Mengurai Perjalanan Emosional Remaja Perempuan

Mina Megawati

3 min read

PIXAR baru saja merilis film animasi Inside Out 2 yang sepertinya akan menebar pengaruh penting bagi pemahaman tentang kesehatan mental remaja. Isi ceritanya yang berbobot dan menghibur membuat saya percaya diri merekomendasikan film ini untuk ditonton para remaja maupun para orangtua yang punya anak remaja.

Fokus perhatian saya ada pada keluwesan PIXAR dan tim produksi mereka dalam menarasikan sebuah perjalanan rekonstruksi emosi pada diri remaja putri di masa pubertas dengan segala kompleksitasnya ke dalam bentuk animasi yang mudah dicerna orang awam.

Baca juga:

Rekontruksi Emosi

Kelsey Mann, sutradara Inside Out 2, terbilang terampil dalam menganalogikan kondisi si tokoh utama, seorang anak perempuan berkawat gigi yang hobi bermain hoki es bernama Riley saat memasuki gerbang masa pubertas. Tombol alarm merah dengan sirine digambarkan sebagai masa pubertas pertanda waktu peralihan telah datang dan itulah saatnya muncul pergolakan emosi.

Karakter-karakter emosi yang mewakili berbagai aspek perasaan dan pengalaman Riley seperti Joy (kesenangan), Sadness (sedih), Anger (marah), Fear (takut), Disgust (jijik), dan Fear (takut) dibuat kalang kabut dengan datangnya segerombolan pekerja kontruksi yang memaksa masuk markas besar konsul emosi dan memorakporandakan isi konsul. Mereka datang untuk menata ulang, membuang, mengganti, menghancurkan, dan menambah yang tidak lagi sesuai.

Dalam Psychology Today, rekonstruksi emosi remaja perempuan di masa pubertas melibatkan penataan ulang dan pemahaman yang lebih baik terhadap emosi yang mereka alami selama periode perubahan fisik dan hormonal yang signifikan. Pubertas dapat menjadi masa yang penuh tantangan emosional, di mana remaja perempuan mungkin menghadapi perubahan suasana hati yang drastis, peningkatan sensitivitas emosional, dan konflik internal.

Riley di Dunia Nyata

Riley tidak sendiri. Di dunia nyata banyak remaja dibuat kalut, bingung, merasa kacau saat masa peralihan itu tiba.

Sebagai orangtua dengan seorang anak perempuan remaja, saya merasa begitu dekat dengan sosok Riley—bagaimana sedih, marah, dan cemasnya ketika dia harus berpisah dengan kedua sahabatnya, bagaimana dia berupaya keras untuk unggul agar diakui keberadaannya. Bahkan, kegugupan Riley saat di ruang skors lapangan hoki es pun ikut terasa ketidaknyamanannya.

Di kondisi labil seperti itu biasanya anak akan terlihat tidak nyaman. Reaksinya bisa beragam seperti murung, atau, sebaliknya, dia akan banyak bicara hingga mungkin menangis sesenggukan. Kalau saya lebih mengajak anak perempuan saya untuk tidak menekan, apalagi mengabaikan emosi apa pun yang muncul.

Kapan saatnya dia perlu marah, ya, marahlah. Kalau dia perlu menangis, ya, menangis saja. Dia bebas. Saya hanya perlu memastikan kondisi sekitarnya aman saat meluapkan emosi. Misalnya, di dalam kendaraan, di rumah, atau kamar tidur.

Saat proses katarsis emosi terjadi, saya biasanya hanya perlu mengamati dan mendengar apa yang dia ucapkan saat marah atau menangis. Penting untuk tidak menginterupsi. Sebab, alih-alih merasa lega, anak justru merasa sedang digurui bila emosinya diinterupsi. Setelah semua prosesnya selesai, saya minta dia untuk rileks dan minum air. Kalau dia siap, kami akan langsung membahas. Jika tidak, saya biarkan dia tidur.

Sayangnya, orangtua kita zaman dulu tidak pernah membuka ruang dan kesempatan seperti itu. Zaman saya kecil, kalau menangis apalagi di tempat umum, orangtua akan langsung minta anaknya untuk diam karena malu didengar orang, bahkan tidak jarang ada adegan kekerasan fisik-psikis seperti mencubit dan membentak. Menangis dianggap seperti perbuatan tidak baik. Akhirnya, anak-anaknya tumbuh dan menua dengan kepandaian baru. Pandai menekan, menimbun, dan mengacuhkan emosinya sendiri.

Psikolog klinis anak dan remaja, Dr. Ralph Kuechel dalam artikelnya di Harbor Psychiatry & Mental Health menyoroti pentingnya pembelajaran sosial dan bimbingan dari orang dewasa yang sangat vital untuk membantu remaja mengembangkan keterampilan mengelola emosi yang sehat dan adaptif. Remaja adalah masanya belajar memahami, mengevaluasi, dan mengelola perasaan dengan lebih kompleks dan dewasa dengan bantuan perubahan hormon yang memengaruhi suasana hati dan respons emosional mereka.

Dukungan dari orang dewasa dan interaksi sosial dengan teman sebaya membantu remaja mengembangkan kemampuan ini dengan cara yang sehat dan konstruktif​. Riley termasuk beruntung. Dia punya support system yang mendukung.

Dinamika Identitas Remaja

Jati diri bagi remaja perempuan di masa pubertas mengindikasikan proses pembentukan identitas pribadi yang melibatkan penemuan dan pemahaman diri sendiri dalam konteks perubahan fisik, emosional, dan sosial yang signifikan. Masa pubertas menunjukkan periode penting dalam perkembangan identitas ketika remaja perempuan mulai mengeksplorasi siapa mereka, membangun nilai, dan menentukan bagaimana mereka ingin dilihat oleh dunia.

Reda Gaudiamo, psikolog dan terapis, dalam buku Hai, Nak, menekankan pentingnya orangtua untuk benar-benar mendengarkan anak-anak mereka. Mendengarkan berarti memberikan perhatian penuh saat anak berbicara dan mengakui perasaan mereka tanpa menghakimi.

Memahami perasaan anak membantu membangun kepercayaan dan hubungan yang kuat antara orangtua dan anak. Reda juga menekankan pentingnya memberikan dukungan emosional yang konsisten, memastikan anak merasa aman dan dicintai terlepas dari situasi yang dihadapi. Dengan mendengarkan dan memahami anak, orangtua dapat lebih efektif dalam membantu anak mengatasi masalah emosional dan sosial.

Remaja sering mengalami konflik internal antara harapan diri mereka sendiri dan ekspektasi dari orang lain yang bisa memengaruhi perkembangan emosional dan kesehatan mental mereka. Itu juga yang terjadi pada Riley, dia kerap dikejar oleh ketakutan dan harapan hingga membuatnya sempat keluar dari jati dirinya sendiri. Untungnya, dia teguh berproses.

Menghidupkan The True Self

Dalam film, Riley digambarkan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Kemunculan Anxiety (cemas), Embarrassment (malu), Envy (iri), dan Ennui (bosan) saat usianya baru genap 13 tahun sempat mendatangkan pergolakan besar dalam dirinya. Terlebih, saat Anxiety menyabotase cara berpikir dan kemampuannya mengambil keputusan.

Kecemasan sosial dapat membuat remaja menarik diri dari interaksi sosial, menghindari kegiatan kelompok, dan merasa tidak nyaman dalam situasi sosial. Hal ini dapat menghambat perkembangan keterampilan sosial dan memperburuk rasa terisolasi​. Gangguan kecemasan membuat Riley terjaga dari tidur malam, mengkhawatirkan banyak hal yang belum tentu terjadi. Jika dibiarkan, kecemasan (anxiety) mengambil alih kendali, dampaknya bisa sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan.

Baca juga:

Film ini ditutup dengan impresi mendalam tentang begitu pentingnya kesetaraan peran dari setiap karakter emosi. Joy, Sadness, Fear, Disgust, Anger, Anxiety, Envy, Ennui, dan Embarrassment hadir sebagai representasi berbagai aspek emosi anak manusia yang tidak untuk saling mengalahkan.

Tidak ada emosi baik dan emosi buruk. Tidak ada hitam dan putih. Mereka punya kompleksitas, keunikan, dan perannya masing-masing. Kuncinya terletak pada bagaimana keselarasan emosi-emosi ini dalam berinteraksi dan memengaruhi perilaku, pengalaman, dan pemahaman manusia. Dari sanalah kemudian lahir kesejatian seseorang. Diri sejati seorang Riley dan diri sejati kita sebagai manusia utuh.

 

Editor: Emma Amelia

Mina Megawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email