Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Punk dan Perlawanan Kelas Pekerja

Kukuh Basuki

3 min read

Dalam buku berjudul Asal-Usul & Ideologi Subkultur Punk, Dick Hebdige menjelaskan kemunculan berbagai subkultur di era 50-an hingga 70-an. Secara cermat dan teliti Hebdige merunut peristiwa yang melatarbelakangi kemunculan varian subkultur tersebut. Dan yang lebih substansial adalah kejelian Hebdige mempertanyakan ulang definisi kultur yang di dalamnya sarat nilai ideologis dan kepentingan.

Hebdige menemukan ketidakjelasan makna kultur yang pada akhirnya terus dimaknai berbeda oleh tiap generasi. Pada generasi yang sama pun ada kemungkinan perbedaan persepsi, bahkan bertentangan antara satu dengan lainnya.

Kata kultur disinyalir lahir ketika manusia mulai mengenal pembagian kerja. Hebdige melihat ada dua kecenderungan pemahaman tentang kultur. Aliran pertama adalah aliran yang mengarah ke masa silam, yaitu cita-cita masyarakat bercorak feodal tentang masyarakat yang hierarkis, harmonis, dan nyaris sakral. Sedangkan aliran yang kedua terarah ke masa depan, bercorak utopis sosialis yang menginginkan penghapusan perbedaan antara kerja dan kesenggangan. Aliran yang terakhir ini kurang mendapatkan dukungan luas dibandingkan aliran pertama yang kita kenal sebagai pandangan klasik atau konservatif.

Aliran pertama menyandarkan kultur sebagai keunggulan estetik. Penilaian mereka bersumber pada apresiasi terhadap bentuk-bentuk estetika klasik seperti opera, balet, drama, dan sastra. Sebaliknya aliran kedua cakupannya lebih luas lagi, yaitu meliputi semua bentuk kegiatan, perilaku dan minat masyarakat. Tidak terbatas hanya pada seni dan pembelajaran. Karena merasa unggul secara estetik, aliran pertama sering disebut sebagai budaya tinggi sedangkan aliran kedua adalah budaya rendah.

Subkultur punk sendiri muncul dari aliran kedua. Lahir dari kelas pekerja yang sadar secara politis bahwa akan selalu ada ideologi dalam setiap budaya, punk secara frontal memosisikan dirinya di luar budaya konservatif. Mereka melakukan serangan-serangan simbolik; budaya perlawanan (counter culture) menggunakan attitude dan fashion di luar norma dan standar estetika umum.

Dengan counter culture tersebut, punk menjadi garda terdepan dalam upaya menggoyahkan hegemoni budaya klasik yang sarat dengan ideologi pengekalan kelas dan struktur pembagian kerja di dalamnya.

Lahirnya Subkultur Punk

Dalam buku ini Hebdige merunut kembali proses terbentuknya subkultur punk di dataran Inggris hingga penyebarannya ke seluruh dunia. Hebdige mengajak pembaca mengenali unsur kasat mata yang sengaja diperlihatkan punk dalam pernik fashion, musik, dan perilakunya, hingga ke makna, pemikiran, dan ideologi yang tersembunyi di baliknya. Untuk itu Hebdige memulai perjalanan ini dengan cara menggali ideologi punk hingga ke akar-akarnya.

Sama dengan kemunculan musik jazz, blues, dan rock n’ roll di Amerika, atau musik ska, rock steady, dan reggae di Jamaika, kemunculan punk dan subkultur lainnya seperti teddy boys, mod, dan skinhead tak bisa lepas dari komunikasi budaya seiring datangnya gelombang kedua kulit hitam dari wilayah Karibia ke dataran Inggris pasca perang dunia kedua.

Perkembangan gerakan rastafari membuat masyarakat ras kulit hitam generasi kedua yang datang dari kepulauan Karibia itu semakin ekspresif menunjukkan kebudayaannya yang berakar dari Afrika. Hal itu menarik perhatian masyarakat kulit putih terutama masyarakat pekerja yang sering bergaul dengan mereka di tempat kerja, kelab, ataupun saat nongkrong di pojokan jalan.

Beberapa kelompok mengambil semangat, fashion, dan semua unsur-unsur budaya negro tersebut dan diakulturasikan dengan budaya kulit putih kelas pekerja untuk membangun sebuah ideologi yang semakin kuat, untuk melawan budaya konservatif Inggris Raya yang dianggap tua dan kolot.

Jika Teddy Boys banyak terinspirasi dari gaya anak nakal kulit hitam Rude Boy, maka mod lebih terpengaruh oleh gaya perlente kelas bawah ala hipster. Sedangkan skinhead adalah perkembangan dari subkultur mod yang semakin keras semangat dan kebanggaan atas latar belakangnya sebagai kelas pekerja dari ras kulit putih. Suatu semangat yang sangat mirip dengan rastafari dengan kebanggaannya kepada ras kulit hitam.

Subkultur punk sendiri menjadi sangat unik karena terbentuk dari banyak sekali ornamen budaya yang sudah berkembang sebelumnya. Seolah muara dari bermacam aliran sungai, gaya punk seperti mempertemukan cabang-cabang budaya (dari epos-epos yang mirip ataupun yang sama sekali berbeda), mengambil bagian-bagiannya, memberi pemaknaan baru dan merakitnya menjadi satu.

Punk seperti puncak dari perayaan aneka warna subkultur yang dirangkum dalam satu kolase yang sangat ramai dan majemuk.

Ideologi Punk

Selain pengaruh kaum pendatang, subkultur juga merupakan hasil interaksi antara gerakan kaum muda kelas pekerja dengan orang tua, guru, polisi, masyarakat terhormat, institusi berkuasa, dan sebagainya. Melonjaknya angka pengangguran, kemiskinan, dan krisis nasional di Inggris Raya ditanggapi dengan sangat berbeda antara kaum konservatif dan generasi setelahnya. Kaum punk mengambil retorika krisis tersebut dan menampilkannya secara simbolik dalam dandanan dan attitude mereka.

Secara metaforis punk memunculkan tanda-tanda dari permasalahan sosial dan politik di era itu dengan pernak-pernik nyeleneh dan diletakkan tidak pada tempatnya, dipadukan secara kontradiktif, dan dibuat tidak selaras. Hal itu bisa dilihat dari penggunaan rantai dan gembok sebagai kalung, gelang paku, peniti sebagai tindik, celana ketat, sepatu boot, kaus sobek lusuh, jaket berornamen logam dan potongan rambut mohawk kaku dengan warna-warna yang mencolok.

Selain berhasil membuang standar maskulin dan feminin tradisional, proses padu padan yang saling bertentangan ini berhasil memunculkan kesan anarki, kekacauan yang sebenarnya terjadi di seluruh lapisan masyarakat yang kadang sengaja ditutup-tutupi. Hal itu membuat institusi negara dan orang-orang tua berang dan menganggap punk sebagai gerakan berbahaya.

Salah satu ciri khas dari punk adalah bahasanya yang lugas, keras, dan agresif. Makian, umpatan dan kata-kata kotor dalam lagu-lagu punk juga digunakan sebagai upaya perlawanan semantik. Hal itu dimaksudkan untuk menabrak norma-norma budaya adiluhung dan tabu yang tertanam pada pembakuan standar bahasa.

Penggunaan bahasa yang tidak sesuai kaidah kesopanan dan estetika tersebut justru dipilih kaum punk untuk mengusik kaum sopan. Suatu strategi jitu untuk menambah daya gedor mereka pada sistem yang lalim.

Berbeda dengan beberapa subkultur lainnya, kemunculan punk yang sangat vulgar dan frontal ini mengakibatkan kepanikan moral pada masyarakat. Hal itu diperkuat oleh eksposur media massa yang kurang simpatik dan cenderung menyorot hal-hal negatif kaum punk, sehingga persepsi masyarakat terhadapnya semakin miring dan tidak objektif. Menyadari situasi tersebut, komunitas punk berinisiatif membuat media massa sendiri berupa fanzine yang mereka produksi secara mandiri, dengan gaya khas kelas pekerja dan dibagikan secara gratis di kios-kios, distro dan pada acara musik.

Perlawanan punk terhadap kapitalisme dan kultur pop terekam jelas pada cara mereka membuat acara musik. Mereka menertawakan pertunjukan megah dan gemerlap band-band glam rock dan lebih memilih membuat konser di kelab-kelab kecil dengan panggung minimalis dan sound yang kasar. Dengan ritme yang cepat, sound yang bising, lirik yang kasar, dan tarian pogo yang agresif, subkultur punk hendak memberi peringatan pada dunia bahwa eksistensi mereka bukan bertujuan untuk popularitas dan uang. Sebaliknya, subkultur punk ingin selalu hadir sebagai ancaman bagi budaya manapun yang ingin menghegemoni kelas pekerja.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Kukuh Basuki
Kukuh Basuki Menulis musik dan beberapa pernik-pernik budaya populer lainnya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email