Hilangnya Arah Ilmu Komunikasi

Syed Yasin Rantisi

2 min read

Apa yang akan saya lakukan setelah lulus kuliah?

Kalimat itu sering terdengar dari mahasiswa Ilmu Komunikasi di Indonesia belakangan ini. Ilmu Komunikasi sering dianggap sebagai jurusan kuliah yang santai. Karena memiliki kesan yang santai, maka banyak siswa yang ingin masuk ke jurusan tersebut. Tak mengherankan, jurusan Ilmu Komunikasi menjadi salah satu jurusan dengan jumlah peminat tertinggi.

Selain kesan santai, ada juga siswa yang memilih Ilmu Komunikasi karena sudah menjadi cita-citanya, bahkan percaya bahwa prospek kerja lulusan Ilmu Komunikasi bagus. Namun, banyak juga siswa yang memilih Ilmu Komunikasi karena tidak tahu mau kuliah dan kerja apa sehingga mengambil jurusan Ilmu Komunikasi agar fleksibel memilih pekerjaan setelah lulus.

Pada kenyataannya, selama mengikuti proses perkuliahan pun banyak mahasiswa Ilmu Komunikasi yang belum tahu apa yang ingin mereka lakukan. Oleh sebab itu, banyak dari mereka yang mengikuti organisasi, kepanitiaan, kegiatan bakti sosial, sukarelawan, seminar, dan acara-acara lain untuk mengisi kekosongan dan mengalihkan kebingungan. Ada juga yang mengambil kesempatan magang agar punya pengalaman kerja sebagai bekal masa depan. Bahkan, ada yang mengambil kesempatan magang walaupun pekerjaan tersebut tidak seutuhnya sesuai dengan ilmu yang mereka pelajari.

Baca juga:

Ada beberapa hal yang menyebabkan mahasiswa mengalami kebingungan selama berkuliah. Hal mendasar yang mengakibatkan kebingungan mahasiswa adalah ketidaksesuaian bayangan atau ekspektasi dengan apa yang mereka pelajari.

Banyak mahasiswa yang beranggapan bahwa jurusan Ilmu Komunikasi belajar mengenai komunikasi secara umum atau bagaimana membangun komunikasi yang lebih baik, bagaimana membangun dan menyampaikan ide gagasan secara bagus. Namun, ketika mulai kuliah, ternyata Ilmu Komunikasi yang dipelajari terlalu fokus membahas peminatan hubungan masyarakat, periklanan, jurnalisme, dan kajian media dibandingkan Ilmu Komunikasi secara umum.

Pembelajaran yang terlalu fokus pada penjurusan itu seolah memaksakan mahasiswa untuk bekerja pada sektor tersebut. Padahal, belum tentu mahasiswa ingin bekerja di salah satu sektor tersebut. Karena dipaksakan untuk mempelajari ilmu-ilmu penjurusan tersebut, kesan prospek kerja yang fleksibel setelah lulus kuliah itu pun hilang. Angan-angan prospek kerja fleksibel tergerus oleh kurikulum yang dirancang sebagaimana kuliah kedokteran yang memaksa mahasiswanya untuk menjadi dokter setelah lulus.

Kebingungan mahasiswa yang dituntut untuk bekerja pada sektor-sektor tersebut semakin bertambah seiring dengan perubahan besar-besaran pada industri media massa. Banyak media massa yang berubah bentuk. Industri koran semakin sedikit menjual koran cetak dan beralih ke koran digital. Koran digital pun mendapat tantangan dari media sosial karena banyak orang lebih memilih memperoleh berita dalam format yang singkat dan menarik untuk dibaca. Alhasil, banyak media massa konvensional yang tutup seperti tabloid Nova, majalah Bobo Junior, serta koran SINDO dan Republika. Koran besar seperti Tempo, Kompas, dan The New York Times pun mengalami penurunan dalam penjualan koran cetaknya.

Penurunan penjualan memaksa perusahan-perusahan media raksasa tersebut melakukan PHK. Tidak hanya media cetak saja yang mengalami masalah ini, industri TV pun mengalami masalah yang serupa. Banyak orang yang meninggalkan TV sehingga kanal TV seperti SCTV dan NET TV pun harus melakukan PHK.

Perubahan-perubahan pada media massa ini semakin membatasi kesempatan kerja bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi. Kegamangan ini juga terjadi karena kampus belum siap dalam menghadapi perubahan media massa sehingga tidak bisa mempersiapkan mahasiswanya untuk bekerja di industri media baru yang terus berubah.

Program studi Ilmu Komunikasi harus melakukan pembaharuan pada kurikulumnya agar ilmu yang diajarkan relevan dengan perkembangan dunia. Hanya dengan cara itu mahasiswa siap terjun ke dunia kerja setelah lulus dari jurusan Ilmu Komunikasi.

Kurikulumnya pun seharusnya membahas Ilmu Komunikasi secara komprehensif sehingga pembelajaran tidak hanya fokus pada keterampilan dan ilmu khusus penjurusan-penjurusan yang ditawarkan. Sebab, tidak semua mahasiswa ingin bekerja pada sektor-sektor yang dijadikan acuan penjurusan tersebut.

Kurikulum baru itu juga harus dirancang dengan perspektif multidisiplin agar Ilmu Komunikasi dapat diterapkan ke banyak bidang yang ada di dunia. Mahasiswa yang belajar Ilmu Komunikasi yang diperkaya dengan disiplin ilmu lain seperti kesehatan, ekonomi, politik, sampai kesenian akan memiliki bekal ilmu lebih. Dengan bekal itu, mahasiswa dapat mengembangkan kreativitas dan mencari pekerjaan di berbagai sektor sesuai keinginan sambil tetap mempergunakan keahliannya di bidang Ilmu Komunikasi.

Namun, perlu diingat bahwa masalah perkuliahan tidak mungkin lepas dari mahasiswa itu sendiri. Dari awal, mahasiswa harus paham betul apa yang ingin mereka pelajari di jurusan yang mereka pilih. Mahasiswa tidak boleh memilih jurusan karena kesan yang mudah dan santai saja. Ketika menjalani kuliah pun mahasiswa tidak boleh terlena dengan suasana pembelajaran yang santai.

Baca juga:

Harus segera ada perubahan konkret dalam Ilmu Komunikasi agar jurusan Ilmu Komunikasi kembali menjadi jurusan yang menjanjikan dan bermanfaat di dunia profesional. Selagi kurikulum Ilmu Komunikasi belum ideal, mahasiswa Ilmu Komunikasi perlu proaktif mencari kegiatan dan ilmu di luar kelas untuk melengkapi perbekalan di masa depan. Dengan begitu, mahasiswa tidak lagi kebingungan soal apa yang akan mereka lakukan setelah lulus kuliah.

 

Editor: Emma Amelia

Syed Yasin Rantisi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email