Kepergian penyair kondang Soni Farid Maulana meninggalkan kenangan mendalam. Sebagai pembaca puisi-puisinya, saya pun merasakan getaran duka itu seperti saat saya pertama kali membaca puisi-puisi mautnya.
Saya mengenal nama Soni Farid Maulana ketika masih kuliah sekitar tahun 2018 melalui buku akademiknya Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi (2015). Proses perkenalan tersebut berlanjut ketika saya mencoba membaca puisi-puisinya dalam buku kumpulan puisi yang diterbitkan oleh penerbit Kiblat: Pemetik Bintang (2008), Opera Malam (2008), dan Peneguk Sunyi (2009). Melalui kumpulan puisi dalam ketiga buku tersebut, saya pun menyimpulkan bahwa sentuhan taktil dari puisi-puisi Soni memang begitu kental dengan corak sufistik. Kemudian proses perkenalan saya yang sebatas melalui karya-karyanya itu terus berlanjut sepanjang saya mempelajari puisi-puisinya.
Dari beberapa media, saya mendapatkan kabar duka yang menyebut penyair dan mantan wartawan Pikiran Rakyat tersebut telah berpulang ke pelukan Tuhan pada hari Minggu pagi, 27 November 2022, tepat saat fajar menyingsing di ufuk timur.
Ada satu hal yang tidak akan dilupakan dari sosok Soni sepanjang pembacaan saya terhadap pemikirannya, penyair asal Tasikmalaya ini pergi tidak hanya meninggalkan kenangan berupa puisi-puisi, melainkan juga pelajaran berharga secara kolektif bagi warga sastra tentang teknik menulis puisi.
Baca juga:
Warisan Menulis Puisi
Salah satu pelajaran berharga yang digagas Soni dan akan menjadi warisan kolektif tersebut adalah metode menulis puisi dengan gaya Sonian. Istilah ‘Sonian’ diambil dari namanya sendiri. Metode gaya Sonian ini merupakan teknik menulis puisi Indonesia yang terdiri empat larik per bait dengan mengacu pada pola 6-5-4-3 suku kata per lariknya.
Gagasan dan bentuk puisi gaya Sonian ini pertama dikenalkan oleh Soni pada akhir tahun 2014 dan dipublikasikan melalui media sosial Facebook dan koran Pikiran Rakyat pada awal tahun 2015. Kemudian, seiring berjalannya waktu puisi Sonian semakin berkembang hingga menyebar ke Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Beberapa puisi yang dibentuk dalam gaya Sonian dan ditulis oleh Soni sendiri bisa kita cerap dalam buku kumpulan puisinya berjudul Ranting Patah (Basabasi, 2018) seperti pada puisi “Kubur”, “Sedalam Kalbu”, “Rohingya”, “Dermaga”, dan “Paris”. Di sini, saya akan mencoba mengutip keseluruhan puisi yang berjudul Paris:
/1/
Sedingin uap es
dalam kulkas; kau
peram aku
o, Paris.
/2/
Koak burung gagak
mengguncang kota.
Maut datang
mengincar.
2016
Pada puisi di atas, kita bisa perhatikan bentuknya: Sedingin uap es (6 suku kata), dalam kulkas; kau (5 suku kata), peram aku (4 suku kata), o, Paris (3 suku kata). Begitu pun dengan bait kedua, memiliki bentuk dengan jumlah suku kata yang sama.
Kemudian, jika dibaca secara sekilas puisi Sonian ini terkesan pendek. Tapi, jika dicerap maknanya, sentuhan daya ungkapnya akan terasa sangat bernas dan menghunjam, makin ke bawah makin menajam. Hal tersebut bisa kita telaah dalam puisi Paris. Gambaran maut di sana seakan ditarik ke bawah melalui transisi dari bait satu menuju bait kedua dengan ketajaman larik per larik yang semakin meruncing, seakan maut senantiasa mengintai dan akan menikam.
Selain itu, dalam puisi Sonian, meski penulisannya pendek, ini hukan hal yang mudah. Pada titik inilah bagi saya letak tantangan menulis puisi Sonian. Proses menulis puisi Sonian perlu perbendaharaan kosakata yang luas serta kejelian dalam memaknai kata per kata, sebab makin ke bawah, kata-kata yang dituliskan makin sedikit. Dan menurut Soni, penulisan tersebut dimaksudkan agar puisi yang ditulis dalam bentuk ini tidak buyar. Dengan demikian kontemplasi pengalaman batin yang ingin diekspresikan oleh penyairnya tetap menjadi fokus utama.
Hal itu juga kerap diungkapkan oleh Soni dalam bukunya Apresiasi dan Proses Kreatif Menulis Puisi secara universal, bahwa ketajaman sebuah puisi akan sangat bergantung pada pengolahan kata, makna, dan pengalaman penyairnya. Komponen dari ketiga hal tersebut bisa kita baca melalui puisi-puisinya yang memang kerap menggambarkan pengalamannya sendiri yang kerap membicarakan maut seperti pada beberapa puisi Sonian yang pernah terbit di media online basabasi.co berjudul “Amsal Maut”, “Mesir”, dan “Bukit Bintang”. Di sini saya akan menukil dua bait pertama dalam puisi “Amsal Maut”:
1
maut tarik jangkar
kapal melaju
bulan pucat
di kiblat
2
saat disalatkan
bayangan kenang
melintas. Kau
di batin
…
2015
Nukilan dua bait pada puisi Sonian di atas mendapatkan daya ungkap yang padat dengan kekayaan kata-kata penuh makna dan konkret. Setiap kata per kata dipertautkan dengan koherensi dari larik per larik yang ajeg. Hal tersebut dapat diperhatikan secara seksama melalui keberlanjutan antar bait pertama dan bait kedua. Kontinuitas yang ditawarkan dalam kedua bait tersebut tidak menghilangkan imaji dan makna meski hanya sekata. Apalagi gambaran sunyi dalam puisinya makin menerka kenangan masa lalunya, sebab puisinya memang ditulis sebagai perjalanan mengingat saat ibunya telah tiada.
Kesunyian ingatan duka tersebut kemudian menjadi begitu bening saat Soni menutupnya dengan kepadatan komposisi kosakata ‘kubur’, ‘bunga’, ‘doa’, dan ‘melangit’ melalui bait: dan lobang ditutup/ kubur bertabur/ bunga. Doa/ melangit.
Terkait dengan penulisan puisi melalui gaya Sonian, bagi saya ini menjadi satu pelajaran menarik yang patut dicoba. Metode ini juga perlu diperbincangkan sebagai sepak terjang sepanjang perjalanan pemikiran Soni Farid Maulana di ranah perpuisian Indonesia. Menulis puisi gaya Sonian ini secara tidak langsung juga akan mengasah perbendaharaan kosakata sekaligus mengolah pengalaman personal penyairnya hingga menghasilkan pemaknaan puisi yang padat, tajam, dan jernih.
Begitulah gaya Sonian. Selebihnya, sebagai penyair, kepulangan Soni akan senantiasa saya kenang melalui puisi-puisinya itu: puisi-puisi sufistik yang tajam, menyentuh, dan melembabkan relung kesunyian manusia yang kian hari kian mengering. Seperti pada puisinya, yang seringkali mengungkapkan perihal maut, ia menulis: … bahwa aku akan mati,/ seperti bangkai dedaunan/ di atas tanah berlumpur./ sekali lagi, aku begitu sabar,/ sebab cahayaNya semata,/ yang aku tunggu.
Dan kini cahaya yang ditunggu itu telah merengkuh ruhnya layaknya penantian maut dalam puisi “Musim Gugur” itu. Selamat jalan penyair! Selamat bersanding dengan Tuhan Yang Maha Puitis.