Munculnya Dea OnlyFans dalam podcast Deddy Corbuzier memantik perbincangan publik, tak terkecuali dengan tulisan OnlyFans, Kuasa dan Komodifikasi Tubuh, oleh Firhandika Santury yang terbit di Omong-Omong (16/3). Saya menaruh perhatian pada perspektif menarik yang diambil oleh Firhandika dalam memandang fenomena ini. Inti argumen yang muncul adalah upaya kuasa atas tubuh yang terdistorsi menjadi komodifikasi tubuh secara sadar.
Firhandika menyoroti bagaimana kuasa atas tubuh ini cenderung destruktif dan kontraproduktif terhadap narasi besar feminisme. Feminisme selama bertahun-
tahun melakukan berbagai upaya untuk menjadikan gender feminin bukan sebagai second sex dan berusaha mematahkan konstruksi sejarah yang dibangun oleh kaum laki-laki yang menempatkan posisi perempuan sebagai objek wacana—diatur, dikoreksi, dan dibimbing untuk menjadi patuh terhadap narasi besar patriark. Perempuan berusaha untuk mengambil alih dirinya sendiri—salah satunya—dengan cara “kuasa atas tubuh”, bahwa tidak ada yang
berhak mengatur tubuh perempuan selain dirinya sendiri.
Baca juga:
Pertama-tama saya akan berusaha melepaskan diri dari kerangka pemkiran yang mendikotomi “kuasa atas tubuh” dan “komodifikasi tubuh”. Sebab subjektivikasi dan objektivikasi di dalam dunia yang berisi relasi “memandang dan dipandang” ini menjadi suatu keniscayaan, apalagi dalam era kontemporer seperti sekarang. Pandangan yang terlalu kaku akan berusaha menolak total apa yang disebut “objektivikasi”, padahal masing-masing dari kita adalah subjek sekaligus objek. Bahkan penelitian ilmu-ilmu humaniora pun menjadikan manusia sebagai objek penelitian—terlebih penelitian kuantitatif—yang membuat manusia tidak lebih sebagai “benda mati” ataupun “angka-angka” dengan dalih kepentingan akademik. Foucault menyebutkan bahwa tubuh merupakan objek yang paling kerap disasar, baik oleh ilmu pengetahuan maupun norma-norma. Maka di sini saya berusaha melepaskan diri dari dikotomi tersebut.
Pemaknaan Tubuh
Sebuah diri tidak pernah terlepas dari konteks sosial-historis. Pemaknaan atas tubuh muncul dari idealisasi sistem pengetahuan subjek sebelum akhirnya memiliki kuasa atas tubuh sendiri. Idealisasi ini muncul dari interpretasi subjek atas dunianya, di mana sumber-sumber pengetahuan yang diinternalisasi membentuk apa yang disebut sebuah “diri”. Foucault juga menyebutkan bahwa kekuasaan membentuk individu-individu melalui sirkulasi wacana yang menyebar secara acak. Feminisme dan konsep “kuasa atas tubuh” sendiri merupakan bentuk narasi besar yang mengubah tatanan wacana sebagai resistensi atas dominasi maskulin.
Namun dalam artikel yang ditulis Firhandika tersebut terdapat upaya untuk mengatur perempuan dengan aturan-aturan kepantasan, seperti dalam ungkapannya mengenai komodifikasi dan perenggutan kehormatan perempuan. Pola pemikiran seperti ini hampir mirip dengan anggapan yang miring mengenai keperawanan perempuan sebagai simbol kesucian, atau perempuan yang hamil di luar nikah dianggap sebagai manusia yang rendah. Apa yang disebut sebagai “kehormatan perempuan” tidak lain merupakan sistem pengetahuan objektif yang diciptakan oleh laki-laki sepanjang sejarah.
Baca juga: Masturbasi dalam Jerat Kekuasaan
Pemisahan antara kuasa atas tubuh dan komodifikasi tubuh kurang relevan jika
diimplementasikan dalam dunia citra, di mana media dan tontonan menjadi satu bentuk kekuasaan yang mengatur sistem pengetahuan manusia. Mungkin kita terlalu idealis jika mengandaikan pembebasan perempuan di tengah kapitalisme neoliberal, sebab intrik kapitalisme menjerat kita melalui kenikmatan sekaligus kesengsaraan.
Jika kita harus menolak objektivikasi dan menggantinya dengan subjektivikasi yang otonom, maka pertama-tama kapitalisme harus ditiadakan. Kemudian kita perlu kembali ke dunia di mana tidak ada lagi moralitas dalam gender. Namun sepertinya hal itu merupakan utopia belaka. Sebab perempuan telah melakukan intrik yang cerdas untuk menetapkan standar ideal bagi emansipasinya sendiri—dalam konteks ini adalah perempuan aktif dan atraktif seperti yang dilakukan oleh Dea di OnlyFans.
Permainan Fantasi
Kita perlu membedakan antara pekerja seks dalam jerat industri pornografi dan subjek yang melakukan aktivitas yang erotik. Dalam podcast Deddy Corbuzier disebutkan bahwa Dea menjadikan orientasi ekonomis bukan sebagai hal yang utama. Terdapat kegairahan individual yang memicu Dea dalam melakukan serangkaian aktivitas erotisnya. Meski pengakuan ini cenderung menekanan aspek pilihan individual dengan mengabaikan analisis struktural secara historis, namun permainan semacam ini menjadi intrik yang menarik dalam kompleksitas kehidupannya sebagai manusia.
Dewasa ini wacana yang mengkultuskan jiwa dan kecerdasan telah bergeser pada pengkultusan tubuh—pemujaan atas tubuh. Dalam pemujaan tersebut timbul konsekuensi logis berupa obsesi awet muda, diet, terapi, pembentukan lekuk tubuh, kontrol berat badan, perawatan wajah, dan higienitas. Tentu kuasa atas tubuh di sini berada dalam kerangka “ideologi hasrat”, di mana sistem ekonomi-produksi berubah menjadi ekonomi-libido (libidonomics) yang memusatkan produksi dan konsumsi pada libido, nafsu, dan hasrat. Wacana ini terus berkembang setelah kemunculan media baru yang menjadikan tontonan sebagai rujukan kehidupan dan realitas.
Baca juga: Hierarki Pekerjaan dan Gengsi Sosial
Ketika sebelumnya perempuan diobjektivikasi dan dihisap secara kasar oleh kapitalisme liberal, maka perempuan mengubah tatanan penindasan yang sistemik itu menjadi kehendak berkuasa. Nietzsche mengartikan kehendak berkuasa (the will to power) ini sebagai dorongan dari dalam diri (subjektivikasi otonom) yang menggunakan prinsip moralnya dalam menghadapi tekanan-tekanan kehidupan. Selain dorongan untuk memerintah diri, kehendak berkuasa tidak memerlukan pegangan moralitas objektif yang menekan individu untuk
bersikap konformis terhadap finalitas moral.
Dalam konteks ini, perempuan yang berdaulat tidak lagi diatur oleh industri hiburan, namun secara sadar memiliki konsep emansipasinya sendiri dalam agenda kehendak untuk berkuasa. Perempuan tidak dimanfaatkan oleh pasar kapitalisme, namun perempuan itu sendiri yang memanfaatkan pasar kapitalisme untuk memenuhi kehendaknya. Kebebasan menimbulkan tanggung jawab dan kontrol diri, begitulah yang dimungkinkan oleh Dea berdasarkan pengakuannya dalam podcast. Dia sama sekali tidak memiliki keinginan untuk menjual diri dan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang menikmati konten-kontennya. Artinya Dea memiliki kontrol diri dan pembatasan-pembatasan untuk tetap sesuai dengan kehendaknya.
Serangkaian cosplay yang dilakukan oleh Dea menjadi strateginya dalam melakukan aktivitas erotik. Dia memanfaatkan media baru sebagai tembok penyekat yang memberi adanya “jarak sosial” yang memungkinkannya untuk menghindarkan diri dari penguasaan oleh orang lain.
Di sini cosplay menjadi sebuah sistem representasi yang menjual sekaligus memainkan fantasi kaum laki-laki. Perempuan menjadikan tubuhnya sebagai medium baru bagi pengoperasian kekuasaan seakan-akan tokoh cosplay yang diperagakan dengan bumbu-bumbu erotik itu benar-benar ada. Laki-laki pun rela membayar secara materi untuk dapat memuaskan fantasinya.
Komodifikasi tidak terjadi pada tubuh atau diri, namun terletak pada makna dan hasratnya; tubuh hanya media bagi strategi penguasaan atas orang lain untuk tujuan-tujuan kesenangan dan ekonomis. Baudrillard menilai bahwa tubuh telah menjadi objek kesepian yang paling
indah. Fenomena cosplay sendiri menjadi model yang sempurna dari tatanan simulasi di mana terdapat konstruksi permainan fantasi yang hiperreal.
Dalam sistem ekonomi-libido, mitos mengenai makna erotik pada nilai tanda di bagian-bagian tertentu di tubuh perempuan telah dijungkirbalikkan oleh pemaknaan yang anarki dari perempuan mengenai kekuasaan atas diri. Nilai tanda ini dimanfaatkan untuk memainkan sekaligus menjual fantasi dalam bentuk citra yang terpancar dari media. Laki-laki tidak dapat menikmati tubuh perempuan, namun justru terenggut oleh kekuasaan citra. Dengan begini, Dea tidak hadir sebagai objek pasif, namun subjek berdaulat yang mampu menguasai laki-laki melalui pencitraannya.