Peneliti di Research and Advocay in Legal Service and Expertise (RISE Institute) | Antusias berdiskusi di isu hukum khususnya hukum pidana, isu lingkungan hidup dan isu politik.

Judi Online dan Desain Kebijakan Kriminal

Daffa Prangsi Rakisa W.K

4 min read

Masifnya judi online di Indonesia menimbulkan banyak pertanyaan. Apa faktor yang membuat seseorang bermain judi online? Apa langkah yang telah dilakukan pemerintah? Lalu, sudah sejauh mana hukum pidana positif kita mampu mencegah dan menanggulangi penyakit ini?

Kasus gantung diri seorang pria di Semarang akibat frustasi setelah menghabiskan uang hasil menggadaikan sertifikat rumah untuk judi online, menunjukkan betapa kronisnya judi online menjangkiti masyarakat kita. Desakan demi desakan dilayangkan kepada pemerintah untuk segara bertindak atas fenomena kronis ini.  Sayangnya, sebagaimana kita ketahui dan rasakan bersama, penegakan hukum kerap berjalan stagnan, begitu juga yang terjadi pada pencegahan dan penanggulangan judi online. Barangkali jika bukan karena kasus tragis seorang polwan yang membakar suaminya karena terjerat judi online, pemerintah tidak akan membentuk Satgas Pemberantasan Perjudian Daring.

Kita semua tahu, persoalan judi online ini telah terjadi dalam waktu yang cukup lama. Data yang dipublikasikan Katadata menunjukkan jumlah transaksi judi online terus meningkat sejak tahun 2017 hingga 2023. Bahkan pada tahun 2023 terdapat 3,29 juta orang Indonesia yang bermain judi online dengan nilai total transaksi sebesar 327 triliun rupiah.

Baca juga:

Penyebab Judi Online

Tidak kurang-kurang riset nasional bahkan internasional membahas faktor-faktor judi online. Beberapa riset menarik menjelaskan bahwa terdapat dua faktor yang memengaruhi fenonema judi online, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kemampuan diri dan kebiasaan individu. Menurut Dominic Sagoe, dkk (2017), faktor ini mencakup kondisi mental seseorang yang sering menunjukkan mental malas, mudah berspekulasi, impulsif, dan cenderung mengambil risiko.

Di sisi lain, faktor eksternal berhubungan dengan motif ekonomi dan kesadaran hukum. Menurut Matus Adamkovic (2017), faktor ini umumnya berkaitan dengan hal-hal yang memengaruhi sikap individu tersebut, misalnya kemiskinan, tekanan ekonomi, dan kurangnya perhatian lingkungan sekitar terhadap perilaku judi. Anna Bussu (2014) menemukan temuan menarik. Ia menyatakan bahwa para pemain judi online ini umumnya berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Kelompok masyarakat ini memiliki dorongan yang sangat kuat untuk mencari keuntungan cepat dan instan untuk memenuhi kebutuhan mereka, seperti yang disebutkan Ramdani Budiman (2022) dalam penelitiannya.

Berdasarkan penelitian Febri Jaya (2023), uraian-uraian di atas dapat disimplifikasi dalam empat faktor, yakni ekonomi, lingkungan, kesempatan, dan kurangnya kesadaran individu. Saya pribadi sepakat dengan hasil riset-riset di atas. Salah satu hal yang menurut saya berperan penting dalam membentuk kesadaran masyarakat mengenai bahaya judi online ini adalah melalui pendekatan hukum.

Membentuk Kesadaran Masyarakat

Secara teoritis, sebagaimana diutarakan Roscoe Pound, hukum memang digunakan untuk melakukan suatu rekayasa sosial (law as a tool of social engineering and social control), dalam hal ini membentuk persepsi dan kesadaran mengenai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Bahkan dalam konteks yang lebih privat, seperti hukum agama, dapat membentuk keyakinan dan menjadi basis moral atas suatu perilaku.

Pertanyaan mendasarnya adalah, bagaimana peran hukum positif dalam membentuk kesadaran atau budaya hukum masyarakat? Konteks diskusi demikian, mengingatkan saya akan konstruksi teori sistem hukum oleh Lawrence Friedman yang mengutarakan hukum sebagai suatu sistem terdiri atas substansi hukum (perundang-undangan), struktur hukum (aparat penegah hukum), dan budaya hukum. Ketiga komponen tersebut sejatinya saling memengaruhi satu sama lain.

Oleh karena itu, sebagaimana telah saya singgung sebelumnya, dalam konteks membentuk budaya hukum sebagai muara atas rekayasa sosial, diperlukan substansi hukum dan struktur hukum yang mumpuni. Secara lebih teknis, diperlukan kemauan politik hukum. Uraian teoritis di atas saya maksudkan untuk membangun dasar berpikir bahwa kerja hukum tidaklah bergerak secara parsial (terpisah), tetapi secara integral (terpadu).

Desain Pencegahan dan Penanggulangan

Kembali pada bangunan sistem hukum di atas, mari kita refleksikan sejenak, apakah substansi hukum atas larangan judi online di Indonesia masih kurang memadai? Menrut saya, sebetulnya substansi hukum kita sudah memadai lewat adanya KUHP dan UU ITE. Keduanya melarang perjudian, bahkan secara spesifik judi online. Kemudian, apakah struktur hukum kita kurang lengkap? Kita tak kekurangan aparat penegak hukum. Kita punya kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Bahkan sering pula dibantu oleh lembaga seperti PPATK hingga KPK. Lalu, apakah budaya hukum kita memang menormalisasi judi? Jawabannya barangkali tidak mudah digeneralisasi. Tetapi satu hal yang perlu kita ketahui sebagai bangsa yang lekat dengan ajaran agama, judi jelas bertentangan dengan agama. Lantas di mana titik masalahnya?

Baca juga:

Ada satu teori yang jarang dibawa ke diskusi publik karena barangkali dinilai terlalu teoritik, yakni mengenai kebijakan kriminal. Saya pertama kali membaca teori ini dalam buku karya Prof. Barda Nawawi Arief (2017). Gagasan yang sangat menarik dalam buku ini adalah kebijakan kriminal memiliki tujuan untuk mencegah dan menanggulangi kejahatan, baik melalui sarana penal (hukum pidana) maupun nonpenal (selain hukum pidana). Keduanya dilakukan secara integral, bukan parsial.

Berangkat dari teori ini, saya sering melihat bahwa dalam merespons berbagai kejahatan, desain yang ditawarkan negara (karena dilakukan oleh DPR, pemerintah, dan pengadilan) umumnya tidak berjalan secara integral. Kadang hukum pidana selalu didahulukan dan dibuat sekeras mungkin agar berefek jera. Kadang langkah-langkah nonpenal ditempuh karena fenomenanya dinilai ringan. Lantas, apabila kita melihat desain pencegahan dan penanggulangan judi online, apakah desainnya sudah berjalan integral? Hemat saya, belum.

Setidaknya terdapat dua alasan yang membuat saya berargumentasi demikian.

Satu, fokus penanganan judi online umumnya hanya dilihat dari segi penegakan hukum terhadap pengguna, jarang menyasar pada para penyedia layanan. Hal ini yang marak disuarakan publik, khususnya di sosial media. Saya sendiri pernah mengalami fase ketika laman sosmed X penuh dengan iklan judi online yang diperagakan oleh selebriti nasional.

Lantas bagaimana pemerintah meregulasi hal seperti ini? Jelas, pemerintah memiliki kewenangan untuk meregulasinya, sebagaimana pernah saya tuliskan mengenai sosmed sebagai penyelenggara sistem elektronik. Lalu Anda tahu apa yang terjadi? Betul, wacana memblokir sosmed menguak dan diprotes kembali, meski syukur tidak terjadi. Pemerintah sering gagap dalam melihat akar persoalan masalah. Hal ini dalam hemat saya karena kerangka desain kebijakan kriminalnya belum integral. Fokusnya hanya pada penanggulangan. Lalu bagaimana dengan pencegahan yang butuh sarana nonpenal?

Kedua, terlewatnya upaya nonpenal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan judi online. Sebagaimana faktor internal dan eksternal dalam uraian sebelumnya, mari kita refleksikan bersama, sejauh mana peran pemerintah dalam menjangkau lapisan-lapisan faktor dalam membentuk kebiasaan individu, meningkatkan taraf ekonomi, hingga menutup kesempatan orang bermain judi online? Misal seperti wacana bansos bagi “korban” judi online yang justru menimbulkan polemik. Di sinilah, titik kekurangan pemerintah yang berpikir parsial dan rasanya belum optimal dalam melihat judi online sebagai suatu keresahan sosial (social malaise), yang dapat dicegah dan ditanggulangi berdasarkan bantuan ilmu pengetahuan.

Baca juga:

Scientific Temper melalui Pendekatan kebijakan Kriminal

Tawaran penggunaan kebijakan kriminal dalam pencegahan dan penanggulangan judi online saya nilai semakin mendesak. Pemerintah sangat perlu mengedepankan perangai ilmiah (scientific temper). Inilah fungsi sesungguhnya keberadaan ilmu hukum, kriminologi, bahkan ekonomi. Oleh karena itu, praktis saja, saya menawarkan sejumlah kerangka kebijakan kriminal yang barangkali dapat membantu arah kebijakan pecegahan dan penanggulangan judi online ke depan.

Pertama, diperlukan pelibatan aktif akademisi di bidang yang relevan sehingga dapat diselenggarakan riset-riset yang relevan sebagai basis pengambilan kebijakan nasional. Apakah kita tahu persis secara empirik faktor yang melatarbelakangi kebiasaan masyarakat kita? Banyak data penting yang masih tersimpan rapat bagai pandora box. Oleh karenanya peran akademisi penting untuk mengungkapkan data-data ini.

Kedua, pemerintah perlu membuat peta jalan pendekatan kebijakan kriminal yang komprehensif dan integral. Perlu diukur secara akurat bagaimana dampak digunakannya pendekatan hukum pidana dan di saat bersamaan perlu juga ditimbang apakah upaya-upaya nonpenal seperti edukasi berjalan dengan efektif. Pernahkah Anda melihat iklan lucu perihal manfaat menghindari alkohol yang disiarkan di Thailand? Hal-hal sederhana seperti ini sejatinya merupakan langkah nonpenal yang dapat membantu membentuk persepsi masyarakat.

Ketiga, kerangka desain kebijakan kriminal di atas penting untuk ditujukan demi membentuk budaya hukum masyarakat sebagai muaranya. Kualitas pembentukan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik perlu dijaga melalui partisipasi yang bermakna, dan integritas aparat penegak hukum perlu ditingkatkan. Jangan sampai kita malah melihat para oknum penegak hukum ikut-ikutan bermain di lingkaran setan judi online!

 

Editor: Prihandini N

Daffa Prangsi Rakisa W.K
Daffa Prangsi Rakisa W.K Peneliti di Research and Advocay in Legal Service and Expertise (RISE Institute) | Antusias berdiskusi di isu hukum khususnya hukum pidana, isu lingkungan hidup dan isu politik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email