Guardians of the Galaxy adalah salah satu seri film dalam franchise Marvel Cinematic Universe (MCU) yang telah memiliki 3 film di dalamnya: Guardians of the Galaxy Vol. 1, 2, dan 3. Film terbarunya, Guardians of The Galaxy Vol. 3 baru saja rilis pada bulan Mei lalu di Indonesia.
Saya sudah menonton seluruh film MCU, dari mulai Iron Man (2008) hingga Guardians of the Galaxy Vol. 3 (2023). Saya sebenarnya tidak terlalu excited untuk mengikuti perkembangan cerita film-film MCU karena mereka hanya mengambil latar konflik yang minimal atau terlalu biasa untuk ukuran film besar. Berbeda dengan film-film dari pesaing MCU, yaitu DCU, yang menghadirkan konflik maksimal antara superhero dan villain.
Namun, saya kemudian melihat dualitas itu pada akhirnya berubah pelan-pelan ketika MCU mulai membawa konflik-konflik maksimal pada seri Avengers, yaitu persaingan antara superhero dan villain yang tidak hanya didasari kekuatan super semata, tetapi membawa pesan-pesan ideologis di belakangnya. Misalnya, Thanos yang tidak hanya menampakkan kemarahan atau kekuatan seperti villain pada film-film MCU sebelumnya, tetapi juga memiliki pemikiran dan ideologi yang solid. Ideologi ini membuat Thanos percaya bahwa dunia akan menjadi lebih baik jika setengah dari populasi alam semesta dimusnahkan.
Konflik-konflik seperti itu yang membuat film-film superhero menjadi “mahal”. Di dalam film terdapat pertanyaan besar tentang masa depan umat manusia: apakah akan ada bencana besar? Apakah niat villain untuk memusnahkan umat manusia adalah hal yang sebenarnya masuk akal?
Hal-hal itu sulit dijawab oleh ahli-ahli di dunia sekalipun. Namun, setidaknya MCU setelah kemunculan Thanos telah membangkitkan minat saya untuk lebih menikmati cerita MCU ketimbang hanya menonton CGI dan action-nya. Sebab, film superhero yang bagus bagi saya bukanlah film yang dapat menghadirkan superhero dengan kekuatan maksimal. Lebih dari itu, film superhero yang bagus dapat menghadirkan villain yang dapat berpikir atau mempunyai logika seperti Joker di film Batman.
Film Guardians of the Galaxy Vol. 3 yang rilis setelah titik balik MCU membuktikan komitmen Marvel untuk membenahi cerita mereka supaya lebih baik daripada sebelumnya. Pada 2022, MCU juga merilis film Thor: Love and Thunder yang sarat akan konflik maksimal antara penjahat dan superhero sehingga tidak ada alasan lagi bagi para penikmat film atau kritikus film untuk tidak membahas film-film MCU terbaru secara mendalam dan filosofis.
Guardians of The Galaxy Vol. 3
Tidak seperti dua film Guardians of the Galaxy terdahulu yang lebih banyak konflik receh tentang perebutan benda pusaka dan kejar-kejaran untuk mendapatkannya, film ketiga GOTG ini lebih seru secara konflik. Alur ceritanya cukup menggambarkan realitas yang dekat dengan kehidupan sehari-hari kita semua, yaitu menyenggol tentang cita-cita komunisme. GOTG Vol. 3 ini bercerita tentang seorang pencipta bernama High Evolutionary yang berusaha menciptakan makhluk biologis sempurna dan mengembangkannya untuk hidup berkoloni di satu tempat dengan satu tatanan yang sempurna tanpa konflik.
Film ini juga bercerita tentang asal usul Rocket, yaitu salah satu karakter utama berjenis rakun dalam film GOTG. Rocket adalah ciptaan High Evolutionary sehingga ia dapat menjadi rakun yang cerdas seperti manusia. Dalam cerita tersebut, Rocket dapat melepaskan diri dari High Evolutionary yang ingin membedah otaknya untuk mengembangkan makhluk ciptaan penghuni masyarakat utopis yang hidup damai selama-lamanya.
High Evolutionary mempunyai memandang dunia ini sebagai sesuatu yang tidak sempurna atau glitch sehingga ia merasa harus memperbaiki realitas dengan menciptakan makhluk biologis baru yang anti konflik dan kekerasan. Masyarakatnya akan hidup dalam damai tanpa penderitaan sama sekali.
Setelah beberapa kali berusaha menciptakan makhluk biologis yang sempurna, High Evolutionary selalu gagal. Pada awalnya, individu-individu ciptaannya dapat hidup dalam tatanan, tetapi lama-kelamaan, mereka selalu bergerak menuju kekacauan dan konflik. Menurut High Evolutionary, hanya Rocket satu-satunya ciptaan yang menunjukan tanda-tanda kesempurnaan. Hal ini membuat High Evolutionary berusaha keras untuk mendapatkan kembali Rocket dan meneliti otak Rocket supaya ia dapat menciptakan masyarakat yang stabil dan sempurna.
Yang menjadi cukup penting dalam film GOTG Vol. 3 ini adalah detail kecil di akhir film ketika High Evolutionary masih ngotot untuk mendapatkan Rocket. Saat kondisinya telah di ujung kekalahan oleh tim GOTG, High Evolutionary diingatkan oleh bawahannya untuk mundur dan tidak fokus pada ambisinya dalam mendapatkan Rocket. Akan tetapi, High Evolutionary malah membunuh bawahannya itu, lalu High Evolutionary sendiri terbunuh pada akhirnya.
Baca juga:
Membuat dunia tanpa ketimpangan atau konflik mirip cita-cita komunisme. Komunisme selalu berusaha untuk mencita-citakan masyarakat tanpa ketimpangan, tidak ada kaya dan miskin, semuanya setara. Sejarah sendiri telah membuktikan bahwa ide-ide komunis banyak gagalnya. Film GOTG Vol. 3 sedikitnya telah memberikan refleksi atas perjuangan ide-ide komunis yang selalu gagal.
Masyarakat pada akhirnya selalu bergerak menciptakan ketimpangan dan struktur yang hierarkis secara natural. Mungkin, pada awal-awal penerapannya, ide-ide komunis dapat berhasil. Namun, lama-kelamaan komunisme sendiri akan dikhianati oleh waktu dan kenyataan bahwa bumi dengan segala kekurangan dan kelebihannya tidak menghendaki satu kondisi ketika masyarakat dapat hidup damai sejahtera selama-lamanya. Pasti akan selalu ada individu-individu yang memakan individu-individu lainnya dan akan ada masyarakat-masyarakat yang memakan masyarakat-masyarakat lainnya.
Dunia memang penuh kekurangan dan keburukan di dalamnya. Namun, bagaimanapun juga, fakta-fakta tersebut adalah bagian dari realitas dunia ini. Mereka adalah bagian dari diri kita juga sebagai seorang manusia. Ketidaksempurnaan tidak perlu disembunyikan. Terimalah ketidaksempurnaan sebagai satu realitas keseluruhan. Dengan begitu, setidaknya kita tidak perlu membohongi diri sendiri dengan menganggapnya seolah-olah tidak ada.
Society is perfect in its imperfections.
Editor: Emma Amelia