Studi yang dilakukan oleh Richard Lynn dan David Becker mengklaim bahwa rata-rata IQ orang Indonesia berada pada angka 78,49. Angka ini diperoleh melalui metode kuantitatif. Namun, klaim ini ditolak oleh Prof. Stella Christie. Ia menyatakan bahwa hasil tersebut tidak dapat dipercaya. Menurutnya, IQ masyarakat Indonesia jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan dalam studi tersebut.
Pernyataan Prof. Christie menarik, bukan hanya karena menantang hasil penelitian ilmiah, tetapi juga karena mengajak kita mempertanyakan bagaimana kebenaran ilmiah dikonstruksi. Memang, IQ sendiri tidak bisa dijadikan satu-satunya acuan dalam menilai kecerdasan individu maupun masyarakat.
Pengukuran IQ hanya mencerminkan kemampuan kognitif dalam aspek tertentu, yang diuji melalui metode spesifik, tetapi tidak mencakup kecerdasan emosional, kreativitas, keterampilan sosial, maupun kapasitas adaptasi yang juga merupakan bagian penting dari kecerdasan manusia. Dengan demikian, meskipun angka IQ bisa menjadi indikator, ia bukan satu-satunya tolok ukur yang menentukan kecerdasan seseorang atau sekelompok populasi.
Fokus utama saya bukan pada perdebatan mengenai validitas IQ sebagai ukuran kecerdasan, melainkan pada cara Prof. Christie membantah hasil penelitian Lynn dan Becker. Skeptisisme terhadap hasil penelitian adalah hal yang wajar dalam dunia sains. Namun, sains tidak berlandaskan keyakinan subjektif semata. Jika ingin membantah suatu klaim, kita harus menggunakan pendekatan yang sama—yakni metode empiris, data yang dapat diverifikasi, serta argumen yang dapat diuji.
Baca juga:
Apa Bukti IQ Masyarakat Indonesia Lebih Tinggi?
Ketika Prof. Christie menyatakan bahwa angka yang dikemukakan oleh Lynn dan Becker tidak akurat, seharusnya ia mendukung pernyataannya dengan bukti yang lebih kuat. Jika tidak, maka klaim bahwa IQ masyarakat Indonesia lebih tinggi dari yang dilaporkan hanya menjadi opini tanpa dasar ilmiah yang memadai.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, kemajuan selalu dicapai melalui pembuktian, bukan sekadar penolakan. Teori-teori besar yang keliru tidak sekadar ditolak, melainkan digantikan oleh teori lain yang memiliki bukti lebih kuat. Misalnya, pandangan bahwa bumi adalah pusat alam semesta tidak gugur hanya karena ditentang, melainkan karena Copernicus dan Galileo menyajikan bukti tak terbantahkan bahwa bumi mengorbit matahari. Demikian pula, jika ingin membantah klaim Lynn dan Becker, maka harus ada penelitian yang lebih akurat yang mampu menunjukkan hasil berbeda.
Ada kecenderungan dalam masyarakat kita untuk menolak fakta yang tidak sesuai dengan keinginan, dan ini menjadi hambatan dalam mencapai pemahaman objektif. Jika kita mengklaim bahwa IQ masyarakat Indonesia lebih tinggi daripada yang dilaporkan, kita perlu bertanya: berdasarkan data apa kita menyimpulkannya? Apakah ada penelitian lebih mutakhir dengan metodologi yang lebih baik? Jika tidak, maka kita tidak berada dalam posisi untuk menyatakan bahwa klaim tersebut keliru, karena kita sendiri tidak memiliki alternatif yang lebih kredibel.
Seorang akademisi yang memahami dunia sains tentu mengerti bahwa kebenaran ilmiah tidak didasarkan pada keyakinan, tetapi pada bukti dan metode yang dapat diuji. Dalam sains, klaim tidak dapat ditolak hanya karena terasa tidak masuk akal. Jika ingin membuktikan bahwa suatu klaim salah, kita harus menunjukkan kebenaran yang lebih kuat. Dengan kata lain, membantah tanpa bukti alternatif bukanlah praktik ilmiah, melainkan spekulasi belaka.
Dalam hal ini, pertanyaannya bukan sekadar apakah Lynn dan Becker benar atau salah, melainkan apakah ada alasan yang cukup kuat untuk menggugat kesimpulan mereka. Jika mereka keliru, kesalahan itu harus dibuktikan dengan data yang lebih baik dan analisis yang lebih tajam. Jika kita gagal menyediakan bukti yang lebih kuat, maka angka yang mereka sajikan tetap menjadi referensi ilmiah yang sah, betapapun tidak populernya temuan tersebut.
Baca juga:
Sains bekerja berdasarkan prinsip falsifikasi: tidak ada klaim yang benar secara mutlak, semua selalu terbuka untuk diuji ulang. Namun, untuk menggugurkan suatu klaim, kita harus menunjukkan kelemahan metode yang digunakan serta menyajikan alternatif yang lebih akurat. Tanpa itu, kritik terhadap suatu penelitian hanya menjadi wacana tanpa nilai ilmiah.
Klaim Dibantah dengan Bukti, Bukan Opini
Seorang ilmuwan seharusnya tidak hanya mengandalkan keyakinan pribadi, tetapi juga metode yang dapat diuji oleh siapa pun. Jika Prof. Christie meyakini bahwa IQ masyarakat Indonesia lebih tinggi, maka ia perlu mengumpulkan bukti yang mendukung klaim tersebut. Bukti tersebut tidak boleh sekadar anekdot atau spekulasi, melainkan hasil penelitian sistematis yang dapat diuji ulang oleh ilmuwan lain.
Selain itu, kita perlu memahami bahwa pengukuran IQ tidak terlepas dari berbagai faktor, seperti pendidikan, nutrisi, dan kondisi sosial-ekonomi. Namun, jika ingin menggugat validitas penelitian, kita harus menunjukkan kelemahan signifikan dalam metode yang digunakan serta menawarkan pendekatan yang lebih baik. Hanya dengan cara ini kita dapat membangun argumen yang sah dalam ranah akademik.
Perdebatan mengenai IQ masyarakat Indonesia seharusnya tidak berhenti pada klaim dan sanggahan tanpa dasar. Sebaliknya, perdebatan ini harus menjadi pemicu bagi lebih banyak penelitian yang dapat memberikan gambaran lebih akurat mengenai kecerdasan (IQ) populasi. Jika Lynn dan Becker keliru, cara terbaik untuk membuktikannya bukan dengan menyangkal, melainkan dengan melakukan studi baru yang menunjukkan hasil berbeda.
Pada akhirnya, keterlibatan dalam diskursus ilmiah yang sehat menuntut kita untuk memahami bahwa klaim hanya dapat dibantah dengan bukti, bukan opini. Menolak suatu angka tanpa menyediakan alternatif yang lebih kredibel bukanlah pendekatan ilmiah yang produktif. Jika ingin menggugat suatu temuan, kita harus melakukannya dengan cara yang benar: melalui penelitian yang cermat, data yang akurat, dan metode yang dapat dipertanggungjawabkan.
Editor: Prihandini N