Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Period. End of Sentence: Menstruasi, Stigma, dan Narasi Kebebasan Perempuan

Sekar Jatiningrum

4 min read

Jauh di sebuah desa kecil bernama Kathikera, yang terletak di distrik Hapur sekitar 60 kilometer dari Delhi, India, remaja perempuan merespons pertanyaan tentang menstruasi dengan malu-malu disertai tawa cekikikan. “Aku tahu apa itu, tetapi aku malu membahasnya,” ujar salah satu dari mereka sambil tertawa gugup. Ketika ditanya mengapa pendarahan bisa terjadi pada seorang ibu-ibu yang sudah renta, ia menjawab dengan polos, “Hanya Tuhan yang tahu. Ini adalah darah kotor yang keluar.”

Lalu ketika sekelompok laki-laki diminta menjelaskan apa itu period, mereka menjawab dengan bingung, “Seperti jam sekolah? Pergantian jam yang ditandai bel?” Saat ditanya apakah mereka tahu tentang menstruasi, salah satu dari mereka menjawab yakin, “Ya, itu semacam penyakit. Penyakit yang sering menyerang perempuan.”

Menstruasi dan Stigma Sosial

Penggambaran ini diambil dari dokumenter Period. End of Sentence, sebuah film berdurasi 26 menit yang menggambarkan bagaimana tabu seputar menstruasi begitu mengakar kuat di masyarakat. Dalam film tersebut, banyak perempuan mengutarakan pengalaman mereka dengan malu-malu dan gelak tawa yang mencerminkan ketidaknyamanan. Salah satu perempuan bercerita bahwa hidupnya berubah menjadi lebih sulit setelah menstruasi pertamanya. Ia menggunakan kain sebagai pengganti pembalut, namun kesulitan mencari tempat yang aman untuk menggantinya. Untuk mencuci kain tersebut, ia harus berjalan jauh mencari sumber air bersih sambil menghindari tatapan laki-laki yang mengawasi setiap gerak-geriknya.

Baca juga:

Ketidaktahuan dan stigma ini memaksanya mengambil keputusan yang berat. Setelah satu tahun berjuang memahami siklus menstruasi yang terus berulang, ia akhirnya menyerah dan memutuskan berhenti sekolah. Keputusan ini bukan hanya mencerminkan tekanan sosial yang dihadapinya, tetapi juga menggambarkan bagaimana menstruasi—yang seharusnya menjadi bagian alami dari kehidupan perempuan—dijadikan penghalang untuk pendidikan, kebebasan, dan harga diri.

Cerita lain datang dari tiga perempuan yang berbagi pengalaman tentang bagaimana menstruasi membatasi kehidupan mereka di tengah kepercayaan tradisional. Di rumah mereka, para sesepuh melarang perempuan menstruasi memasuki kuil atau rumah ibadah. “Doa-doa mereka tidak akan didengar,” ujar si sesepuh, “tidak peduli sesering apa pun mereka berdoa.”

Perjuangan Perempuan Melawan Pembatasan Sosial

Namun, tidak semua perempuan menyerah pada aturan tersebut. Sneba, seorang perempuan muda yang berani, menjadi salah satu penggerak perubahan di desanya. Dengan kecerdasan dan tekadnya, ia menantang tabu menstruasi serta nilai-nilai patriarkal yang mendomestikasi perempuan sebagai ibu rumah tangga yang tunduk pada suami. “Aku harus melawan satu desa,” ungkapnya, menceritakan bagaimana banyak orang mengecapnya gila karena pandangan progresifnya. Di desanya, perempuan tidak diajarkan untuk berpikir kritis, berpendapat, atau mandiri secara finansial. Sebagian besar dari mereka hanya dipersiapkan untuk pernikahan.

Keinginan Sneba untuk menjadi polisi lahir dari kebutuhan untuk menyelamatkan dirinya dari pernikahan paksa. Ia juga menolak pandangan misoginis dalam agama yang kerap meminggirkan perempuan. Baginya, pandangan ini penuh kontradiksi. “Dewi yang disembah adalah perempuan, sama seperti aku. Jadi, mengapa perempuan menstruasi dianggap kotor dan dilarang memasuki kuil?” tanyanya dengan tegas, mempertanyakan aturan yang terasa sangat tidak adil baginya.

Sementara itu, Rekha, perempuan lainnya, menceritakan perjuangannya menghadapi menstruasi dalam keheningan. Ia harus membuang kain bekas darah menstruasinya secara diam-diam di tengah malam, khawatir akan tatapan laki-laki yang memandangnya dengan hina. Banyak perempuan di komunitas mereka bahkan terpaksa menggunakan kain apa pun yang tersedia, sering kali kain kotor atau gombal, untuk menahan darah menstruasi.

Kisah-kisah ini menyoroti bagaimana menstruasi bukan sekadar fenomena biologis, tetapi medan pertempuran bagi perempuan untuk melawan norma sosial yang mengekang. Di balik tabu ini, tersembunyi struktur patriarki yang memperkuat ketidakadilan, menghalangi perempuan untuk mencapai kebebasan, martabat, dan hak yang setara.

Pemberdayaan Perempuan Melalui Mesin Pembalut

Di tengah diskriminasi dan stigma yang begitu mengakar, Arunachalam Muruganantham dengan tegas menyebut menstruasi sebagai salah satu isu paling tabu di negaranya. Dalam hubungan keluarga—antara anak dan ibu, suami dan istri—hingga pertemanan, topik ini hampir tak pernah dibicarakan. Dengan kesadaran akan dampak tabu ini, ia menciptakan mesin pembalut murah sebagai upaya untuk memberdayakan perempuan India. Ia bertekad untuk memastikan semua perempuan di negaranya memiliki akses ke pembalut, mengingat saat ini kurang dari 10% perempuan mengenakannya atau bahkan tahu cara menggunakannya.

Baca juga:

Dengan hadirnya mesin ini, perempuan di desa mulai berbondong-bondong belajar memproduksi pembalut sendiri dengan merek “Fly,” sebuah simbol harapan agar suatu saat mereka dapat “terbang” meraih mimpi-mimpi mereka. Pembalut ini kemudian dijual ke desa-desa lain, memungkinkan lebih banyak perempuan untuk menggunakannya. Selain itu, mereka aktif memberikan edukasi tentang cara menggunakan pembalut, manfaatnya dibandingkan kain, dan bagaimana pembalut dapat mencegah kekhawatiran akan kebocoran darah di pakaian mereka.

Tidak berhenti di situ, mereka juga mendatangi rumah-rumah warga untuk memperkenalkan penggunaan pembalut secara langsung. Barang-barang produksi mereka bahkan mulai dipasarkan di toko-toko dan warung-warung, meskipun tempat-tempat ini sebagian besar dikelola oleh penjual laki-laki, menunjukkan keberanian mereka dalam menembus batasan sosial.

Inisiatif ini tidak hanya memberdayakan perempuan secara identitas, tetapi juga secara ekonomi. Seorang ibu rumah tangga yang diwawancarai mengungkapkan, “Aku mendapatkan rasa hormat dari suamiku sejak aku mulai bekerja, dibandingkan saat hanya diam di rumah. Rasanya menyenangkan melihat ia kini menghormatiku.”

Lebih dari itu, perempuan lain yang sebelumnya tidak memiliki penghasilan sama sekali kini dapat membeli pakaian untuk keluarga mereka dan merasakan kebanggaan karena memiliki uang sendiri. Perubahan ini memberi mereka rasa kemandirian dan keberdayaan yang sebelumnya sulit dicapai. Perempuan yang dulunya bergantung sepenuhnya pada suami kini memiliki penghasilan sendiri berkat bekerja di pabrik pembuatan pembalut.

Sebuah Revolusi Sosial

Period. End of Sentence adalah film dokumenter karya Rayka Zehtabchi yang dirilis pada tahun 2019, hasil kolaborasi dengan siswa dan alumni Sekolah Oakwood di North Hollywood, California. Cerita ini bermula dari inisiatif siswa Sekolah Menengah Oakwood yang berhasil menggalang lebih dari $55.000 melalui donasi, penjualan kue, dan kampanye Kickstarter.

Dana tersebut digunakan untuk mendukung pengadaan mesin pembalut di desa-desa terpencil di India, dengan harapan bahwa desa-desa lain juga akan memiliki mesin serupa di masa depan. Tujuannya adalah memberdayakan perempuan agar dapat belajar memproduksi pembalut sendiri, merawat kesehatan reproduksi, dan melawan tabu yang mengakar kuat dalam budaya patriarki.

Dalam pandangan masyarakat, perempuan dan menstruasinya sering kali dianggap sebagai pembawa “penyakit” yang hanya Tuhan mampu menyembuhkan. Film ini menyoroti bagaimana perempuan menolak tunduk pada sistem yang mengekang. Mereka menyuarakan bahwa menstruasi bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan anugerah alam yang harus diterima dengan rasa syukur.

Baca juga:

Melalui aksi solidaritas, perempuan membantu sesama perempuan untuk melawan stigma, memberdayakan diri, dan meraih kemandirian. Mesin pembalut tidak hanya menjadi alat melawan tabu, tetapi juga membuka jalan bagi perempuan yang terpinggirkan—mereka yang ditinggalkan suami, kehilangan pekerjaan, atau terpaksa putus sekolah—untuk mandiri secara finansial. Film ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan ketidakadilan tidak hanya tentang menghancurkan norma, tetapi juga membangun kembali martabat dan peluang hidup bagi perempuan.

Meskipun pada awalnya dianggap menjijikkan oleh sebagian pihak, Rayka Zehtabchi berhasil membuktikan bahwa isu-isu perempuan—yang lahir dari pengalaman dan kebutuhan nyata perempuan—bukanlah sesuatu yang pantas diremehkan. Keberhasilan ini ditandai dengan raihan Piala Oscar di Academy Awards 2019 sebagai Film Dokumenter Pendek Terbaik. Selain itu, Period. End of Sentence juga menerima berbagai penghargaan bergengsi lainnya, termasuk di Traverse City Film Festival dan Cleveland International Film Festival.

Transformasi yang diangkat dalam film ini melampaui sekadar isu menstruasi; ini adalah sebuah revolusi sosial. Dari persoalan yang kerap dipinggirkan, menstruasi berubah menjadi titik awal pemberdayaan perempuan untuk melawan stigma, menantang batasan peran tradisional, dan membangun masa depan yang lebih setara. Film ini tidak hanya merayakan kemenangan simbolis di panggung internasional, tetapi juga menginspirasi gerakan nyata yang membuka ruang bagi perempuan untuk mendefinisikan kembali posisi mereka di dunia.

 

 

Editor: Prihandini N

Sekar Jatiningrum
Sekar Jatiningrum Penggemar cinema of contemplation yang bercita-cita mengunjungi perpustakaan di seluruh dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email