Di Udara

Jagad Wijaksono

2 min read

Kilat mengubah warna langit yang abu-abu jadi bercahaya. Dua petir adu cepat mencari mangsa. Petir pertama menghantam sebuah pesawat hingga terbelah dua, suara gemuruh dan langit sebentar berubah warna menjadi merah muda. Petir kedua kecewa merasa tak lagi dibutuhkan dan terpaksa terjun ke bumi tak mengenai apa-apa.

***

Seorang tukang jam memulai pembicaraan sambil menatap langit yang berwarna abu-abu. Tubuhnya basah kuyup terhantam gerimis yang turun seperti tangis, “Jamku mati,” katanya, “boleh aku tahu jam berapa sekarang?” Ia risau, tak pernah sekalipun seumur hidupnya ia tak tahu waktu.

“Maaf, aku rasa jamku pun mati, jarumnya tak bergerak sama sekali,” jawab lelaki di sebelahnya. Mereka berdua menatap langit yang sama, tubuh keduanya basah kuyup di bawah gerimis yang ritmis. “Terakhir kukira jarum jamku menunjuk pada angka 7 dan 12,” lanjut lelaki itu.

“Jam 7 malam,” sahut Si Tukang Jam pelan. “Apa semua ini benar-benar terjadi?” lanjut Si Tukang Jam setelah beberapa saat terdiam, ia berharap semua yang ada dalam pikirannya hanyalah mimpi. Lelaki kedua hanya menggeleng, memilih pura-pura tidak mengerti.

“Tenang, semuanya akan berjalan sesuai dengan apa yang seharusnya terjadi. Tak usah kalian khawatirkan takdir kita” tiba-tiba muncul suara dari seorang di ujung kanan. Lelaki itu berbaju serba putih, mungkin ia seorang pemuka agama.

Si Tukang Jam dan lelaki kedua serempak menjawab “Justru itu yang aku khawatirkan,” suara kedua lelaki tersebut terdengar lirih di antara suara riuh yang terdengar tak jelas di telinga mereka masing-masing.

Kini ada tiga orang lelaki menatap langit abu-abu dengan tubuh yang basah kuyup terhantam gerimis yang puitis.

***

Di sisi yang lain seorang perempuan bertanya, “Menurutmu akan ada di mana kita besok pagi?” Ia selalu bangun tepat waktu, menjelang subuh ia akan terbangun dan memulai aktivitas, mulai dari meminum segelas air putih, berwudu, salat, hingga menyelesaikan pagi dengan berangkat menuju tempat kerja setelah sebelumnya melakukan olahraga ringan, biasanya ia melakukan yoga. Sekarang takdir membawanya berada di bawah gerimis, perasaan perempuan itu tak enak. Ia gelisah, karena tak tau esok akan menjadi seperti apa, ia takut semua yang telah direncanakannya akan gagal.

“Aku tak tahu.” jawab seorang Mahasiswa di sebelahnya, ia tak begitu peduli dengan perasaan perempuan di sebelahnya. Anak muda itu gelisah, karena besok ia tak dapat bertemu dengan kekasihnya, ia merogoh-rogoh saku pakainnya mencoba mencari ponselnya yang hilang entah ke mana. Mereka semua menatap langit abu-abu dengan tubuh basah kuyup terhantam gerimis yang menghantam mereka, sinis.

***

Di antara percakapan itu, ada seorang Ibu yang bertanya pada seorang pramugari berseragam merah muda, “Nona kapan kita akan sampai?”

“Perjalanan kita telah selesai, Bu,” pramugari itu, wajahnya sedikit pucat. “Namun, tampaknya kita tak akan pernah sampai ke tujuan” lanjutnya. Ibu itu merengkuh tubuh anaknya yang ringkih, menjaganya dengan peluk yang paling dekap. Berusaha menghindarkan anaknya dari terpa gerimis.

“Kita akan terus bersama-sama, sayang.” Seru si Ibu sambil mengecup kening anaknya yang menangis sesenggukan.

Mereka semua basah kuyup terhantam oleh gerimis yang magis.

***

Mereka serupa layang-layang yang kehilangan benang. Mengambang di antara gerimis yang semakin jalang. Perlahan-lahan mereka mulai sejajar dengan puncak gunung semakin lama mereka mulai sejajar dengan pucuk gedung.

Masing-masing mereka sibuk oleh kekhawatiran yang asing. Dalam kepala, mereka mulai menerka akan berakhir di manakah perjalanan ini? Mereka tak siap menemui apa yang tak pernah mereka nanti. Mereka mulai sibuk dengan isi kepalanya sendiri-sendiri.

Semakin lama mereka mulai sejajar dengan suwung rumah, semakin mendekat pada hamparan tanah. Gerimis yang menghantam benda juga tubuh mereka berubah menjadi tangis.

Rintik yang jatuh menguarkan bau tanah yang basah. Gerimis yang magis menuntun mereka ke dalam senyap yang semakin lesap. Mereka hanya mendengar gemuruh, lalu hanya bunyi yang lebih hening dari sunyi. Semua yang mereka lihat mulai redup, perlahan mata mereka mengatup. Mereka dibawa sampai di pendaratan yang lain, pendaratan terakhir bagi manusia.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Jagad Wijaksono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email