Masa Depan Jejepangan dan Runtuhnya Imperium Roma

Gloria Bayu Nusa Prayuda

5 min read

Mungkin agaknya berlebihan jika saya menyandingkan keruntuhan imperium dengan suatu aktivitas komunitas. Tetapi, izinkanlah saya menjajarkan keduanya untuk menunjukan suatu bentuk perubahan. Jika hancurnya Roma mengisyaratkan suatu bentuk kejatuhan imperium, suatu keruntuhan peradaban yang menghasilkan budaya yang terpreservasi hingga hari ini, yang masih mendatangkan ratapan, kekecewaan atau penolakan atas fakta tersebut, maka marilah kita melihat kematian event Jejepangan sebagai suatu bentuk kegelisahan atas nilai-nilai Jejepangan yang mulai terdegradasi, dan mungkin suatu ratapan atasnya.

Event atau festival atau matsuri (祭) dalam konteks ini adalah acara yang mempertemukan sesama penghobi kebudayaan Jepang, baik budaya populer seperti anime dan game, atau apresiasi budaya klasik Jepang. Seiring dengan menjamurnya budaya populer Jepang, maka event Jejepangan identik dengan kegiatan-kegiatan yang melibatkan penghobi secara langsung, seperti kegiatan cosplay, penampilan idol,  dan lain–lain. Di kota-kota besar, event Jejepangan merupakan salah satu medium perputaran uang, mengingat banyaknya populasi otaku atau penghobi anime, game dan musik Jepang. Bahkan, event Jejepangan menjadi agenda rutin yang diadakan tiap bulan, untuk mengakomodasi minat pegiat kegiatan tersebut. Lantas apakah yang membuat esensinya hilang? Apakah event Jejepangan sekarang masih layak disebut “event Jepang”? 

Normalisasi dan Hilangnya Gatekeeping

Ketika budaya populer Jepang mendunia, setidaknya pada akhir 90 an hingga awal 2000an, masyarakat cenderung mengasosiasikan pegiat budaya populer Jepang sebagai “subaltern” yang identik sebagai sampah masyarakat yang freak atau cabul, korban rundung yang lemah dan tidak tahu bergaul. Istilah otaku misalnya, merupakan istilah peyoratif yang merujuk pada orang-orang yang menarik diri dari lingkungan sosial dan memilih hidup di depan layar komputer, menghabiskan hari-harinya berselancar di sosial media sambil mengkonsumsi anime, video game atau musik.

Bahkan kajian otaku oleh para peneliti, seperti Hiroki Azuma didominasi oleh paradigma psikoanalisis Lacanian atau strukturalisme. Keduanya, sama-sama menitikberatkan pada kecenderungan parafilia kelompok otaku, yaitu penolakan bersosialisasi dengan wanita dan memilih tokoh anime sebagai waifu atau pacar virtual mereka. Presuposisi atau imaji pikiran terhadap tabiat otaku, baik dari ahli sosial ataupun masyarakat awam membuat kelompok ini, bahkan budaya Jepang itu sendiri menjadi remeh. 

Selain identitas otaku yang mengalami asosiasi makna yang jelek, terdapat suatu ungkapan lain dengan konotasi hina bagi pegiat Jejepangan, yaitu istilah wibu. Berdasarkan situs Urban Dictionary, Pada awalnya, wibu merupakan istilah yang merujuk pada pegiat Jejepangan yang menjengkelkan, mencampuradukkan bahasa Jepang dengan bahasa sehari-hari, dan sering merasa superior terhadap pengetahuan Jejepangannya. Hal ini kemudian membuat para pegiat Jejepangan kala itu enggan disebut sebagai wibu, dan lebih memilih membuat komunitas yang eksklusif sehingga aman dari rundungan dan cemoohan orang lain, atau yang disebut dengan gatekeeping

Semua berubah saat pandemi Covid-19 berlangsung. Kebiasaan otaku yang dianggap pecundang oleh masyarakat menjelma jadi kebiasaan sehari-hari: duduk di depan komputer dan berinteraksi secara online. Entah ini karma Tuhan Yang Maha Esa atau bukan, tetapi normalisasi kebiasaan baru ini membuat semua orang mengarungi lautan informasi dunia maya yang luas dan menemukan hiburan Jejepangan beserta komunitas di dalamnya. 

Layaknya superstisi, otaku seakan-akan merupakan suatu sinyal yang menandakan nasib kehidupan masyarakat sekarang: hal yang dulu dicerca menjadi normal Sekarang menonton anime, melakukan kegiatan cosplay atau mendevosikan diri sebagai wota atau fans suatu grup idol bukanlah hal tabu lagi. Memakai bahasa Jepang yang dicampur-campur bukanlah hal yang cringe dan membuat bulu kuduk merinding, dan istilah wibu menjadi lebih moderat: semua orang bisa menepuk dada sambil mendeklarasikan dirinya adalah wibu

Tetapi di sinilah petaka dimulai, layaknya tentara Roma yang membuka lebar-lebar gerbang sehingga orang-orang Goths menjarah ibu kota mereka, hilangnya gatekeeping komunitas justru mendatangkan problematika baru sebagai babak selanjutnya dari normalisasi minat tersebut. Semakin banyak partisipasi orang-orang dalam kegiatan Jejepangan, termasuk event-event Jepang, semakin banyak problematika di dalamnya, semakin hilang esensi dari event Jejepangan.

Globalisasi anime 

Anime bukan hanya suatu tontonan, manga bukan hanya komik yang dibaca dari kanan ke kiri, dan grup idol bukan hanya hornybait untuk bujang-bujang lapuk. Semuanya adalah fashion, semuanya adalah mode, bahkan lebih naif, adalah ideologi. Setelah arus informasi menjadi masif, budaya populer Jepang bukan hanya dikonsumsi oleh orang Jepang atau kultus otaku saja, melainkan menjadi konsumsi seluruh orang di seluruh belahan dunia. 

Baca juga:

Beberapa perusahaan multinasional, seperti Netflix kemudian melakukan tindakan kotor dengan melakukan branding “anime” terhadap kartun yang sama sekali bukan berasal dari studio atau manga Jepang. Sebut saja Castlevania atau Scott Pilgrim Takes Off. Bukan hanya dalam ranah film atau series, branding “anime” juga digunakan megacorps asal Tiongkok untuk mempromosikan game-game mereka. Sebut saja Arknights dan Genshin Impact. Desain karakter yang mirip dengan anime, voice over bahasa Jepang, dan pengaruh narasi JRPG (Japanese Role-Playing Game) menjadi branding imitatif kuat untuk menarik perhatian pasar mobile gaming

Eksploitasi Event

Tidak dapat dipungkiri, event Jejepangan juga memiliki orientasi ekonomi, dan mainstreamnya budaya populer Jepang merupakan berkah tersendiri bagi penyelenggara. Orientasi kuantitas daripada kualitas ini membuat penyelenggara rajin menyelenggarakan event. Bahkan, di kota besar seperti Yogyakarta, pernah suatu kali “event Jejepangan” terselenggara setiap minggunya selama satu bulan. 

Selain menitikberatkan hanya kepada jumlah peserta event, kita dapat melihat keruntuhan budaya Jepang dari kegiatan yang diselenggarakan saat event: cosplay. Sangat lucu ketika dalam suatu event “Jepang”, lomba cosplay juga mengizinkan keterlibatan orang-orang yang bercosplay karakter non-Jepang, maksudnya adalah bukan karakter dari anime, manga, ataupun game Jepang.Bisa kita lihat dari mayoritas karakter game tiongkok (hoyoverse) yang berpose di panggung cosplay. 

Melalui cosplay juga kita dapat melihat akselerasi keruntuhan kebudaya Jepang yang selama ini coba diperkenalkan komunitas melalui event Jejepangan, juga berubahnya esensi event sebagai tempat bercengkerama sesama penyuka Jejepangan menjadi event profit-sentris. Mainstreamnya film, game dan hiburan lain yang berembel-embel Jepang (tapi palsu) berimplikasi pada jumlah peminat yang semakin banyak, peminat yang banyak berimplikasi pada penyelenggaraan event yang beragam. Penyelenggaraan event yang beragam, salah satunya cosplay berimplikasi pada kebutuhan atribut cosplay yang banyak, sehingga mulailah bermunculan usaha rental cosplay. 

Jika dahulu atribut cosplay harus dibeli dengan harga mahal atau dibuat dengan dedikasi waktu, sekarang opsi rental menjadi solusi cepat. Orang bisa dengan mudah bercosplay dengan harga murah dan menyimpan tenaga dan waktu. Terdapat suatu dilema dari opsi instan ini. Budaya FOMO (fear of missing out) merupakan salah satu konsekuensi dalam kultur cosplay. Karena sesuatu sedang hype, orang-orang, bahkan awam dapat ikut arus dengan ikut-ikutan bercosplay. Implikasi dari budaya ikut-ikutan ini adalah banyak orang yang tidak mengetahui karakter apa yang mereka cosplay, bahkan sekadar tahu franchisenya saja tidak. Hal ini sering dijumpai pada event-event sekarang, banyak “polisi” event yang mencoba mengangkat isu ini dengan bertanya kepada para cosplayer tentang tokoh yang diperankan. 

Akses yang mudah membuat suatu passion terhadap hobi menjadi sia-sia. Cosplay bukan lagi suatu bentuk dedikasi, pengetahuan atau cinta seseorang terhadap karakter yang dia cosplay, tetapi, hanya sebuah trend kosong belaka. Selain hobi yang tidak dihargai karena aksesibilitas yang mudah, terdapat sejumlah event organizer yang melakukan “milking” terhadap hobi dan budaya Jejepangan. Salah satunya adalah menempatkan kegiatan lomba cosplay di event yang sebenarnya tidak nyambung, seperti launching motor. 

Perlu Gatekeeping Lagi?

Sejarah penggiat budaya Jejepangan, setidaknya di Indonesia diawali dengan penolakan dan olok-olok masyarakat. Tetapi, setelah gerbang-gerbang komunitas dibobol melalui arus globalisasi dan fabrikasi branding, komunitas malah diinvasi oleh massa yang hobinya ikut arus semata. Alih-alih mengapresiasi budaya populer Jepang sebagai suatu bentuk keberhasilan peradaban memproduksi budaya yang diakui dunia, event dengan label Matsuri malah disusupi oleh produk-produk budaya palsu yang mengatasnamakan budaya Jepang. Selain itu, hobi tidak lagi dipandang sebagai suatu dedikasi, tetapi fashion yang bisa dipakai atau dilepas.Kesuksesan suatu event hanya berorientasi pada seberapa banyak partisipasi orang di sana, seberapa banyak makanan atau merchandise yang terjual habis. Daripada event budaya, event sekarang lebih sebagai tempat senang-senang dan menghabiskan uang semata. 

Akan menjadi sulit untuk membawa kembali event pada budaya masa lalu yang eksklusif dan lebih menjiwai event itu sendiri. Mungkin orang-orang di zaman ini berpartisipasi dalam event sebagai pelarian, atau oase dari dunia mereka yang melelahkan. Mungkin penyelenggara event tetap memakai embel-embel Matsuri atau Jejepangan karena tidak tahu menamai apa event mereka. Mungkin tulisan ini hanya sebatas tulisan dari orang yang terperangkap dalam nostalgia dan enggan menerima perubahan. Suatu budaya bisa berkembang, tersinkretisasi, mengalami akulturasi atau asimilasi. Mungkin itulah nyatanya, bahwa cara menikmati event Jepang bukan seperti mengapresiasi karya seni dalam suatu galeri, melainkan mengalaminya sendiri, dalam pengalaman subjektif yang beragam. 

Ketika suatu budaya menjadi mainstream, maka kejatuhan Roma adalah semacam pengingat, bahwa suatu komunitas bisa saja hancur, tetapi produk dari komunitas itu tetap eksis, atau setidaknya subsist layaknya bahasa Latin, hukum-hukum dan model organisasi yang diwariskan Roma. Mengutip Agustinus dari Hippo dalam City of God, Roma bukanlah tembok-temboknya semata, melainkan orang-orangnya. Mungkin beginilah juga model event Jejepangan yang berkembang pada hari ini. Wujud dan bentuk apresiasi budaya dalam event tersebut mungkin saja berubah sesuai zaman, tetapi spiritnya masih ada. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki

Gloria Bayu Nusa Prayuda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email