka hasilkan. Dalam konteks digital, alienasi ini terjadi dalam beberapa bentuk. Pertama, alienasi terhadap produk. Pengguna kehilangan kendali atas data dan konten yang mereka buat. Konten tersebut dimiliki oleh platform yang memonetisasinya tanpa memberi kompensasi yang setara kepada pengguna.
Kedua, alienasi terhadap proses. Algoritma platform menentukan apa yang pengguna lihat dan lakukan, menghilangkan otonomi individu. Algoritma ini dirancang untuk mendorong keterlibatan yang menguntungkan perusahaan, sering kali dengan mengorbankan pengalaman pengguna.
Ketiga, alienasi sosial. Interaksi di media sosial direndahkan menjadi sekadar angka, seperti jumlah likes atau followers yang mereduksi nilai hubungan manusia. Hal ini menciptakan tekanan sosial bagi pengguna untuk terus menghasilkan konten demi validasi digital.
Alienasi digital juga memperburuk hubungan antara individu dan teknologi. Meskipun teknologi digital dirancang untuk mempermudah hidup, pengguna sering kali merasa terjebak dalam sistem yang mengatur perilaku mereka tanpa transparansi atau pilihan yang adil.
Mengapa Ini Terjadi?
Perubahan UI seperti yang dilakukan Instagram adalah strategi kapitalisme platform untuk memaksimalkan keuntungan. Dengan mendesain ulang fitur, Instagram dapat mendorong pengguna untuk lebih banyak berinteraksi dengan konten yang menghasilkan pendapatan, seperti iklan atau fitur belanja. Algoritma juga memainkan peran besar dalam memengaruhi kebiasaan pengguna. Misalnya, konten yang mendapat banyak interaksi lebih sering muncul di beranda, mendorong pengguna lain untuk terlibat dalam pola konsumsi yang sama.
Ketergantungan pengguna terhadap platform seperti Instagram memperparah masalah ini. Banyak orang menggunakan Instagram untuk kebutuhan sosial, profesional, dan hiburan. Akibatnya, mereka merasa tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti aturan baru yang diterapkan platform.
Baca juga:
Apa yang Bisa Dilakukan?
Walaupun platform digital tampak tak terhindarkan, ada langkah-langkah yang bisa diambil untuk mengurangi dominasi mereka. Pertama, kesadaran Digital. Edukasi tentang bagaimana data pengguna dimanfaatkan oleh platform sangatlah penting. Dengan memahami bagaimana data mereka digunakan, pengguna dapat membuat keputusan yang lebih bijak tentang bagaimana mereka berinteraksi dengan platform.
Kedua, regulasi. Pemerintah perlu memperkenalkan aturan yang mewajibkan transparansi algoritma dan perlindungan data. Regulasi ini dapat mencakup kewajiban bagi platform untuk memberi pengguna kontrol lebih besar atas data mereka.
Ketiga, membangun platform digital berbasis komunitas yang mengutamakan kepentingan pengguna. Misalnya, platform yang tidak mengandalkan iklan sebagai sumber pendapatan utama dapat memberikan pengalaman yang lebih adil dan bebas dari manipulasi algoritma.
Untuk menciptakan ruang digital yang lebih adil, kita perlu merebut kembali kendali atas data, interaksi, dan pengalaman digital kita. Dengan langkah-langkah seperti edukasi, regulasi, dan pengembangan alternatif, kita dapat membuka jalan menuju masa depan digital yang lebih inklusif dan demokratis.
Editor: Prihandini N