Seorang istri yang setia, ibu yang bahagia dan pendoa yang bertakwa. Peminat kajian sosial budaya masyarakat.

Perempuan, Musik dan Pendidikan Kebudayaan

Oti Lestari

3 min read

Pada awal bulan Maret ini, kita memiliki dua hari peringatan penting sebagai usaha dalam merayakan kemanusiaan. Hari peringatan yang dimaksud adalah peringatan Hari Perempuan Sedunia pada tanggal 8 Maret dan Hari Musik Nasional yang diperingati pada tanggal 9 Maret. Yang satu selalu dijadikan momentum untuk merayakan peran perempuan di berbagai bidang kehidupan, yang lain merefleksikan kekuatan musik sebagai ekspresi komunal, inovasi kultural hingga medium perlawanan.

Namun, di balik perayaan itu tersimpan realitas kompleks yang menggambarkan bagaimana perempuan menghadapi tantangan dalam konteks sistem pendidikan, norma sosial, dan kebijakan yang konservatif. Sebelumnya kita mengingat fenomena vokalis band Sukatani, seorang guru perempuan yang dipecat karena menekuni musik punk yang dianggap subversif kepada pemerintah dan menentang norma, baik norma agama, sopan santun, dan edukatif. Darinya kita bisa memperbincangkan betapa kebebasan berekspresi menjadi salah satu pilar demokrasi, sekaligus sebuah agen transformasi dalam pemajuan kebudayaan.

Musik sebagai (Re)presentasi

Musik punk telah lama dikenal sebagai genre yang lahir dari keinginan untuk menolak norma yang mengekang. Melalui lirik yang tajam dan irama yang energik, musik punk mengungkapkan kritik terhadap sistem kekuasaan yang represif dan menantang tatanan sosial yang sudah usang.

Baca juga:

Dalam kerangka teori musik, para kritikus seperti Simon Frith dalam buku Performing Rites: On the Value of Popular Music (1996) dan Theodor Adorno dalam Aesthetic Theory (1970) berpendapat bahwa musik tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, melainkan juga sebagai bahasa perlawanan yang mampu memicu perubahan sosial. Kasus Sukatani adalah manifestasi nyata dari hal tersebut. Sebagai seorang guru, ia diharapkan menjadi contoh yang mengedepankan nilai-nilai konservatif, namun keberaniannya dalam mengekspresikan diri melalui musik punk justru menolak batasan tersebut dan membuka ruang diskursus baru tentang kebebasan berekspresi.

Kajian budaya kontemporer menyoroti bahwa musik adalah medium yang mencerminkan dinamika sosial-politik dan berperan sebagai alat untuk merekayasa kembali identitas. Menurut Stuart Hall dalam Representation: Cultural Representations and Signifying Practices (1997), budaya merupakan medan perjuangan di mana narasi yang beragam saling bersaing untuk membentuk realitas sosial. Musik punk, sebagai wacana subkultur, menawarkan perspektif alternatif yang menolak homogenisasi budaya dan menampilkan kekuatan ekspresi yang autentik. Sukatani, melalui karya-karyanya, berhasil menantang narasi dominan yang selama ini menutup ruang kreativitas perempuan. Dengan demikian, musik punk tidak hanya menjadi simbol perlawanan, tetapi juga memicu dialog kritis tentang peran perempuan dalam mengubah paradigma sosial.

Lebih jauh lagi, teori kebebasan berekspresi dalam kehidupan demokrasi, seperti yang dijelaskan oleh John Stuart Mill dalam On Liberty (1859) menekankan bahwa kebebasan berekspresi adalah landasan dari masyarakat yang progresif. Mill berpendapat bahwa segala bentuk ekspresi, meskipun kontroversial, harus dilindungi karena dapat memunculkan ide-ide baru dan menantang status quo.

Dalam konteks ini, Sukatani tidak hanya menyuarakan kritik terhadap sistem pendidikan yang konservatif, tetapi juga mengilustrasikan bagaimana kebebasan berekspresi dalam musik dapat menginspirasi transformasi sosial yang lebih luas. Musik punk, dengan semangatnya yang anti-otoriter, mengajak masyarakat untuk berpikir kritis dan merefleksikan nilai-nilai keadilan, yang seharusnya menjadi landasan dalam kehidupan demokratis dan kebudayaan. Darinya kita memaknai punk sebagai ekspresi kultural penanda jaman, dalam konteks perayaan Hari Musik Nasional.

Pendidikan melalui Musik

Di sisi lain, pendidikan memiliki peran sentral dalam mewujudkan masyarakat yang menghargai kebebasan berekspresi dan nilai-nilai kebudayaan. Teori kecerdasan majemuk Howard Gardner (1983) menunjukkan bahwa kecerdasan musikal merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis. David Elliott, dalam kajian pendidikan musik Music Matters: A New Philosophy of Music Education (1995), juga menegaskan bahwa musik sebagai bahasa ekspresi tidak hanya mengasah keterampilan teknis, tetapi juga menginternalisasi nilai-nilai moral dan ideologi yang dapat memicu perubahan sosial. Dengan mengintegrasikan musik ke dalam kurikulum, sistem pendidikan tidak hanya mengajarkan teknik musik, melainkan juga membuka ruang bagi diskusi tentang sejarah komunal, pembacaan ulang struktur sosial, dan pemberdayaan perempuan sebagai agen transformasi.

Terlebih dalam konteks pembangunan kebudayaan, reformasi pendidikan memang harus diarahkan untuk menciptakan ruang inklusif bagi keberagaman ekspresi artistik. Sekolah dan lembaga pendidikan harus memberikan ruang bagi guru dan siswa untuk bereksperimen dengan bentuk-bentuk seni yang cerdas, dinamis dan kontekstual. Pendekatan interdisipliner dapat menghasilkan generasi muda yang mampu mengkritisi struktur kekuasaan dan mendorong perubahan sosial yang lebih adil.

Untuk itu, reformasi kebijakan publik sangat penting untuk mendukung pemberdayaan perempuan dan kebebasan berekspresi dalam ranah pendidikan. Kebijakan yang mendukung inovasi, transparansi, dan partisipasi aktif harus dirancang agar perempuan tidak hanya menjadi objek penerima, tetapi juga subjek aktif dalam proses pengambilan keputusan.

Institusi pemerintah, bersama dengan lembaga seni dan budaya, perlu bekerja sama dalam mengembangkan program yang mengintegrasikan nilai estetika, kritik sosial, dan keberagaman budaya ke dalam sistem pendidikan. Upaya kolektif ini akan membuka jalan bagi transformasi sosial yang tidak hanya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan budaya.

Kasus Sukatani, guru yang dipecat karena menekuni musik punk, menjadi simbol nyata bahwa kebebasan berekspresi harus dijunjung tinggi dalam kehidupan demokrasi. Sebagai seorang guru dan seniman, ia menggambarkan betapa pentingnya ruang bagi kreativitas dan kritik sosial untuk menginspirasi perubahan.

Baca juga:

Pemberantasan norma-norma konservatif yang menghambat kebebasan berekspresi adalah kunci untuk mewujudkan masyarakat yang lebih inklusif dan progresif. Melalui sinergi antara reformasi pendidikan, kebijakan publik, dan perayaan budaya, perempuan dapat terus menjadi pilar kekuatan yang tidak hanya mengurus keluarga, tetapi juga menggerakkan transformasi sosial menuju tatanan yang lebih adil, demokratis, dan berbudaya.

Oleh karena itu, perayaan Hari Perempuan Sedunia dan Hari Musik Nasional memberikan kesempatan untuk merefleksikan peran musik sebagai ekspresi sekaligus media pendidikan. Melalui reformasi sistemik dan integrasi nilai-nilai kebebasan berekspresi, kita dapat membangun masa depan di mana perempuan dapat berkontribusi secara maksimal dalam menciptakan masyarakat yang adil dan berwawasan kebudayaan. (*)

 

Editor: Kukuh Basuki 

Oti Lestari
Oti Lestari Seorang istri yang setia, ibu yang bahagia dan pendoa yang bertakwa. Peminat kajian sosial budaya masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email