Sekonyong-konyong, band punk Sukatani yang selama ini dikenal dengan lirik-lirik yang subversif, meminta maaf kepada polisi atas lagu Bayar Bayar Bayar yang menyindir korupnya institusi itu. Tak ada yang percaya permintaan maaf itu tulus dan tanpa tekanan. Apalagi melihat kebiasaan polisi mengintimidasi setiap kritik kepada pemerintah, termasuk para pegiat seni.
Lucunya, pembredelan terhadap lagu Bayar Bayar Bayar malah membuat lagu itu mendadak booming. Bagai mati satu tumbuh seribu, lagu yang ditarik dari akun streaming resmi Sukatani diunggah ulang oleh netizen. Karena pembredelan ini, justru semakin banyak orang tahu siapa itu Sukatani. Solidaritas berkumpul dari segala horizon, polisi lagi-lagi dirujak.
Kejadian seperti ini bukan kali ini saja terjadi. Dua bulan sebelumnya, pembredelan juga dialami oleh pelukis Yos Suprapto. Orang-orang tak akan pernah melihat karya Yos terpajang di Galeri Nasional, tapi mereka dapat melihat karya-karyanya tersebar luas di media sosial–terutama 4 lukisan yang menampilkan sosok Jokowi. Pameran di media sosial itu mengundang solidaritas publik atas pembredelan yang ia alami.
Karya yang Dibunuh Akan Bangkit Dari Kubur
Nestapa sekali untuk bebas berekspresi di negeri ini. Pembredelan karya seni dan pembungkaman kebebasan berekspresi sudah jadi bahasa umum di negeri yang katanya demokratis ini. Walau Orde Baru sudah bubar dan Soeharto telah mati, nyatanya pemerintah masih amat sensitif dengan karya seni yang terdengar subversif.
Menurut data The Economist Intelegence Unit, indeks demokrasi Indonesia terjun bebas sejak rezim Jokowi, dari 6,71 menjadi 6,53. Dengan poin itu, Indonesia mendapat kategori demokrasi cacat (flawed democracy). Telah menjadi makanan sehari-hari melihat banyak orang yang vokal menyampaikan kritik ke pemerintah ujung-ujungnya keciduk UU ITE. Jika undang-undang tak berlaku, intimidasi aparat atau orang misterius sudah bukan hal baru lagi.
Baca juga:
Namun, sejarah telah membuktikkan karya seni yang dibunuh akan kembali bangkit dari kuburnya, dan ia menjadi beribu-ribu kali lebih lantang. Ketika membicarakan sensor, kita tentu mengenal yang namanya efek streisand. Efek ini bermula ketika Barbra Streisand berusaha menghapus foto rumahnya dari arsip publik, tapi malah semakin tersebar luas. Hukum ini menunjukkan paradoks sensor, di mana upaya menutup-nutupi sesuatu justru mengundang lebih banyak perhatian dari publik.
Kasus Sukatani hari ini mengingatkan kita pada sensor brutal terhadap Pramoedya Ananta Toer di masa Orba. Pram, begitu ia akrab disapa, dipenjara 10 tahun di Pulau Buru karena kedekatannya dengan LEKRA, sementara Orba menyensor habis karyanya. Namun, pemenjaraan Pram mengundang solidaritas yang makin menggema di dunia internasional. Reputasi Pram sebagai bagian dari komunitas sastrawan dunia memicu tekanan internasional yang membikin Orba melunak, sehingga Pram diizinkan menulis di dalam penjara. Ketikannya melahirkan empat anak rohani baru – sebutan Pram untuk karya-karya sastranya –, yaitu Tetralogi Pulau Buru.
Sembilan bulan setelah diterbitkan oleh Hasta Mitra, Bumi Manusia resmi dilarang Kejaksaan Agung pada Mei 1981. Tiga roman lain dalam tetralogi itu, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, ikut dilarang tak lama setelahnya. Terlepas dari sensor ketat Orba, karyanya tak sirna menginspirasi mahasiswa dan intelektual di Indonesia. Pram justru menerima banyak undangan untuk menghadiri acara diskusi mahasiswa. Tak jarang pula ia disambangi mahasiswa yang ingin berdiskusi di kediamannya.
Namun, mereka yang menikmati karya Pram harus berhadapan dengan represi. Pers mahasiswa bisa dibredel karena mengulas karya Pram. Sementara mereka yang ingin membaca karya Pram harus mencari versi bajakan atau menggandakannya di tukang fotokopi yang bernyali. Dalam satu kasus, 3 aktivis di Yogyakarta sampai diganjar hukuman 8 tahun penjara karena menjual salah satu novel Pram pada tahun 1989.
Sementara itu, di dunia internasional, tetralogi itu, bersama dengan karya lain Pram, telah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa asing. Karya yang dimufakati sebagai magnum opus-nya Pram itu semakin mengundang simpati kepadanya sekaligus mengukuhkan namanya di dunia sastra. Suara Pram dibungkam di negeri sendiri, tapi karyanya bersuara keras di bawah radar sensor dan menjelajah jauh ke negeri-negeri asing.
Suara Mereka Tak Padam Berkat Solidaritas dan Perjuangan Kita untuk Demokrasi
Ini semua bukan hanya tentang efek streisand. Efek ini bukan hukum besi penyensoran. Tak melulu karya seni yang dibungkam akan bangkit dari kuburnya. Ia selalu membutuhkan tangan-tangan yang menariknya kembali ke permukaan bumi. Tangan-tangan itu adalah solidaritas yang kita bangun bersama.
Baca juga:
Pelajaran dari penyensoran Sukatani dan Pram menjadi pengingat mengapa keasadaran kritis dan memperjuangkan demokrasi menjadi kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Intimidasi yang didapatkan Sukatani tak akan memantik solidaritas semasif ini jika semua rakyat Indonesia apatis dan memilih bungkam.
Kalau kita tak memprotes pembungkaman ini dan tak membangkang, polisi akan semakin semena-mena membredel lebih banyak lagi para pelaku kesenian yang kritis. Semua tekanan kepada polisi atas represi mereka kepada Sukatani dapat terjadi karena demokrasi yang masih berdiri di negeri ini.
Berbeda ketika karya-karya Pram dibredel oleh rezim otoritarian Orba. Penyensoran ketat oleh rezim otoritarian yang hadir tanpa malu-malu itu membikin karyanya beredar sebagai bacaan liar. Mengekspresikan solidaritas untuk Pram secara terbuka sulit dilakukan karena risiko pemenjaraan yang membayanginya. Suaranya lirih sebagai protes terbuka, tetapi pembangkangan intelektual tak bisa terbendung di dalam negeri. Sementara itu, suara keras solidaritas internasional semakin menggaung dari sisi belahan dunia yang lain.
Sejak lama, karya seni adalah senjata perlawanan terhadap penindasan. Tak ada standar kesopanan dan ideologis untuk karya seni dalam menyampaikan kritik kepada siapa pun, termasuk kepada pemerintah dan aparat-aparatnya. Batasan-batasan yang dipaksakan, dengan dalih menjaga ketertiban, stabilitas politik, dan tetek-bengek lainnya, hanyalah cara penguasa membungkam suara karya seni.
Dari Pram sampai Sukatani, karya seni selalu menemukan asanya melawan sensor dengan cara apapun. Blunder polisi menyensor Sukatani hanya membakar solidaritas untuk berkobar lebih besar lagi. Sementara sensor terhadap karya Pram hanya membangun pembangkangan intelektual bawah tanah dan solidaritas internasional.
Semuanya terjadi karena kesadaran dan solidaritas yang tak pernah henti dibangun untuk kebebasan berekspresi bagi para pelaku kesenian dan semua rakyat Indonesia. Sebab, hanya dalam iklim demokrasi yang sehat, kebebasan berkarya seni dapat lebih terjamin dibandingkan di era Orba, sebagaimana represi yang dialami sastrawan seperti Pram dilakukan secara brutal dan tanpa ruang perlawanan terbuka.
Solidaritas itu harus terus membara dan jangan sampai redup untuk memperjuangkan demokrasi yang seadil-adilnya. Kini ia terkikis perlahan-lahan oleh elite politik dan para oligarki. Ini menjadi tugas semua rakyat Indonesia untuk menjaga agar demokrasi itu untuk terus berdiri dan merebutnya dari tangan-tangan rakus penguasa.
Editor: Prihandini N