milik rahasia
malam melihat kita sebagai rahasia
sungguhpun begitu–
di depan matanya;
cinta mengakui ia milik siapa
–
pulau merak kecil
kepada a.n
lembayung asap pabrik
terminal kilang minyak
dari pulau merak kecil
perahu-perahu kecil
tongkang & feri
bau solar bensin
tiket masuk uang parkir
biaya kebersihan & keamanan
sewa tikar & perahu
ombak kecil, plastik-
karang, foto estetik
orang-orang & kerikil
menghalang langkah &
pandang lautan
mataku memandang luas laut lain
di atas pasir katakanlah putih
sebelum gelap kubayangkan
apakah Sukab masih ingin
memotong senja
untuk Alina pacarnya
atau Chairil & perempuannya
yang iseng sendiri di depan cermin
telah sampaikah ia bertaut
setelah maut, berpangku
peluk cintanya, & tiada lagi
ia sendiri
semesta memang masih mengembang
tapi segala kemungkinan
tak pernah sampai padamu
sebab nasibku sudah ditentukan
setiap sore sebelum tenggelam
langit membayang wajahmu
kucukupkan hari
mengecup ingatan
manis bibirmu
bagaimanapun aku masih ingin mencintaimu
meski dengan kemelaratanku, & kata-kata banal
yang berserakan kupungut jadi puisi yang jelek saja belum
& kukirim padamu malam nanti tanpa nama
–
ikan-ikan di kolam
ketika cahaya bulan tumpah
di permukaan, & mencari
celah di antara gugur daun-daun
pada malam berhujan–
adakah kecemasan timbul;
meluap atau tenggelam
waktu mengira-ngira luas
kebebasan—dinding
kolam, & yang berkaca pada langit
ada kau duduk diam di beranda
dingin memerhatikan, menembus
batas pandang, segala hal
yang tak dapat ditangkap mata
dibiarkan berenang-renang
di dalam hatimu
–
kematian yang lain
tanpa keraguan, ia naik menuju mimbar kematiannya menghitung anak tangga sampai berkurang setiap kemungkinan-kemungkinan, sehingga tidak ada lagi yang tersisa selain kepalanya yang terputus menggelinding dari gilotin & bahwa ia kemudian merasa segalanya tampak bening & amat pasti. ya, inilah langit terakhir di sinilah batas sang kehendak menciptakan rantai penderitan, tidak perlu kronometer untuk mencatat sebab degup jantungnya mewaktu. ia melampaui yang lalu, kini & nanti. berita kematian dari pengeras suara atau obituari di pojok koran pagi & ode untuk orang mati, altar atau dupa, hymne atau doa-doa—tidak sama sekali. & bahwa inikah kematian itu, entah dari mana hendak ke mana, di mana, kapan, bagaimana & mengapa—sekali lagi tidak, pertanyaan menjadi tidak begitu penting saat ini, kenyataanya tetap sama: kematian sudah menjadi miliknya sendiri. tidak ada eskatologi, hanya tersisa satu kekhawatiran, ia berharap pisau itu tidak tumpul & kematiannya menjadi sempurna. meski satu-satunya pertanyaan yang mengusiknya adalah ketika algojo menarik tuas itu apakah ia bisa mendengar bunyi kepalanya sendiri sebelum sampai jatuh ke tanah, dibayangkannya seperti jari-jari pada tuts piano yang tidak peduli aturan tangga nada atau keinginan menjadi musik tertentu. satu-satunya, hanya masa lalu yang menyadarkannya bahwa ia terlempar begitu saja ke dalam dunia & ada perasaan ingin kembali pada mula sebelum keterlemparannya, akankah di sana ia berada. o, yang kita sebut tuhan itu, maukah. mengapa kau ambil apa yang tidak ia minta—hidup. apakah di sana segala jawaban tidak memerlukan pertanyaan; diri, sebelum zaman azali!
*****
Editor: Moch Aldy MA