Semakin lama saya bertumbuh bersama media sosial, semakin saya temukan banyak kemiripan antara pertunjukan topeng monyet dengan dunia itu.
Topeng monyet adalah kesenian atraktif yang melibatkan seorang dalang dan seekor monyet yang bertindak sebagai aktor untuk menghibur para penonton. Suksesnya pertunjukan tersebut sangatlah bergantung pada seberapa berkualitasnya penampilan Sarimin, panggilan umum sang aktor monyet, untuk memukau penonton. Dandanan wajah, pakaian, hingga akting Sarimin dipoles sedemikian rupa oleh sang dalang agar penampilannya meyakinkan. Semakin banyak penonton yang terpukau, semakin banyak pula uang yang dinikmati dalang.
Upaya polesan ini mengingatkan saya dengan berbagai konten bersponsor yang tak diungkap oleh para influencer dan affiliator. Prank, drama settingan, dan opini para buzzer semakin memudarkan batasan antara fiksi dan kenyataan. Fiksi yang sering disajikan biasanya berupa konten sponsor yang berpura-pura sebagai konten organik, drama rekaan untuk mempromosikan produk, rekayasa penulisan review, dan rekayasa opini publik yang berlindung di balik dalih bahwa netizen sudah pintar dan mampu membedakan mana informasi yang asli dan tidak. Begitulah biasanya cara narator media sosial mencuci tangan dan melempar tanggung jawabnya.
Mirip seperti pertunjukan topeng monyet, pertunjukan yang paling mampu meyakinkan dan membajak pikiran penonton adalah pertunjukan yang dianggap sukses. Jadi, tidak heran apabila para narator berlomba-lomba untuk menciptakan pertunjukan lewat narasi-narasi polesan yang paling meyakinkan untuk mendapatkan respons nyata dari netizen.
Narasi eksploitatif ini lantas jadi tak kenal batas hingga menyuburkan fenomena post-truth yang membuat netizen sulit membedakan mana fiksi dan mana fakta. Kalau pertunjukan topeng monyet sudah dilarang secara resmi di Indonesia lewat KUHP Pasal 302 tentang tindakan Penyiksaan Hewan dan Undang-Undang No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan, sekarang sudah saatnya Indonesia melarang praktik-praktik bernarasi yang mirip pertunjukan topeng monyet eksploitatif di media sosial.
Memang, sejauh ini, belum ada payung hukum di Indonesia yang mengatur secara spesifik aktivitas bernarasi di media sosial. Namun, aturan itu bukan tidak mungkin diadakan di sini karena negara lain sudah pernah menerapkan. Di Amerika Serikat, misalnya, ada Federal Trade Commission Act (FTCA) yang mengatur berbagai aktivitas marketing dan periklanan online.
Di antara berbagai kebutuhan aturan narasi di media sosial, salah satu yang mendesak untuk segera ada adalah aturan bahwa setiap konten yang bersponsor atau terikat dengan perjanjian komersial harus dibuka statusnya ke publik. Konten tersebut tidak boleh dipublikasikan sebagai konten organik.
Baca juga:
Saya pernah merasakan patah hati yang begitu dalam sewaktu Ibu Sisca Soewitomo mengunggah konten yang berisi keinginannya untuk gantung panci setelah puluhan tahun berkarya di dunia perkulineran Indonesia. Unggahan yang bernada perpisahan di tanggal 4 Agustus 2020 tersebut membuat saya bernostalgia mengenang acara kuliner legendaris tahun 2000-an yang kerap dibawakan oleh Ibu Sisca, yaitu Aroma. Sebagai penggemar setia duet Aroma dan Ibu Sisca, pengumuman tersebut sungguh mengejutkan dan berhasil mendorong jari saya untuk menuliskan kata-kata bernada melankolis dan apresiatif kepada Ibu Sisca di kolom komentar unggahan tersebut. Kesedihan ini tak cuma dirasakan oleh saya seorang, tapi juga ribuan followers yang bersimpati dan ikut berkomentar di unggahan Ibu Sisca waktu itu.
Ternyata, patah hati yang saya alami hanyalah ilusi. Di tanggal 6 Agustus 2020, Ibu Sisca kembali mengunggah konten lanjutan yang berisi klarifikasi arti “menggantung panci”. Ia bukan ingin berhenti berkiprah di blantika kuliner Indonesia, ia hanya sedang terlibat dalam narasi marketing dari Go-Food, sebuah aplikasi pesan antar kuliner online. Siapa sangka Ibu Sisca sukses melakukan prank ke banyak netizen Indonesia?
Pola narasi serupa juga dilakukan oleh pasangan selebriti, Darius Sinathrya dan Donna Agnesia bersama MR.DIY, sebuah toko ritel rumah tangga. Pada Januari 2022, selebriti Darius Sinathrya mengumumkan bahwa istrinya, Donna Agnesia, pergi dari rumah meninggalkan dirinya lewat akun media sosial pribadinya.
Sebagai pengagum keharmonisan rumah tangga pasangan Darius dan Donna, saya cukup ragu waktu membaca postingan mengejutkan itu. Sulit bagi saya untuk memproses kabar pahit yang diunggah. Setelah prank Ibu Sisca, sempat terbesit di pikiran saya bahwa Darius juga sedang membangun narasi yang sama. Namun, saya pikir menjual kehormatan rumah tangga yang harmonis demi membajak perhatian netizen adalah sebuah usaha picisan yang kelewat batas.
Akan tetapi, media sosial sekali lagi membuat saya takjub. Tebakan remeh saya terbukti benar. Setelah unggahan pencarian Donna itu diunggah, Darius mengunggah postingan lanjutan selama beberapa waktu dan bermuara pada sebuah sesi live. Pada sesi live tersebut, Donna telah ditemukan dan ia menjelaskan alasan kepergiannya. Selama hilang, Donna ternyata sedang berada di toko MR.DIY.
Tidak sedikit pengikut media sosial Darius yang tak respect dengan aksi tersebut. Keputusan pasangan itu untuk menjual hubungan mereka sebagai kendaraan marketing adalah noda bagi rumah tangga adem ayem yang selama ini mereka bina. Tak mengherankan melihat netizen menuliskan komentar-komentar penuh amarah sampai kolom komentar media sosial Darius kemudian dinonaktifkan.
Apakah upaya manipulatif untuk menyesatkan seseorang di dalam narasi settingan demi mendulang engagement itu etis? Atau, ini hanyalah kreativitas bernarasi di media sosial yang patut diapresiasi? Ingat, kalau FCTA berlaku di Indonesia, Ibu Sisca, Darius, dan Donna harus memberi keterangan bahwa konten-konten yang diunggahnya adalah konten bersponsor sejak unggahan pertama.
Baca juga:
Manipulasi Dosis Tinggi
Pola narasi yang membajak emosi seperti itu masih tergolong narasi manipulatif yang berdosis rendah. Setidaknya, narasi-narasi tersebut diakhiri dengan informasi yang menyadarkan netizen kalau semua yang terjadi hanyalah rekaan untuk kepentingan marketing. Ibarat pertunjukan topeng monyet yang telah usai, penonton kembali ke kenyataan dan Sarimin kembali menjadi monyet biasa.
Ada narasi manipulatif yang lebih destruktif di media sosial, yaitu opini buzzer. Buzzer dibayar untuk memfabrikasi perspektif publik dengan harapan netizen dapat menerimanya sebagai realita. Spektrum fabrikasinya pun beragam, entah itu ditugaskan untuk menulis review rekaan yang menguntungkan sponsor, bekerja sama dengan para key opinion leader untuk memviralkan sebuah narasi, hingga memproduksi hoaks yang menyesatkan agar masuk menjadi sistem kepercayaan di dalam pikiran netizen.
Ketika menikmati sebuah aksi topeng monyet, saya tahu persis kapan pertunjukan dimulai, siapa saja aktor yang terlibat, siapa dalangnya, siapa penontonnya, dan kapan pertunjukan dinyatakan selesai. Tidak demikian dengan pola narasi dari opini buzzer. Naratornya sering kali sulit diidentifikasi karena buzzer dapat berupa kumpulan akun anonim. Butuh analisa yang lebih mendalam untuk menguak dan membuktikan keterlibatan para narator secara akurat dalam penyuaraan narasi oleh buzzer. Tanpa adanya regulasi keras untuk mendeklarasikan konten bersponsor, kehadiran opini buzzer bisa sangat menyesatkan bagi netizen.
Itulah mengapa kehadiran opini buzzer untuk memengaruhi pilihan politik netizen sangat bisa dirasakan, apalagi di masa-masa menjelang pemilu. Opini yang dilemparkan pun tak malu-malu. Ada calon presiden yang bahkan dinarasikan ulang sebagai figur lucu nan menggemaskan, padahal narasi itu sangat bertolak belakang dengan rekam jejak dan karakter aslinya. Saya jadi sering bertanya-tanya, jangan-jangan figur-figur yang saya ikuti di media sosial seperti Zarry Hendrik, Coki Pardede, Patrick Effendy, Abdur Arsyad, dan Young Lex adalah figur-figur yang dibayar untuk menarasikan salah satu paslon?
Jika narasi lucunya topeng monyet bisa berubah menjadi narasi kejamnya penyiksaan hewan, maka saya percaya bahwa narasi polesan di media sosial juga akan menemukan ajalnya di masa yang akan datang. Dan, akan sangat baik apabila ajal itu dipercepat oleh aturan yang melindungi netizen Indonesia dari narasi-narasi ilusif yang semakin menjauhkan Indonesia dengan realitas.
Editor: Emma Amelia