Perampasan tanah untuk pembukaan lahan kelapa sawit yang sedang terjadi secara masif berkontribusi pada peningkatan eskalasi konflik yang berkepanjangan antara masyarakat dan perusahaan sawit. Hal inilah yang mendorong sekelompok akademisi dan aktivis untuk coba menginventarisir berbagai kasus perlawanan masyarakat pada perusahaan sawit dan mencari pola-pola yang muncul dari proses tersebut. Pola ini terkait erat dengan penyebab perlawanan masyarakat, strategi yang dilakukan oleh masyarakat dalam menghadapi perusahaan sawit, serta penyebab sulitnya konflik sawit di selesaikan.
Dalam buku Kehampaan Hak: Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia, para penulis menggunakan istilah rightlessness atau kehampaan hak untuk merujuk situasi yang sengaja diciptakan kepada masyarakat melalui berbagai macam hambatan dari lembaga negara, yang akhirnya membuat mereka tidak memiliki akses pada layanan hukum serta menyebabkan hak-hak warga negara menjadi tidak efektif.
Produksi Kehampaan Hak
Buku ini terdiri dari 11 Bab yang terbagi menjadi 4 bagian besar. Bagian pertama menjelaskan perihal sumber dari kehampaan hak. Disebutkan bahwa kehampaan hak diproduksi melalui 3 hal, yaitu (1) situasi di mana pemerintah melakukan pembatasan hak atas tanah terutama yang statusnya tanah adat. (2) adanya perlindungan hukum melalui pintu belakang yang ditopang oleh aturan terkait tanah yang sering kali tumpang tindih sehingga dijadikan celah oleh para aparatur hukum untuk membenarkan keberpihakannya pada pengusaha perkebunan sawit. (3) kolusi bisnis dan politik, politisi yang memegang jabatan kerap mendapatkan sokongan dana oleh perusahaan, ini berhubungan erat dengan proses politik di Indonesia yang membutuhkan biaya yang mahal.
Baca juga:
Di bagian kedua dan ketiga, buku ini menggambarkan alasan, cara, maupun strategi perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat, serta respons yang diberikan perusahaan pada perlawanan tersebut. Pengambilalihan tanah tanpa persetujuan masyarakat, perusahaan yang tidak merealisasikan bagi hasil/kebun plasma pada masyarakat, serta adanya dugaan pelanggaran izin oleh perusahaan lantas mendorong masyarakat secara kolektif mengadakan perlawanan menentang korporasi sawit.
Perlawanan serta klaim masyarakat umumnya menggunakan pendekatan norma sosial dan tidak berbasis pada pemenuhan hak, meskipun sudah menerima dampak yang tidak adil dari korporasi. Masyarakat lebih mendorong perusahaan untuk melakukan pemenuhan kewajiban sosial dengan memberikan hak masyarakat. Isu-isu seputar keadilan sosial serta pemenuhan hak warga maupun hak hukum warga negara, sangat jarang diketengahkan dalam proses perlawanan warga.
Temuan dari para peneliti dalam buku ini menyimpulkan bahwa hal ini diakibatkan oleh terbatasnya peran hukum dan gagasan terkait hak warga negara dalam wacana konflik tanah di Indonesia. Meski demikian, ditemukan juga beberapa perlawanan warga yang cukup progresif, seperti meminta bantuan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan membawa kasus ke pengadilan hingga menggunakan mekanisme pelaporan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
Namun, beragam cara ini pun masih kerap menemukan kegagalan dan dirasa tidak efektif dalam memperjuangkan hak warga, sebab mereka tersandera oleh sistem hukum maupun kolusi oleh pejabat negara dan pejabat hukum di Indonesia, ataupun keberpihakan lembaga seperti RSPO pada perusahaan sawit yang menjadi anggotanya.
Perlawanan yang dilakukan masyarakat pada akhirnya mendapatkan beragam reaksi dari perusahaan. Dalam upaya untuk meredam perlawanan, ada 4 hal yang dilakukan perusahaan, yaitu (1) melakukan kooptasi pada tokoh adat atau kepala desa dengan dengan “menciptakan” pemimpin tandingan yang pro perusahaan. (2) menjalin hubungan kolusi dengan aparatur negara yang diperkuat melalui pemberiaan dana dan sokongan untuk biaya politik. (3) meredam perlawanan maupun aksi kolektif dan aksi protes dengan membiayai polisi dan tentara, maupun preman. (4) melakukan kriminalisasi pada tokoh-tokoh yang melakukan aksi-aksi perlawanan.
Pada bagian akhir buku ini, para penulis sepakat memberikan kesimpulan bahwa tidak berjalan efektifnya hukum dan undang-undang di lapangan dan kolusi para pejabat negara secara strukturallah yang akhirnya menyebabkan kondisi rightlessness dan menghasilkan perlawanan yang tanpa hak pula/rightless resistance.
Menata Kembali Hubungan Negara, Tanah, dan Rakyat
Membaca buku ini membawa kita pada diskusi seputar hubungan antara negara dan rakyatnya. Jika menilik pada konsepsi terbentuknya Indonesia, sudah seharusnya negara memosisikan diri sebagai pemegang mandat rakyat dengan memenuhi fungsi penggunaan keadilan bagi rakyat. Namun, tampaknya negara selalu kalah ketika berhadapan dengan kekuatan korporasi. Negara bahkan telah mengabaikan rakyat. Pengabaian ini pula yang membuat posisi rakyat sebagai pemberi mandat berada dalam nadirnya. Hal ini terlihat dalam perjuangan yang dilakukan masyarakat seperti yang ditampilkan di dalam buku ini.
Selain itu, perbincangan terkait hubungan antara negara dan rakyatnya juga akan bersinggungan pada diskursus terkait dengan kewarganegaraan. Interaksi antara negara dan warga di negara pasca kolonial termasuk di Indonesia cenderung lebih bersifat komunitarian, klientelis, dan hierarkis sehingga masyarakat kerap tidak dapat mendasarkan dirinya pada hukum formal ketika mereka mengajukan protes.
Secara teori memang pembentukan negara modern Indonesia ingin mengadopsi model Weberian di mana negara beroperasi melalui birokrasi yang terstruktur secara rasional dan efisien, namun pada pratiknya operasionalisasi birokrasinya lebih menekankan proses informal dibandingkan proses formal. Praktik birokrasi di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat pribadi. Hal ini juga dilihat dalam temuan para peneliti dalam buku ini bahwa hubungan informal dengan para pejabat negaralah yang akhirnya membawa kepastian hukum daripada pada hukum itu sendiri.
Kemampuan koneksi informal inilah yang sebenarnya menjadi hal mutlak yang harus dimiliki warga negara dalam usaha untuk perwujudan hak kewarganegaraannya. Di banyak negara demokrasi pasca kolonial, ditemukan kenyataan bahwa klaim warga negara terhadap layanan publik bukan hak yang dapat dibenarkan secara yuridis, malah negosiasi secara informallah yang dapat membenarkannya.
Baca juga:
Selain itu, kehampaan hak sering kali bertitik pangkal dari tidak jelasnya hubungan antara negara dan tanah. Melihat pada sejarah, para ahli hukum di Indonesia menyepakati asas mono-dualisme dalam melihat hubungan antara negara dan tanah. Di dalam asas ini, teori domein yang dianjurkan Thomas Rafles bahwa negara adalah pemilik tanah, ditolak. Di dalam asas ini, negara dipandang menerima mandat dari rakyat untuk mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan tanah. Inilah yang disebut sebagai hak menguasai negara/HMN.
Asumsinya, negara melalui perwakilan perwakilan rakyat mampu melaksanakan mandat berupa hak menguasai ini. Namun, hal inilah yang di kemudian hari kerap menjadi akar konflik agraria di Indonesia. Di satu sisi pemerintah setengah hati membantu rakyatnya dalam upaya pemenuhan hak atas tanahnya, di sisi lain ketiadaan bukti formal berupa dokumen legal sering menjadi dasar negara dalam ‘merebut’ tanah rakyatnya.
Pada titik inilah, saya pun sependapat dengan rekomendasi penulis yang menyerukan agar negara memberi hak atas kepemilikan tanah ulayat atau tanah adat masyarakat. Namun, hal ini haruslah dibarengi dengan penataan kembali hubungan antara negara dan tanah. Seyogyanya, jika kita cermati, tiga hubungan, yaitu (1) hubungan antara negara dengan tanah yang akan melahirkan hak menguasai tanah oleh negara, (2) hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya yang akan melahirkan hak ulayat, (3) hubungan antara perorangan atas tanah yang melahirkan hak perseorangan atas tanah bisa berjalin harmonis dan seimbang, karena adanya kekuasaan besar dan ketiadaan batas terkait hak menguasai oleh negara, pelanggaran hak atas dua hak lainnya terjadi. Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa harus ada pembatasan cakupan definisi dan kewenangan hak yang diberikan melalui hak milik negara/HMN pada negara agar tidak terjadi pelanggaran seperti yang banyak terjadi di Indonesia dan semakin masif saat ini.
Pada akhirnya dibutuhkan upaya sistematis melalui penataan kembali hubungan antara negara-rakyat, penguatan diskursus terkait kewarganegaraan, memperbaiki konsepsi hubungan antara negara dan tanah serta kejelasan batasan hak menguasai negara atas tanah. Upaya sistemis ini harus dilakukan, utamanya di Indonesia agar konflik terkait agraria dapat segera menemui titik nadirnya.
Editor: Prihandini N