Memorabilia!

Ibu Pertiwi di Bawah Tirani

Reza Fauzi Nur Taufiq

4 min read

Konsep Ibu Pertiwi telah lama tertanam dalam sanubari banyak orang di Indonesia sebagai simbol harapan akan kesejahteraan, kedamaian, dan kebebasan dalam sistem demokrasi. Namun, setelah puluhan tahun reformasi, harapan itu masih jauh dari kenyataan. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, kesejahteraan hanya menjadi angan-angan sebelum tidur, sementara bagi mereka yang tunduk dan bersedia menjadi alat kekuasaan, mimpi justru menjadi kenyataan. Di sisi lain, mereka yang tak memiliki daya kerap diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh penguasa yang semestinya melindungi mereka.

Akibatnya, Ibu Pertiwi tak lagi dirasakan sebagai ibu yang menaungi semua anak bangsa. Ia justru bertransformasi menjadi kekuatan tirani yang menakutkan dan banal, mengancam setiap harapan yang tersisa. Masyarakat dipenjara dalam sistem yang menindas, dijarah hak-haknya, dan dibiarkan terpuruk demi ambisi kekuasaan yang tak terbendung.

Negeri ini kini seperti kendaraan yang melaju tanpa kendali moral (juggernaut), membawa kehancuran bagi mereka yang berada di bawah. Seperti yang dikatakan Giorgio Agamben dalam  Homo Sacer: Sovereign Power and bare life (1998), kekuasaan telah menelanjangi hak-hak dasar manusia, dan mereka yang berkuasa dapat mencabut kehidupan rakyat tanpa merasa bersalah, baik secara langsung maupun tidak. Dalam kondisi ini, Ibu pertiwi tak lagi menjadi pelindung, melainkan telah menjelma menjadi tirani pertiwi.

Dalam pencarian ini, sebagai warga negara yang baik hendaknya memeriksa seluruh instrumen demokrasi yang secara fungsional tidak berfungsi atau bahkan malfungsi. Pencarian itu kita mulai dari memeriksa seluruh corong-corong demokrasi yang mandul hingga tak mampu mereproduksi hal-hal yang semestinya direproduksi, yaitu kebijakan yang bertumpu pada kemasahatan masyarakat.

Tirani Pertiwi

Istilah tyranny atau dalam bentuk aslinya tyrannos merujuk pada kekuasaan yang absolut dan bersifat menindas. Dalam konteks modern, tirani diartikan sebagai kepemimpinan yang diperoleh secara tidak sah. Dalam sejarah klasik, konsep tirani juga dipahami dengan perspektif yang serupa, yakni seorang penguasa hanya berambisi memperluas kekuasaan dan meraup keuntungan pribadi. Gagasan mengenai tirani juga mencerminkan ketimpangan kekuasaan, di mana pemimpin memiliki kendali yang jauh lebih besar dibandingkan rakyat yang diperintah (Lewis, 2024).

Sementara itu, berbeda dengan konsep tirani, istilah Ibu Pertiwi pertama kali muncul di Nusantara pada masa Hindu-Belanda sebagai representasi dari dewi bumi dan lingkungan hidup, yang dalam bahasa Sanskerta dikenal sebagai Dewi Prthvi (Historia, 2020). Ibu Pertiwi menggambarkan suatu kehidupan yang ideal, di mana setiap individu yang berada di dalamnya berhak atas kesejahteraan, kebahagiaan, dan pemenuhan hak-hak dasar.

Baca juga:

Keberadaan sosok ibu melambangkan sesuatu yang diberikan secara alami, tanpa harus diminta apalagi dipertanyakan. Namun, realitas saat ini menunjukkan hal yang sebaliknya—Indonesia sebagai Ibu Pertiwi justru memperlihatkan betapa sulitnya memperoleh kesejahteraan dan hak-hak dasar. Parahnya, hak-hak tersebut tidak hanya menjadi semakin langka, tetapi juga dirampas oleh kekuasaan. Lebih buruk lagi, masyarakat yang ingin menuntut hak-haknya harus berjuang seperti penagih utang, bahkan dengan risiko kehilangan nyawa di hadapan moncong senjata.

Kedua definisi tersebut membawa kita untuk menimbang-nimbang dan melihat dinamika kekuasaan di Indonesia yang tampak lebih terlihat sebagai Tirani Pertiwi. Tirani Pertiwi adalah metafora yang menggambarkan bagaimana kekuasaan di Indonesia, yang seharusnya melindungi dan menyejahterakan rakyat, justru berubah menjadi entitas yang menindas. Konsep ini mencerminkan paradoks besar. Ibu Pertiwi, yang seharusnya menjadi simbol kasih sayang, perlindungan, dan kehidupan yang layak, justru menjelma menjadi kekuatan tirani yang mengekang, menjarah, dan mencabut hak-hak dasar masyarakat.

Dalam Tirani Pertiwi, negara yang semestinya hadir sebagai pelindung berubah menjadi alat represi. Kesejahteraan bukan lagi hak yang diberikan secara alamiah, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dengan taruhan nyawa. Keadilan hanya menjadi slogan, sementara kekuasaan dijalankan dengan logika eksklusi—menguntungkan segelintir orang dan meninggalkan mayoritas dalam kesengsaraan. Demokrasi yang dijanjikan tidak lebih dari formalitas sistem politik dan ekonomi terus berputar dalam siklus oligarki yang hanya memperkaya mereka yang sudah berada di puncak piramida sosial.

Fenomena ini sejalan dengan konsep bare life dari Giorgio Agamben (1998), di mana manusia tidak lagi memiliki perlindungan atas kehidupannya sendiri. Hak-hak sipil bisa dihapus kapan saja dengan berbagai dalih, entah itu pembangunan, stabilitas politik, atau pertumbuhan ekonomi—instrumentalisasi rasionalitas dipelintir sedemikian rupa. Masyarakat menjadi entitas yang boleh dieksploitasi, diperas, dan bahkan diabaikan, sementara mereka yang berkuasa melenggang bersama sistem yang semakin timpang.

Singkatnya, Tirani Pertiwi adalah cerminan dari negeri yang kehilangan jiwa kepemimpinannya, di mana rakyat diperlakukan bukan sebagai pemilik sah negeri ini, melainkan sebagai beban atau bahkan ancaman bagi kepentingan elite. Ini bukan lagi Ibu yang memberi, melainkan entitas yang merampas, menindas, dan mengorbankan anak-anaknya demi kepentingan segelintir orang yang berlindung di balik jargon kesejahteraan dan kemajuan.

Representasi Para Pembual

Di awal-awal abad ke-20, jagat raya diskursus gerakan sosial pernah terkesima dengan satu gagasan yang dihasilkan dari buah pikir Anthony Gramscy (Simon, 2004)), yaitu intelektual organik, di mana masa itu timbul kesadaran baru akan harapan bahwa mereka yang paham, tumbuh, dan besar dari kelas menengah ke bawah dapat berjuang di dalam kekuasaan. Konsep ini menumbuhkan harapan bahwa mereka yang berasal dari kalangan bawah, tetapi memiliki kesadaran dan pemahaman mendalam, dapat memperjuangkan hak-hak rakyat dengan terlibat langsung dalam kekuasaan dan membangun basis gerakan yang kuat.

Nyatanya, di Indonesia saat ini banyak posisi kekuasaan diisi oleh orang-orang yang dulunya dikenal sebagai ahli, pakar, atau aktivis jalanan yang memahami persoalan bangsa secara mendalam. Namun, apakah kehadiran mereka telah membawa perubahan besar yang membahagiakan rakyat kecil? Sayangnya, tidak ada yang benar-benar berubah, kecuali cerita tentang bagi-bagi kekuasaan dan pembagian proyek. Mereka yang kini duduk di parlemen justru larut dalam kepentingan pribadi dan politik. Mbembe (1992) menyebut fenomena ini sebagai ciri khas masa pascakolonial, di mana hubungan antara penguasa dan rakyat yang diperintah terjalin dalam tirani yang sangat intim.

Baca juga:

Mengutip pada pandangan Nassim Nicholas Taleb dalam The Black Swan (2009), data empiris ini membuka mata kita bahwa mereka yang berkuasa sebenarnya tidak memiliki pemahaman yang lebih baik tentang tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah bangsa dibandingkan orang lain pada umumnya. Tetapi mereka jauh lebih baik dalam bercerita–atau bahkan lebih buruk menipu publik dengan model-model matematis yang rumit dan membingungkan.

Selain itu, terepresentasinya rakyat kecil juga bisa diukur dari seberapa jauh pengaruh dan guna institusi-institusi atau lembaga seperti partai politik, organisasi mahasiswa, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam merepresentasikan persoalan masyarakat. Mereka justru terinstrumentalisasi secara total menjadi kaki tangan kekuasaan dalam melanggengkan praktik kejahatan.

Gayatri Chakravorty Spivak dalam Can the Subaltern Speak? (1998) sejak jauh-jauh hari mengkritisi wacana intelektual barat, bahwa kelompok masyakrakat yang berada di luar dari struktur kekuasaan dominan, seperti masyarakat miskin di dunia pascakolonial tidak benar-benar memiliki suara dalam sistem yang ada–bahkan ketika mereka diwakili, representasi yang dimediasi kaum intelektual tersebut hanya berangkat dari sudut pandang kekuasaan. Akibatnya, hampir dari seluruh persoalan masyarakat hanya berakhir menjadi barang dagangan politik dalam siklus yang berulang.

Ibu Pertiwi di Hati Yang Melawan

Di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang dan jalanan yang penuh hiruk-pikuk kepentingan, Ibu Pertiwi tak lagi hadir dalam bentuk yang dulu kita kenal. Ia tak lagi berwujud tanah subur yang menjanjikan kesejahteraan, atau langit luas yang memberi naungan bagi setiap anak bangsa. Ibu Pertiwi kini hanya tersisa sebagai gema di dada mereka yang masih berani melawan—mereka yang tak rela melihat negeri ini dikendalikan oleh tirani berkedok demokrasi.

Di desa-desa yang tanahnya dirampas, di kota-kota yang manusianya dipinggirkan, di jalan-jalan yang dipenuhi suara protes, di situlah Ibu Pertiwi masih hidup. Ia tak lagi bersandar pada mereka yang duduk nyaman di kursi parlemen, bukan pula pada mereka yang sibuk berbagi kuasa. Ibu Pertiwi bersemayam dalam hati para petani yang melawan penggusuran, dalam suara-suara mahasiswa yang turun ke jalan, dalam air mata para ibu yang kehilangan anaknya karena kesewenang-wenangan penguasa.

Mengutip Sukidi dalam Terang bagi Indonesia Gelap (2025), perlawanan yang didominasi oleh kaum muda adalah cahaya terang bagi Indonesia gelap. Tentu saja, setiap perjuangan suci untuk menerangi kegelapan pasti dihalangi dan bahkan dilumpuhkan melalui tangan-tangan jahat kekuasaan. Ketidakadilan yang merobek-robek spirit republik ini menggerakkan energi perlawanan kaum muda untuk berjuang demi keadilan bagi seluruh rakyat yang dinistakan hidupnya.

Bagi mereka yang percaya bahwa negeri ini masih punya harapan, Ibu Pertiwi bukan sekadar simbol yang terkubur dalam buku sejarah. Ia adalah semangat yang menghidupkan perlawanan, yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Selama masih ada yang berani bersuara, selama masih ada yang menolak tunduk, Ibu Pertiwi tidak akan sepenuhnya mati. Ia akan tetap ada—di hati yang melawan.

Editor: Prihandini N

Reza Fauzi Nur Taufiq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email