Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Kunang-Kunang di Jendela

Rafael Yanuar

5 min read

Setelah hampir setahun terlelap dalam tanah, akhirnya aku terlahir di dunia, sebagai kunang-kunang yang mengemban cahaya hingga akhir hayatnya. Tak lama, memang, hanya satu minggu. Di rimba yang kelam, tempatku menghabiskan hidup, dahan-dahan berkelindan, begitu sukar ditembus cahaya. Siang hanya pendar hijau nan muram. Malam hampir tanpa penerangan. Namun, entah mengapa para penghuninya begitu gemar berpesta. Seisi hutan tak kunjung jenuh merayakan segalanya.

Lihat saja, malam masih muda ketika jangkrik dan tonggeret bertukar dering. Burung-burung berkicau nyaring seiring koor yang dibawakan katak-katak di bebatuan sungai. Para arwah yang biasa bersembunyi saat hari masih terang, datang dan menari di antara pusara-pusara tua. Pepohonan pun tak mau kalah, seolah hendak menyentuh rembulan, mereka menjulurkan dahan setinggi mungkin, meski malah membuat daun-daunnya semakin rumit berkelindan. Suasana begitu riuh penuh canda. Tupai-tupai bergerak cepat di ranting. Elang dan kondor terbang memutar dengan sayap yang hampir tak mengepak. Peri-peri berterbangan dengan serbuk bintangnya. Hutan yang tadinya senyap dan gelap mendadak jolak sarat gelak. Segera saja aku memutuskan pergi, jauh dan jauh dan jauh dan jauh.

Aku ingin menghabiskan sisa hidup yang tinggal sedikit ini dalam keheningan saja. Dan aku begitu lega ketika, setelah payah menerobos rapatnya dedaunan, suara terakhir akhirnya lenyap; lalu senyap, yang aku rindukan sepenuh hati, seketika menyergap udara. Untuk kali pertama aku melihat, di balik hutan, terbentang langit yang luasnya tak bertepi. Di sana, terpacak sendirian, termangulah dia rembulan yang sepi, berkilau dengan cahaya yang sepi, bersenandung dengan nada yang sepi.

Hai, Bulan.

Hai, Kunang-Kunang. Mau ke mana?

Entahlah. Aku ingin berkelana, tapi tak tahu ke mana harus menuju.

Bulan tertawa dan membuat Malam yang nyaman dalam tidurnya sedikit terkejut. Jika tak memiliki tujuan, ke mana pun kau pergi, kau tetap akan sampai.

Benar juga. Aku mengucapkan terima kasih, lalu pergi mendahuluinya. Dia kembali bersenandung dengan nada yang lebih sepi daripada sebelumnya.

Setelah terbang cukup jauh, di sudut jenggala, aku melihat rumah yang tak terlalu besar. Kecuali lampu redup yang terkantuk-kantuk di beranda yang sarat daun gugur, rumah itu nampak damai dan tenang dalam kesendiriannya. Kata para peri, sarang-sarang Manusia sama sekali tak indah. Namun, yang kini ada di hadapanku berbeda, seperti tak terpisahkan dari alam. Aku melambatkan kepak, lalu turun untuk mengintip jendelanya, tetapi terhalang tirai, lalu duduk di depan pintu dan terpaku menghadap langit. Bulan masih berpendar tanpa berkedip. Di antara gemerisik dedaunan yang bergoyang dimainkan angin, telingaku mendengar serangkaian nada yang lembut. Mungkinkah pestanya meriah sungguh, hingga riuhnya menggema jauh? Namun, mengapa suaranya begitu dekat, begitu jernih, seolah tak berjarak?

Aku terbang seraya menajamkan telinga dan menginsafi ternyata suara itu berasal dari rumah ini. Aku pun melipat sayap, lalu duduk di balik jendela. Larut dalam lamunan, aku hampir jatuh terlelap. Lelah tiba-tiba menguasai sekujur badan. Sekalipun tak menyukai keramaian, entah kenapa aku menikmati melodi yang dimainkan rumah ini. Ketika mataku hampir mengatup, sosok yang begitu anggun berjalan di ambang hutan. Setiap langkahnya hening; meninggalkan tetesan cahaya yang berkilauan di belakangnya. Dia melihatku dan meletakkan jari di bibir seraya tersenyum, lalu bersandar di sebelahku. Hai, kunang-kunang, sapanya.

Hai. Siapa kau?

Aku Maut. Aku bertugas mengantar makhluk-makhluk menyeberangi jembatan.

Aku diam karena tak mengerti. Jembatan apa?

Jembatan yang menghubungkan dua dunia—sini dan sana, dia menunjuk langit. Atau lebih tepatnya—dia menurunkan lengannya lalu menyentuh dadanya —di sini. Kembali ke jantung alam.

Oh, aku paham. Tak, aku tak paham, sebenarnya. Aku hanya sok pintar.

Kita pernah bertemu sebelum kamu dilahirkan. Sayang sekali kaummu semakin jarang terlihat.

Tentu saja. Bumi bukan lagi tempat yang ramah bagi kami. Rawan polusi. Banyak di antara kami mati dan membusuk sebelum sempat terlahir di dunia. Hanya tersisa sedikit pohon dan lebih sedikit hutan. Sungai-sungai beracun. Embun hampir punah. Aku tahu karena seisi rimba selalu mengeluhkannya.

Tapi bukan denganmu aku hendak berurusan, melainkan dengannya, kekasih tua yang pandai berpiano. Dia benar-benar lihai, bukan?

Piano?

Maut memainkan jemarinya seolah menekan sesuatu. Piano, musik yang kaudengar.

Tapi, mengapa dia masih memainkannya? Sudah tak ada artinya, bukan? Sebab sebentar lagi kaujemput dia menuju alam seberang.

Teman bicaraku hanya diam dan memejamkan mata, seolah begitu menikmati lantunan musik yang menggema dalam kesunyian. Tentu saja ada. Kemampuan kita memberi artilah, yang berarti, katanya, masih dengan mata terkatup.

Sekarang akulah yang diam. Karena tubuhku begitu lelah, aku tak mampu menahan kantuk. Mataku terkatup tanpa dapat ditunda lagi. Aku jatuh dibuai nada yang dimainkannya. Dalam, dan semakin dalam. Dan akhirnya, tidur mengecup keningku.

Esoknya, saat aku membuka mata, fajar sudah menyingsing di ufuk. Kilaunya menembus kelopak mata. Aku memandang terbit matahari seraya meregangkan sayap. Maut yang semenjak malam menemaniku, mengenakan tudungnya, lalu bangkit berdiri tanpa mengucapkan sepatah pun kata. Dia berjalan menjauh; menjadi cahaya yang lenyap bersama malam.

Sampai jumpa nanti malam, katanya.

Aku membalasnya dengan senyuman. Sampai jumpa.

Di balik ilalang, aku mencari tempat tersembunyi untuk menghabiskan siang.

Malamnya, seraya menunggu Maut yang tak kunjung datang, di balik suara kersik dedaunan, lagi-lagi aku mendengar denting piano. Seperti kemarin, dia—kekasih tua yang aku tak tahu namanya, memainkan lagu yang begitu lembut dan tenang. Aku memejamkan mata. Tubuhku sudah tua, meski usiaku baru lima hari. Sesudah meminum embun yang berkilau jernih di rahim ilalang, aku duduk di jendela, mencari tempat nyaman untuk lelap.

Untuk masa hidupku yang singkat, satu jam bagimu sama dengan berbulan-bulan bagiku. Takdirku di dunia sangatlah singkat. Hanya tujuh kali terbit matahari. Jarang sekali kami mendapatkan lebih. Di mataku, malam tak habis gelap dan hari bergerak begitu lamban. Dan saat matahari akhirnya muncul di ufuk, rasanya aku sudah melewati waktu yang sangat panjang.

Hai, kunang-kunang, sapa Maut.

Saat aku membuka mata, dia sudah berdiri di sampingku—entah sejak kapan. Sepertinya aku tertidur cukup lama sebab tak lagi mendengar senoktah pun nada. Hening semata. Burung layang-layang terbang rendah di ranting, menghindari elang yang berputar-putar di angkasa. Tupai-tupai berlari di antara dahan. Aku memandang bulan yang bulatnya tak sempurna, tak seperti semalam lalu.

Hai. Aku berjalan lunglai dan membuka sayap. Tak lupa menajamkan pijar.

Kau mau pergi? Dia memandangku, lalu bangkit berdiri, membersihkan debu di gaunnya yang tak berdebu.

Mau ikut?

Boleh?

Tentu saja.

Dan kami pun melambung bersama. Aku memandang rumah di sudut jenggala, lalu mengepakkan sayap menuju gemintang. Maut mengikuti di belakang. Kami terbang cukup jauh tanpa mengucapkan sepatah pun kata. Saat menyadari dia di sisiku, entah kenapa, rasanya aku tak lagi takut pada apa pun dan mampu melampaui segalanya.

Kapan kau hendak menyeberangkannya—kekasih tua yang pandai berpiano itu? Aku mulai menyukainya, pedahal tak pernah sekali pun bersitatap dengannya.

Sebentar lagi. Dan sebentar lagi jua, kalian akan bertemu.

Aku tahu.

Kunang-kunang selalu tahu.

Tak. Aku tak selalu tahu. Sejauh apa kepak sayap membawaku, misalnya, aku sama sekali tak tahu. Tapi akhirnya aku tahu, di balik awan hanya ada lapangan mahaluas yang teramat putih. Bintang-bintang berkilau bagai denyut jantung—atau percik darah, barangkali? Aku diam di udara dalam ketakjuban, Maut berdiri di sampingku.

Apa yang kaulihat, kunang-kunang?

Waktu.

Yang tak bergerak?

Yang tak bergerak.

Dan begitulah, kami terbang hingga matahari terbit di timur. Namun, sementara aku melayang turun, Maut pergi menghampiri setitik cahaya nila di ufuk.

Pulanglah, kunang-kunang. Waktumu belum tiba. Jangan mengikutiku. Dia menghilang di antara gemawan, meninggalkan serbuk cahaya yang berguguran jadi gerimis di kota kelabu yang merindukan hujan. Di hatiku dia berkata, lembut seperti biasa. Sampai jumpa nanti malam.

Sesampainya di sudut jenggala, aku kembali duduk di jendela dan meredupkan pijar, seolah di sanalah rumahku yang sejati. Aku terlelap di bawah daun kering yang bergeming di bingkainya.

Hai, kunang-kunang, Maut datang sesaat sebelum Malam membentangkan gaun hitamnya yang anggun. Matahari bahkan masih menyisakan pijar di sebelah barat dan langit masih dipenuhi semburat merah. Aku menyalakan pendar dan menyambutnya.

Hai.

Namun, dia tak duduk di sampingku seperti biasa, tetapi masuk menembus dinding. Aku tak mendengar suara piano ketika seharusnya aku mendengarnya. Cuaca mendadak hening tanpa sehelai pun daun berbisik. Saatnya sudah tiba, rupanya. Akhirnya sang kekasih sampai jua pada kata cukup. Lama sudah Maut lenyap di balik dinding. Ketika kembali, dia membuka pelan-pelan tangannya yang tertangkup seolah berdoa. Seekor kunang-kunang lain terbang melalui celah jemari. Aku memandangnya takjub.

Hai, kunang-kunang, sapa kunang-kunang di tangannya. Tapi ternyata dia bukan kunang-kunang. Aku memandang Maut penuh tanya.

Kau baru melihat jiwa, sayangku. Dia kekasih tua yang kita dengar pianonya setiap malam.

Aku menatapnya lembut. Aku menyukai musik yang kaumainkan.

Meskipun sosoknya hanya kilasan cahaya, aku dapat merasakan senyumnya. Terima kasih. Aku tak menyangka ada yang mendengarnya, dan dia melayang pelan di udara. Kalau mau, ikutlah bersama kami.

Aku menyalakan pijar dan terbang di sampingnya. Maut tersenyum dan menyusul kemudian.

Keesokan pagi, semenjak matahari membuka mata, hujan turun rapat dan belum ada tanda-tanda berhenti. Orang-orang berbaju hitam datang dan pergi silih berganti. Payung-payung kelabu dibiarkan tergeletak di halaman. Namun, akhirnya sunyi datang juga, menyisakan sebuah rumah yang bergeming di sudut jenggala. Di dalamnya, ada jasad seorang pria tua yang dibaringkan di samping pianonya. Dia menjalani hidupnya dalam kesendirian, tapi bukan kesepian karena hatinya dipenuhi kenangan. Di pintu jendela, seekor kunang-kunang padam selamanya.

Ketika malam tiba, Maut datang lagi, lalu bersandar di beranda. Dengan mata terpejam, dia meluruskan kaki, lalu berbisik lirih. Sepi, ya. Tak ada yang menjawab.

Dunia tak kehilangan apa-apa. Bumi berputar seperti biasa.

(Cirebon, 12 Maret 2020)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Rafael Yanuar
Rafael Yanuar Seorang suami yang mencintai istrinya. Seorang ayah yang menyimpan kebahagiaan di mata buah hatinya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email