Selepas pulang kerja, saya menyempatkan waktu untuk membaca buku Aksi Massa karya Tan Malaka. Di buku itu, ada hal menarik yang saya dapatkan. Menurut Tan Malaka, pemerintah atau dalam hal ini penguasa sebenarnya tidak ingin rakyatnya berpendidikan atau melek pengetahuan. Sebab, rakyat yang terdidik akan mampu menciptakan gelombang revolusi ketika melihat ketidakadilan atau kerusakan yang diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Contoh konkrit dari pernyataan ini adalah kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Inggris di India.
Ketika Inggris memutuskan untuk memberikan pendidikan kepada bangsa jajahannya, secara tidak langsung mereka sedang membesarkan anak-anak harimau yang dikemudian hari menerkam mereka dan mulai mencakar-cakar legitimasinya di tanah jajahan. Lahirlah generasi terdidik yang menyerukan revolusi agar Inggris angkat kaki dari tanah India. Isu nasionalisme dan perlawanan pun mengemuka hingga lapisan masyarakat kelas bawah. Hanya butuh tiga dekade saja sejak pendidikan diberikan, generasi muda berhasil mengguncang pilar-pilar kekuasaan Inggris di India.
Contoh lainnya, kita bisa belajar dari kisah Jose Rizal, seorang dokter dan penulis yang aktif berjuang di akhir masa penjajahan Spanyol di Filipina. Pada 1896, ia dieksekusi oleh pemerintah kolonial Spanyol atas tuduhan pemberontakan karena tulisan-tulisannya menginspirasi meletusnya Revolusi Filipina. Bagi rakyat Filipina, Jose dianggap sebagao salah satu pahlawan besar dan ikon gerakan nasionalisme yang mempelopori kemerdekaan negaranya.
Jose Rizal menempuh pendidikan kedokteran di Manila dan akhirnya mengejar gelar dokternya hingga ke Spanyol pada tahun 1882. Ia juga pernah belajar ke Perancis dan Jerman. Selama di Eropa, ia aktif menulis tentang diskriminasi pemerintah kolonial Spanyol do negaranya. Ia melakukan kritik pedas kepada penjajah dengan menulis buku berjudul Noli Me Tangere (Jangan Menyinggung Saya). Jose menjadi tokoh reformis setelah mengenyam pendidikan dan melihat secara langsung ketidakadilan yang dilakukan bangsa asing terhadap saudara-saudaranya
Sebenarnya kita tidak perlu jauh-jauh melihat revolusi di India atau kisah Jose Rizal, sang reformis Filipina pada masa kolonialisme. Di negeri kita sendiri pun berlaku hal yang sama. Setelah politik etis yang meliputi edukasi, imigrasi, dan irigasi diterapkan pada tahun 1901, Hindia Belanda memasuki babak baru yang akan menentukan masa depan dua negara, Belanda sebgai induk dan Hindia Belanda sebagai anak jajahannya. Keduanya harus berpisah justru karena kebijakan yang dibuat oleh sang induk sendiri.
Tujuan diberlakukannya edukasi di Hindia Belanda mulanya adalah untuk mendapatkan tenaga kerja terdidik yang bisa dibayar murah dan nantinya akan ditempatkan di industri-industri milik orang-orang Belanda. Namun, Belanda tidak hanya mendapatkan tenaga terdidik yang bisa dibayar murah, tapi mereka mendapatkan bonus sumber daya manusia yang mulai tumbuh bibit-bibit pergolakan dalam kepalanya.
Baca juga:
Berbagai organisasi dan pergerakan nasional mulai tumbuh dan merongrong pondasi kolonialisme. Anak-anak muda idealis mulai menyuarakan kesetaraan dan keadilan. Pemerintah kolonial pun gusar dibuatnya. Mereka pun mulai menyadari bahwa anak muda terdidik itu adalah bom waktu yang siap meledak kapan saja dan memporak-porandakan kekuasaan.
Kepandaian adalah Dosa
Paling tidak, negeri kita pernah mengalami revolusi besar yang mengguncang sendi-sendi kekuasaan oleh para generasi terdidik. Pertama pada era kolonialisme selepas penerapan Politik Etis yang berimbas pada lahirnya sejumlah pergerakan nasional. Kedua, pada tahun 1998 yang dimotori oleh para mahasiswa dan akhirnya mampu menggulingkan rezim orde baru yang telah beruasa selama tiga dekade.
Selain membaca buku, saya juga gemar untuk mengikuti isu-isu terkini yang kerap trending di platform X. Suatu hari, saya menemukan sebuah utas yang menggelitik. Di sana tertulis plesetan dari salah satu pasal Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi: Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara agar tetap bodoh dan sengsara.
Saat membaca kalimat itu, saya tak tahu apakah harus merasa sedih karena bunyi salah satu pasal UUD diplesetkan atau harus merasa miris karena merasa beberapa kata terakhir ada benarnya. Anggaplah pernyataan saya ini hanya asumsi saja. Tapi, dengan mengamati perhelatan dalam memperebutkan kursi kekuasaan dua dekade belakangan, terasa ada semacam kesengajaan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan pembodohan kepada bangsa ini.
Masyarakat yang bodoh akan mudah dibodoh-bodohi. Suara mereka bisa dibeli. Protes dan keluhan mereka bisa disumpal dengan bantuan yang tak begitu berarti. Bangsa yang bodoh akan lebih mudah untuk dikendalikan, dimanipulasi, dan dijadikan sapi perah untuk melanggengkan kekuasaan dan kedudukan. Saat suatu bangsa mengalami kebodohan masal, penguasa tidak hanya diuntungkan karena mereka bisa dijadikan sebagai objek mengeruk kekayaan, tetapi dapat menjadi aset mengamankan kekuasaan.
Bangsa yang bodoh mudah diperdaya dengan pencitraan, adu domba, dan penggiringan opini. Masyarakat bawah bertengkar dengan sesamanya, sementara para elite berpesta pora di atas sana. Ironis memang. Apakah kebodohan memang sengaja dipelihara? Entahlah. Saya kira, masing-masing dari kita sudah memiliki jawabannya. Tetaplah merasa negara kita masih baik-baik saja. Bukankah itu yang diinginkan oleh para pemimpin kita?
Siram Saja Akarnya
Saat ini, sekolah dan perguruan tinggi berdiri di mana-mana. Secara kasat mata, kita akan menyaksikan bahwa tidak ada upaya untuk membonsai pendidikan. Kita melihat bahwa pemerintah pun mendukung program pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, “Mencerdaskan kehidupan bangsa…”
Namun, jika ditelisik lebih dalam lagi, benarkah demikian? Saya pernah mendengar sebuah pepatah yang menarik, “Jika kamu ingin membunuh sebuah pohon, kamu tak perlu menebang batangnya. Siramkanlah racun pada akarnya sehingga ia mengering dan mati dengan sendirinya.”
Baca juga:
Untuk merobohkan pondasi-pondasi pendidikan bangsa, tak perlu dirobohkan bangunan-bangunan fisiknya. Tapi, cukup hancurkan guru, dosen, dan regulasi yang menaunginya. Perubahan kurikulum, pemangkasan anggaran, ketidakjelasan nasib guru honorer, dan ketidakseriusan pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan adalah bukti bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang sedang diprioritaskan. Tidak pernah ada keseriusan untuk menciptakan sumber daya manusia yang cerdas dan berpengetahuan.
Para pemimpin kita sepertinya sangat bernafsu dengan segala pembangunan berhaluan fisik. Mengejar proyek strategis nasional, pembangunan bandara baru, terminal baru, pembuatan jalan tol, bahkan istana dan ibukota baru jauh lebih seksi untuk ditindaklanjuti. Semua yang serba fisik diunggulkan dan diprioritaskan. Semua yang tak mewujud, seperti pendidikan misalnya, bukanlah sesuatu yang perlu diperhatikan sungguh-sungguh.
Sebelumnya, saya meminta maaf untuk mengatakan ini, tapi terus terang para pemimpin kita tak ada bedanya dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pemerintah kolonial hanya fokus pada pembangunan fisik: jembatan, rel kereta, perkebunan, industri-industri, dan jalan raya; yang semuanya bertujuan untuk keuntungan mereka semata. Mayoritas masyarakat pribumi tetap dibiarkan bodoh agar tak melawan dan menuntut dominasi mereka. Apa bedanya dengan sekarang?
Mungkin saat ini mayoritas bangsa kita pernah bersekolah, tapi apakah dengan begitu mereka lantas bisa disebut terdidik? Nanti dulu. Sekolah membuktikan bahwa kita pernah belajar, bukan bisa berpikir. Saat institusi pendidikan itu sendiri bobrok, apa output yang bisa diharapkan? Analoginya sama seperti mencuci pakaian dengan air got. Ya, kita memang telah mencuci, tapi apakah pakaian itu bisa disebut bersih?
Terakhir, apakah pernyataan Tan Malaka dalam bukunya benar? Kamu bisa menjawab sesuai dengan versimu sendiri. Selamat merenung!
Editor: Prihandini N