Personal Branding atau Usaha Mengaburkan Batas-Batas Realitas?

Imam Fawaid

2 min read

Percaya atau tidak, pada masa ini kita cenderung memperlakukan diri kita sendiri dan orang lain sebagai objek semata. Kita merasa perlu “menjual” diri kita layaknya komoditas dagang.

Kita mungkin masih ingat berita tentang seorang mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri, yang mengklaim dirinya sebagai mahasiswa Indonesia pertama yang memberi pidato sambutan di salah satu universitas top dunia. Atau berita tentang mahasiswa yang pernah ikut pertukaran pelajar selama satu semester di luar negeri, tetapi ia menulis di profilnya seolah-olah lulus dengan dua gelar dari dua universitas di negara yang berbeda.

Beberapa orang menyebut hal ini sebagai personal branding. Namun, demi menghindari menuduh hal tersebut sebagai miskonsepsi, saya memilih untuk menganggapnya sebagai satu konsep lain dengan definisinya sendiri. Personal branding yang ini adalah produksi citra diri tertentu di media sosial untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk menunjang karier dan lain sebagainya.

Inilah yang dilakukan sebagian besar (kalau bukan semua) orang di era ini. Kenapa orang-orang melakukan hal tersebut? Dalam rangka meningkatkan nilai jual diri kita di pasar tenaga kerja, kompetensi dan keterampilan kerja saja tidak cukup. Kita juga perlu mengiklankan diri melalui kanal-kanal virtual layaknya sabun colek yang sering muncul di TV.

Baca juga:

Analoginya seperti ini: di dunia ini ada banyak sekali merek sabun colek. Dan klaim keampuhannya membersihkan noda saja tidak cukup meyakinkan konsumen untuk memilih satu produk di antara produk yang lain. Karena itu,  produk itu harus tampil lebih cantik dibanding yang lain. Obsesi untuk selalu menampilkan produk “lebih” dari yang lain ini nampaknya menjalar juga ke manusia. Alhasil, kita menjadi senang sekali menciptakan kesan atau citra diri yang seribu kali lebih cantik di media sosial dibandingkan diri asli. Bukan tidak mungkin di masa depan kita akan takut melihat “wajah asli” kita sendiri ataupun orang lain karena wajah yang asli kita atau mereka tidak secantik dan seindah foto-foto yang kita unggah di Instagram. Jean Baudrillard, filsuf dan sosiolog asal Prancis, menyebut ini sebagai hiperrealitas.

Hiperrealitas

Hiperrealitas dapat didefinisikan secara sederhana sebagai fenomena lahirnya realitas-realitas baru, yakni realitas buatan yang “melampaui” realitas nyata. Kata “melampaui” tersebut sangat penting, kadang ia diterjemahkan dengan berlebihan sebagai “lebih nyata” daripada realitas nyata itu sendiri. Hal ini lantaran realitas-realitas baru ini mengaburkan batas antara yang asli dan yang palsu, antara yang nyata dan yang imajiner, antara yang acuan dan yang tiruan, sehingga kita sulit membedakan keduanya. Baudrillard menjelaskan fenomena ini terjadi dalam tiga fase, yakni antara lain fase simulasi, simukra, simulakrum.

Fase simulasi adalah fase pertama. Pada fase ini, jejak-jejak realitas yang asli masih dihadirkan pada realitas buatan yang mewakilinya. Realitas ditampilkan apa adanya sehingga kita masih bisa mengidentifikasi mana realitas yang menjadi acuan dan mana yang tiruan. Jika kita memakai contoh iklan sabun colek, pesan-pesan pada iklannya masih sederhana (straightforward), misalnya hanya memuat informasi kegunaan produk, cara pakai, dan harganya.

Fase simulakra disebut juga fase tengah. Pada fase ini, jejak-jejak realitas asli mulai ditinggalkan. Dalam kata lain, realitas buatan tidak mesti sama persis dengan realitas acuannya. Pesan-pesannya mulai dilebih-lebihkan untuk merayu konsumen, misalnya “membersihkan noda hanya dalam sekali bilas”. Tanda-tanda dan simbol yang sebetulnya tidak berhubungan mulai digunakan. Seperti di iklan sabun colek, kita biasanya melihat potret keluarga yang harmonis. Seolah-olah rumah tangga yang cekcok dapat kembali rukun karena wangi sabun colek. Tidak nyambung memang, tapi kita “dipaksa” menerimanya.

Fase akhir adalah fase simulakrum. Pada fase ini realitas-realitas buatan tersebut sudah menjelma menjadi entitas realitas-realitas baru. Ketika itu terjadi, batas-batas antara yang asli dan yang buatan itu sudah sangat kabur sehingga kita semakin sulit memisahkan satu dari yang lain. Pada fase ini, mempersoalkan kesesuaian atau ketidaksesuaian realitas tiruan itu dengan kenyataan dianggap irelevan. Karena pada titik ini, realitas-realitas buatan yang dihasilkan lebih merupakan gandaan atau salinan dari realitas buatan yang lain (a copy of a copy of reality).

Baca juga:

Pada contoh sorang mahasiswa Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai orang Indonesia pertama yang memberi pidato sambutan pada acara wisuda di universitas top dunia tadi. Taruhlah misalnya Anda—dengan semangat nasionalisme dan rasa bangga yang membuncah di dada—ingin menyodorkan informasi bahwa “sebelumnya sudah ada orang Indonesia yang memberi pidato di universitas itu” (yang secara implisit mengatakan bahwa mahasiswa tersebut bukan “yang pertama”). Atau sekadar ingin meluruskan agar tidak terjadi disinformasi mengenai program pertukaran mahasiswa (student exchange) yang sebenarnya tidak sama dengan program kuliah gelar ganda (double degree).

Ketika melakukan itu, ada kemungkinan Anda akan dicerca netizen dan dianggap “nggak ngerti personal branding”. Pada momen itu, Anda akan terdiam barang lima belas atau delapan belas detik, mencoba mengingat-ingat pengetahuan purba tentang personal branding. Dan dalam kebingungan Anda mulai bertanya, apakah personal branding merupakan proses penegasan diri yang autentik atau pembuatan konstruksi diri imajiner yang semu alias pencitraan belaka?

 

 

Editor: Prihandini N

Imam Fawaid

One Reply to “Personal Branding atau Usaha Mengaburkan Batas-Batas Realitas?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email