Maraknya orang Indonesia yang terjerat judi online (judol) adalah wujud kegagalan pemerintah untuk menjadi pilar pengharapan rakyat.
Judol makin hari kian meresahkan. Kini, persoalan judol menjadi prioritas utama bagi pemerintah yang mengklaim mengalami kesulitan untuk menyelesaikan masalah ini.
Setidaknya, sebanyak empat juta orang Indonesia terdeteksi menjadi pemain judol. Pemainnya pun berasal dari beragam demografi; di bawah usia 10 tahun sebanyak 80 ribu orang, usia 10-20 tahun sebanyak 440 ribu orang, usia 21-30 tahun sebanyak 520 ribu orang, usia 31-50 tahun sebanyak 1,64 juta orang, dan di atas 50 tahun sebanyak 1,35 juta orang. Dilihat dari data tersebut, besarnya jumlah generasi muda yang terjerumus ke dalamnya adalah ironi bagi bangsa yang berkeinginan bergerak maju.
Banyaknya pemain judol terus naik seiring dengan besarnya jumlah perputaran uang di dalamnya. Berdasarkan laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), uang yang berputar di ekonomi judol mencapai 327 triliun rupiah. Mengapa jumlah pemain dan uang yang beredar di dalamnya begitu besar?
Baca juga:
Jebakan Judi Online
Entah menjadi sebuah harapan atau petaka, faktanya banyak masyarakat Indonesia terjerat ke dalam ruang-ruang utopis ini. Beberapa teman yang pernah terjebak judol menyebut bahwa judol memang memiliki kekuatan untuk mengikat penggunanya. Seperti halnya narkoba, judol pun memberikan efek adiksi kepada korbannya. Alih-alih melahirkan orang-orang kaya baru, judol justru dengan senang hati mengantarkan seluruh korbannya ke jurang penderitaan.
Setidaknya, ada tiga hal yang menguatkan efek adiksi judol kepada para korbannya. Pertama adalah hope probability. Seperti halnya media sosial, judol pun selalu memberi kemungkinan-kemungkinan harapan bagi para penggunanya. Misalnya, pernahkah pembaca melihat reaksi orang-orang yang bermain judol seperti “Yahh, hampir saja!” atau “Sedikit lagi pasti menang besar ini!”? Reaksi-reaksi tersebut menunjukkan bagaimana judol selalu memberi harapan untuk menang bagi para pemainnya.
Kedua, surprise gift. Sama halnya dengan media sosial yang selalu memberi kejutan bagi penggunanya, judol pun demikian. Selain menghadirkan harapan untuk menang bagi para penggunanya, aplikasi judol mempertebal harapan tersebut dengan memberikan hadiah-hadiah kecil. Hadiah tersebut besar kemungkinan untuk memberi efek penasaran kepada para penggunanya.
Terakhir, easy to repeat. Lagi-lagi seperti halnya media sosial, penggunaan aplikasi judol terkini pun memberi kemudahan bagi penggunanya. Ditambah lagi, segala transaksi di sana dapat dilakukan secara digital. Kemudahan tidak hanya hadir dalam mengakses atau mengulangi permainan, tetapi juga dalam mengirimkan deposit—mengisi saldo akun—dan melakukan withdraw—mengambil uang yang dimenangkan.
Pemerintah Gagal Hadir
Pemerintah yang seharusnya menjadi pihak yang dapat diandalkan untuk memberi kesejahteraan rakyatnya dipandang gagal melakukan kewajibannya memberantas judol. Banyaknya orang yang terjerat judol bisa saja diinterpretasikan wujud keputusasaan rakyat Indonesia terhadap hidupnya. Semakin dalam jurang kesenjangan antara si kaya dan si miskin menjadi salah satu faktor terjadinya fenomena ini.
Ekses dari kesenjangan tersebut terlihat dari sulitnya rakyat mengakses pekerjaan, tempat tinggal, hingga pendidikan. Dari sisi pekerjaan, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa total pekerja di Indonesia per Agustus 2019 sebanyak 126,51 juta orang. Data tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok; kelompok pekerja informal dengan jumlah 70,49 juta orang dan kelompok pekerja formal yang hanya berjumlah 56,02 juta orang. Besarnya jumlah pekerja di sektor informal menandakan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia bekerja di tengah ketidakpastian, baik ketidakpastian waktu bekerja hingga penghasilan yang didapat.
Sementara itu, dari sisi pendidikan, mahalnya biaya untuk masuk ke perguruan tinggi masih menjadi PR besar bagi pemerintah. Hingga kini, pemerintah beserta para ahli terus menggodok pelbagai formula agar masalah ini selesai. Bagaimana cita-cita Indonesia Emas 2045 dapat terwujud ketika biaya pendidikan dalam negeri semakin sulit untuk diakses rakyat dengan ekonomi kelas menengah dan menengah bawah?
Baca juga:
Kehadiran pemerintah dengan mempermudah akses pekerjaan, tempat tinggal, dan pendidikan, serta memberantas judol yang mengacaukan perekonomian rakyat sangat dinanti. Bermain judol sama saja dengan berjalan di sebuah tali yang terbentang antara dua daratan. Antara selamat dan terjatuh, justru lebih besar persentasenya untuk terjatuh. Melihat banyaknya rakyat yang terjerat dalam jebakan judol, akankah Indonesia akan bergerak maju?
Editor: Emma Amelia