Sejarah perpustakaan yang ada di Indonesia tidak lepas dari sejarah perkembangan peradaban. Sesuai sejarah peradaban bangsa Indonesia, maka sejarah berdirinya perpustakaan di Indonesia sendiri terbilang masih muda dibandingkan dengan negara Eropa dan Arab (Nurlidiawati, 2014). Indonesia tidak memiliki cukup bukti sejarah tertulis tentang keberadaan perpustakaan sebelum era penjajahan dikarenakan tradisi lisan yang dominan, banyaknya artefak yang hilang atau rusak, bentuk perpustakaan yang belum formal, serta kurangnya dokumentasi dan kerusakan warisan budaya selama masa penjajahan. Beberapa dugaan hanya berdasar pada terkumpulnya hasil temuan naskah-naskah yang karyanya ditulis menggunakan media daun lontar pada masa itu.
Lalu di abad ke-16 saat bangsa Eropa yakni Portugis berdatangan ke Nusantara dan membawa budaya tersendiri, terlihat bahwa perkembangan perpustakaan di Indonesia sudah mulai bangkit. Mereka mendirikan perpustakaan gereja yang berfungsi tidak hanya untuk mengumpulkan buku-buku agama, tetapi juga sebagai sarana untuk mendukung misi penyebaran agama Katolik. Salah satu contoh awal adalah perpustakaan di Malaka yang didirikan oleh misionaris Portugis sekitar tahun 1511 (Suryadi, 2019).
Baca juga:
- Belajar tentang Hidup dari Sejarah
- Membedah Revolusi: Perjuangan Kemerdekaan Indonesia dalam Perspektif Politik Global
Setelah Portugis, bangsa Belanda (melalui VOC) juga melanjutkan tradisi ini dengan mendirikan perpustakaan untuk tujuan yang serupa. Belanda memiliki banyak peran dalam memajukan dunia Perpustakaan Indonesia. Kedatangan bangsa Belanda pada abad 16 dengan membawa serta budayanya, turut berkontribusi besar atas berdirinya perpustakaan di Hindia Belanda yang bertujuan untuk menunjang program penyebaran agama mereka. Dilansir dari website resmi Perpustakaan BSN yang mengungkap bahwa perpustakaan di Indonesia yang sudah berdiri sejak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menguasai ialah Perpustakaan Gereja yang tepatnya berada di Batavia (Jakarta).
Perpustakaan Gereja ini tercatat sebagai perpustakaan pertama di Indonesia yang sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1624. Namun, terdapat berbagai kendala salah satunya adalah karena kurangnya dana, membuat Perpustakaan Gereja baru diresmikan pada 27 April 1643. Peresmian Perpustakaan Gereja ini berbarengan dengan pengangkatan Abraham Fierenius seorang Pendeta Ds (Dominus) sebagai kepala Perpustakaan. Perpustakaan di Batavia (Jakarta) lebih fokus pada koleksi ilmiah dan agama, didirikan untuk mendukung kegiatan administratif sekaligus penyebaran agama Kristen.
Tercatat pada masa ini perpustakaan tidak lagi hanya di tunjukkan oleh keluarga kerajaan saja, melainkan juga untuk perawat rumah sakit Batavia. Hal ini menunjukkan bahwa perpustakaan gereja berfungsi tidak hanya terbatas untuk kalangan agama, tetapi juga untuk kalangan yang lebih luas.
Dari Batavia, pembangunan perpustakaan mulai diperluas ke daerah lain, seperti Semarang dan Juana (Jawa Tengah). Hal itu membuat aksesibilitas perpustakaan yang semakin terbuka bagi masyarakat di wilayah tersebut. Dengan kata lain, masyarakat di Semarang dan Juana (yang saat itu juga berada di bawah kekuasaan Belanda) bisa meminjam buku dari perpustakaan Batavia atau bisa mengakses koleksi yang ada.
Proses peminjaman buku yang meluas ini, merupakan bagian dari upaya Belanda untuk menyebarkan pendidikan dan agama di seluruh wilayah yang mereka kuasai, termasuk Jawa. Perpustakaan gereja menjadi salah satu alat penting dalam penyebaran literasi dan ajaran agama di masyarakat, tidak hanya di kota besar seperti Batavia, tetapi juga ke wilayah-wilayah yang lebih jauh.
Seratus tahun kemudian tepatnya di tahun 1778 di bangun perpustakaan khusus pada masa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), bernama Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) yang memiliki arti Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan, yang juga terletak di Batavia (Jakarta). BGKW digagas oleh ketua Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda), bernama Mr J.C.M. Rademaker.
Setelah pembubaran VOC di tahun 1799, Perpustakaan BGKW tetap berjalan dan beroperasi dengan baik dengan mengandalkan banyak sumbangan dari dermawan dan juga gubernemen. Perpustakaan BGKW ini mendapat sumbangan sebesar 50 Gulden per tahun. Sejak itulah BGKW memulai pengumpulan buku dan membuat penerbitan. Hal itu membuat BGKW mempunyai koleksi buku-buku tertua di Asia Tenggara.
Koleksi yang dimiliki BGKW di dapat melalui pertukaran penerbitan dengan sejumlah lembaga di berbagai benua, di antaranya Asia, Amerika, dan Eropa serta dilengkapi juga melalui pembelian dan hadiah yang di berikan oleh gubernur jenderal, instansi pemerintah, dan pejabat negara. Koleksi yang dimiliki BGKW terdiri dari buku, surat kabar, peta, dan majalah.
Pada tahun 1848 Perpustakaan BGKW ini mengeluarkan katalog buku pertamanya di Indonesia berjudul Bibliothecae Artiumcientiaerumquae Batavia Floret Catalogue Systematicus yang merupakan hasil penyuntingan dari P. Bleeker. Di tahun yang sama kemudian muncul edisi keduanya dalam bahasa Belanda. Namun, Perpustakaan BGKW mempunyai koleksi yang masih bersifat terbatas pada ranah penelitian, dikarenakan perpustakaan ini merupakan sebuah perpustakaan khusus.
Setelahnya BGKW mempublikasikan banyak karya dan beberapa yang paling terkenal di antaranya Land-en Volkenkunde (TBG), Tijdschrift voor de Indische Taal-, Jaarboek, Notulen, Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap (VBG), dan Werken buiten de serie.
Lalu, di abad ke-19 buku yang disediakan lebih ditekankan pada ilmu kebudayaan dan ilmu alam. Hal ini didorong oleh terbentuknya Perhimpunan Ilmu Alam yang berdiri pada tahun 1850.
BKGW berhasil meningkatkan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Hindia Belanda, khususnya dalam bidang geografi, bahasa, dan antropologi. Lembaga ini secara teratur menerbitkan Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang mencakup berbagai disiplin ilmu, termasuk geografi, serta Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde, yang fokus pada bahasa, geografi, dan etnografi. Kondisi ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman tentang keragaman budaya dan bahasa di wilayah tersebut.
Kontribusi BKGW dalam bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan diakui oleh pemerintah Belanda. Pada tahun 1924, sebagai penghargaan atas perannya, nama BKGW ditambahkan dengan gelar “Koninklijk“, sehingga nama lengkapnya menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Perubahan nama ini mencerminkan pengakuan atas dedikasi dan kontribusi lembaga dalam memajukan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Hindia Belanda.
Baca juga:
Pada akhir abad ke-19, ketika minat terhadap studi bahasa-bahasa Timur semakin meningkat, perpustakaan BGKW mulai meninjau ulang pedoman pengelolaan koleksinya agar lebih relevan dengan kebutuhan masyarakat saat itu. Fokus utama perpustakaan beralih ke pengumpulan dan pengelolaan karya-karya yang berhubungan dengan etnografi, antropologi, serta ilmu kemanusiaan, khususnya yang berkaitan dengan wilayah kepulauan Hindia-Belanda. Karya-karya ini dianggap penting karena memberikan wawasan mendalam tentang budaya, tradisi, dan kehidupan masyarakat di kepulauan tersebut, yang pada waktu itu menjadi pusat perhatian para peneliti dan ilmuwan Barat.
Koninklijk Bataviaasche Genoottschap van Kunsten en Wetenschappen pada akhirnya berubah nama di tahun 1950 menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Pada tahun 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia di serahkan pada Pemerintahan Republik Indonesia sehingga namanya kembali berubah menjadi Museum Pusat. Terjadi perubahan kembali pada nama Museum Pusat menjadi Museum Nasional dan perpustakaannya dikenal sebagai Perpustakaan Museum Nasional.
Di tahun 1980 Perpustakaan Museum Nasional di leburkan ke Pusat Pembinaan Perpustakaan. Kembali terjadi perubahan di tahun 1980 saat Pusat Pembinaan Perpustakaan dilebur menjadi bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi Perpustakaan tertinggi di dunia, mencapai 126,3 meter dengan 24 lantai. Perpusnas saat ini telah memiliki koleksi sekitar 5 juta buku, majalah, artikel, dan e-book dengan fasilitas lain seperti mini teater, playground dan layanan multimedia. Perpusnas berlokasi di Jalan Medan Merdeka Selatan No.11, Jakarta Pusat. (*)
Editor: Kukuh Basuki