Plasebo
bintang-bintang yang berembus
bersama angin sayup-sayup
dan udara yang mengandung
hening bening setetes embun
begitulah masa kecil yang kubawa
dalam setiap langkah kecilku.
kabut-kabut yang menyembunyikan
kegaiban dongeng-dongeng tua,
berbaring dalam bayang-bayang
cahaya bulan yang melewati
pucuk-pucuk pepohonan;
aku memejamkan mata
sekali lagi kembali kepada hening
yang ditawarkan masa itu—
bebas dari hibuk dunia
bebas dari hidup
yang tak kunjung sepi cobaan.
Minggu, 23 Juni 2024
–
Sebagian
kadang kuingin
bernyanyi sekuat tenaga
tapi yang ada justru
nada lirih yang sepi.
kau berkata tidaklah sesulit itu
hanya perlu mengandalkan hati
lebih sedikit pikiran
lebih sedikit harapan
tapi aku jadi tak bisa
bernyanyi tanpa air mata.
dalam pejam,
kenangan-kenangan itu berkelebat
hari-hari yang berlalu
benarkah seindah itu?
sekian lama bersama
beribu kata terucap sudah
hanya satu yang tertunda
hingga terlambat segala.
apa kau harus secepat ini pergi?
kau memintaku jangan bersedih,
aku berbakat jadi malaikat,
jika kau mau, aku bisa menjagamu
dengan sayapku.
dunia terus berputar
pemandangan kota berubah,
sebagian pergi, sebagian abadi,
sebagian terganti, sebagian tak terganti,
tapi kehilangan ini
tetap sama.
26 Mei 2024
–
Pada Suatu Sore
setelah sehari mengejar hidup
aroma secangkir kopi yang kauseduh
juga hangat senyummu
membuatku menyadari
tak ada yang perlu dicemaskan.
sehabis melepas lelah
aku selonjor di ruang tamu
belum apa-apa si buyung
langsung memanjat bahu
minta dimanja dan diemban.
hampir saja aku menumpahkan
semangkuk kolak pisang
dan kopi yang tinggal separo—
mengotori karpet panda
yang sarat kenangan.
duduklah di sampingku, sayang,
kecupku hangat di kening—
mari merawat kebaikan
yang diberikan Sang Hidup
dengan cinta.
Kamis, 13 Juni 2024
–
Segala yang Timbul akan Tenggelam
karena keheningannya
tempat ini berguna,
karena kebeningannya
air ini berharga,
namun, pada akhirnya, aku
yang duduk di batu ini
bukanlah apa-apa.
zuikan memanggil, “zuikan?”
zuikan menjawab, “ya.”
“sadarlah.”
nangaku menggosok genting
berharap jadi manikam.
malam itu
di paya tua aku bercermin
ah—itu dia!
kodok di haiku Basho.
(15 April 2024)
–
Membaca Suasana
seekor cecak di kaca jendela
sepotong tawon mati di teras
cuaca yang jinak pada pudar
gerimis—kita terima segala
yang datang bersama suasana.
malam—katamu—adalah sisa-sisa suara
sepasang kekasih tua
yang berjalan menuntun sepeda:
siapakah kita sebenarnya?
siapakah kamu sebenarnya?
dan jawaban yang barangkali.
Sabtu, 6 April 2024
–
Jendela yang Senyap
kaudengar suara spidol
dan rautan pensil
kaubayangkan seorang anak
melukis di lantai
kau bertanya untuk apa
warna merah itu?
Minggu, 7 April 2024
*****
Editor: Moch Aldy MA