Ateisme adalah paham yang seharusnya tidak menjadi momok bagi bangsa Indonesia. Alih-alih menolaknya, warga Indonesia seharusnya memberikan ruang publik untuk saling berdialog. Bagaimanapun juga, kita sepakat, Indonesia bukanlah negara yang dibentuk untuk menjustifikasi kebenaran Tuhan dari agama tertentu. Indonesia lahir untuk melawan imperialisme dan menyatukan masyarakat dari Sabang sampai Merauke dengan menerima segala perbedaannya.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang penolakan atas penghapusan kolom agama adalah bukti dari ketakutan pemerintah terhadap nilai-nilai ateisme. Bahkan lebih jauh lagi, menolak nilai-nilai dasar kemanusian.
Menilik Manusia dari Kaca Mata David Hume
Manusia, menurut David Hume adalah kumpulan (dibaca: individu) dari persepsi. Sebagai seorang filsuf empiris, Hume menyakini bahwa pengetahuan manusia merupakan hasil pengamatan dari pengalaman yang menghasilkan persepsi-persepsi, baik diperoleh dari panca indera, hasrat, nalar dan refleksi. Lalu kemudian, persepsi sendiri menghasilkan dua bagian lagi, yaitu Impresi dan Ide.
Impresi merupakan persepsi pikiran yang didapat oleh manusia melalui cerapan panca indra mengenai berbagai macam hasrat, semangat, emosi, atau objek eksternal. Sedangkan, ide adalah hasil dari persepsi manusia tanpa cerapan inderawi, berupa refleksi manusia atas emosi, kejadian-kejadian, atau objek eksternal yang tidak hadir dalam di depannya David Hume (dalam Ermandara, 2017).
Dari definisi-definisi tersebut, sistem epistimologi Hume membentuk, bahwa ide-ide lahir berasal dari impresi dan manusia tidak akan mampu memikirkan apapun tentang sesuatu yang dia belum pernah alami. Sehingga, kesimpulannya adalah “ide” tidak akan pernah muncul tanpa adanya “impresi.”
Dengan meminjam epistemologi Hume, setiap pengalaman akan menghasilkan bentuk esensi dari ide-ide yang kerap kali berbeda antara manusia satu dengan lainnya. Hal ini, dalam pembentukan ide (karena melalui pengalaman) akan saling membentuk kausalitas inheren tiap-tiap individu. Sehingga, apabila suatu ide tidak memiliki sebab yang jelas, alhasil ide tersebut tidak memiliki makna. sehingga, segala bentuk pengetahuan tentang esensi manusia harus terus menerus dipertanyakan ulang. Dengan kata lain tidak ada yang pasti mengenai hakikat manusia, selain usaha untuk terus menerus memahami tanpa ujung.
Epistimolohi Hume tercermin dalam perbedaan budaya. Budaya telah menghasilkan pola perilaku dan pemikiran masyarakat yang berbeda-beda, katakanlah negeri Jepang yang memiliki tingkat kedisiplinan yang tinggi. Hal ini tidak bisa lepas dari kebiasaan warga Jepang yang sejak muda menghargai 頑張る(usaha) dan 我慢 (ketahanan) untuk mencapai tujuan mereka (Teraoka). Mereka percaya bahwa kerja keras dapat mengalahkan bakat. Sedangkan Indonesia sendiri telah dikenal dengan disiplin ‘jam karet’, di mana waktu bisa mereka tarik ulur sesuka hati mereka.
Baca juga:
- Suporter Jepang dan Kesadaran Kolektif Menjaga Kebersihan
- FOIP vs BRI: Rivalitas Geopolitik Jepang dan China di Asia Pasifik
Namun, suatu budaya tidak selamanya menciptakan individu yang tunduk dan patuh terhadap adat istiadat. Individu bisa saja memberontak, menolak, dan menggugat nilai-nilai budaya setempat, hal ini karena individu pasti memiliki pengalaman yang seringkali bertentangan dari lingkungan mereka tinggal. Individu akan melakukan refleksi dan menimbang nilai-nilai apa yang mereka selama ini percaya. Tentu, tidak mudah bagi individu untuk hidup dengan perbedaan kepercayaan setempat, apalagi jika mereka mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungan sekitar, baik dalam keluarga atau masyarakat.
Begitu juga dengan ateisme, dia merupakan produk dari budaya. Ateisme adalah sesuatu yang konkret hadir dalam realitas masyarakat. individu atau masyarakat ateis tidak hadir dalam ruang hampa, mereka (terlepas dari lemah atau kuatnya alasan) memiliki pengalaman tertentu untuk memilih menolak eksistensi Tuhan, baik karena faktor intelektual atau emosional. Maka negara tidak bisa memaksa individu atau masyarakat untuk mengikuti kepercayaan tertentu.
Orang ateis adalah manusia. Negara dan masyarakat tidak seharusnya menciptakan peraturan atas dasar sentimen negatif terhadap eksistensinya. Masih banyak stereotip, seperti ateis sebagai manusia yang kurang bersyukur, menghina agama, tidak setia pada negara, tidak menerima Pancasila dan sentimen negatif lainnya. Negara harusnya lebih melihat “kebajikan perbuatan” (keadilan berkenaan dengan properti, kesetiaan kepada pemerintah, dan disposisi untuk mematuhi hukum negara dan aturan kesopanan dan tata krama yang baik) sebagai landasan hukum.
Penilaian baik dan buruk seseorang haruslah dilihat dari konsekuensi tindakannya, bukan dari dominasi stereotip masyarakat. Kita bisa melihat dalam sosok Miftah bahwa pemuka agama tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai kebaikan. Alhasil, hanya dan dengan kebajikan perbuatanlah negara seharusnya menilai dan membentuk prinsip-prinsip moral.
Refleksifitas Pancasila Atas Paham Ateisme.
Sila pertama dari Pancasila yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sering kali digunakan untuk menyerang paham ateisme. Mereka menganggap bahwa Indonesia merupakan negara yang menjunjung nilai-nilai ketuhanan. Maka segala aspek yang tidak berkorelasi dengan nilai-nilai ketuhanan, harus tidak tolak.
Argumen tersebut tidak sepenuhnya salah, namun kita perlu melihat lebih dalam hakikat nilai-nilai ketuhanan.
Tuhan biasanya diyakini sebagai entitas tertinggi dalam keseluruhan alam semesta. Tuhan memiliki sifat-sifat sempurna yang tidak dimiliki oleh makhluk-Nya. Sehingga Dia Maha Segala-galanya (perdebatan apakah Tuhan Maha Jahat juga tidak akan dibahas). Sehingga, sebagai makhluk sudah sewajarnya untuk menyembah Tuhan sebagai bentuk rasa terima kasih atas nikmat yang telah diberikan. Intinya, Tuhan harus ada karena Dia adalah kebajikan tertinggi.
Namun, problema utamanya adalah relasi Tuhan adalah keyakinan itu sendiri. Para filsuf, teolog, dan ilmuwan sampai sekarang belum bisa memberikan bukti-bukti tentang ada atau tidaknya Tuhan. Sehingga perdebatan eksistensi Tuhan masih menjadi ruang yang selalu lebar untuk terus bisa didiskusikan. Masing-masing individu bebas untuk memilih untuk percaya atau tidak kepada Tuhan tanpa ada paksaan dari negara.
Baca juga:
Sedangkan, apabila melihat pidato Soekarno pada tanggal 16 Juni 1958, dia mengungkap bahwa sila pertama merupakan “grootste gemene deler, kleins gemene veelvound, bangsa Indonesia percaya kepada Tuhan. Dan tadi saya berkata het kan nit anders, oleh masyarakat Indonesia” ungkap Soekarno. Artinya bahwa Sebagian besar warga Indonesia memang banyak memeluk (termasuk secara historis) keyakinan terhadap entitas Tuhan, tetapi di sisi lain, ada juga warga Indonesia yang menolak keberadaan Tuhan.
Sejalan dengan DN Aidit, silat pertama bukanlah tentang pemaksaan atau berkewajiban untuk memeluk agama tertentu. Melainkan bahwa negara Indonesia tidak menolak atau memusuhi agama. Hal ini karena, masyarakat Indonesia secara umum percanya kepada Tuhan. Namun, kepercayaan terhadap Tuhan tidak lantas mendiskreditkan ateisme, karena hal tersebut melanggar sila kedua, yaitu tentang nilai kemanusiaan.
Ateisme di Mata Hukum Indonesia.
Meski tidak ada hukum yang melarang ateisme di Indonesia. Namum, kehidupan individu ateis cukup sulit, seperti pada Pasal 1 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur keabsahan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercanyaan. Hukum tersebut jelas hanya condong pada umat beragama saja. Pemerintah dan Masyarakat melakukan pemaksaan (secara halus) untuk memeluk kepercanyaan tertentu. Padahal menikah adalah hak dasar bagi tiap-tiap warga tanpa memandang ras, kepercayaan, etnis, dan suku tertentu.
Diskriminasi Hukum bagi warga ateis merupakan kegagalan pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Pemerintah gagap dalam memahami nilai-nilai kemanusia sehingga kurang menciptakan lingkungan inklusif bagi setiap warga. Pemerintah seharusnya lebih melihat persoalan realitas secara menyeluruh dan tidak memihak pada nilai-nilai kenyakinan tertentu. Jika tidak, maka bisa dikatakan hukum tersebut tidak memuat nilai-nila keadilan.
Pada tahun 1973 ketika pemrintah mengajukan rancang Undang-Undang Perkawinan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang intinya terdapat hukum-hukum sekuler bagi setiap warga negara. Namun, rancangan tersebut mendapat penolakan keras dari umat Islam, khususnya yang membahas tentang hak hukum anak angkat dan legalitas perkawinan beda agama. Bahkan, saat itu pemuda kaum muslim sampai melakukan pendudukan di Gedung DPR. Kaum muslim menggunakan sila pertama untuk meligitimasi perbuatan mereka, Hasilnya, banyak dari kaum non-muslim merasa kecewa pada pembatalan undang-undang tersebut (Wahid, 1990).
Oleh karena itu, untuk mencipatakan negeri yang adil, pertama-tama negara harus memisahkan kepentingan nasional dan agama atau sekuler. Menjadi negara sekuler berarti menolak dominasi dari agama tertentu, tetapi tetap mempertahankan kebebasan dalam memeluk masing-masing kepercanyaan. Setiap kenyakinan mendapat ruang setara dalam mendapatkan hak dasar sebagai warga negara. Agama tertenu tidak boleh mendominasi hukum negara yang dapat mengganggu atau sampai diskriminasi terhadap agama lainnya. (*)
Editor: Kukuh Basuki